Lebaran menjadi momen tepat untuk berdamai setelah kisruh akibat pemilihan presiden. Publik meyakini momen hari raya mampu menyatukan kembali kelompok yang berbeda pilihan politik.
Kontestasi pemilihan presiden 2019 kemarin seharusnya tidak menjadi alasan bagi masyarakat pendukung calon presiden berbeda untuk berselisih. Relasi sosial yang sudah terbangun dengan mudahnya dirusak karena perbedaan pilihan politik semata. Tidak hanya itu, keutuhan berbangsa dan bernegara juga dipertaruhkan karena hal ini.
Keragaman yang sudah ada sejak lama sekaligus menjadi modal besar bangsa justru dijadikan alat untuk memecah belah masyarakat. Momen lebaran diharapkan mampu menyatukan kembali ikatan sosial tidak hanya di masyarakat, namun juga di kalangan elit politik.
Persatuan Tergerus
Sejak dimulainya pendaftaran capres dan cawapres, pemberitaan mengenai pilpres memenuhi lini masa. Hasil jajak pendapat menunjukkan mayoritas responden (83,7 persen) mengikuti pemberitaan mengenai pilpres 2019. Pemberitaan tentang pilpres diperparah dengan penyebaran berita bohong (hoaks) di masyarakat.
Berdasarkan data Kementerian Komunikasi dan Informatika, jelang hari pemungutan suara pemilu pada 17 April 2019, jumlah hoaks, informasi palsu, dan ujaran kebencian meningkat. Jumlah hoaks naik hampir dua kali lipat dari 353 konten di Februari 2019 menjadi 453 konten pada Maret 2019. Dari jumlah tersebut terdapat 130 hoaks politik yang menyerang pasangan capres dan cawapres, partai politik peserta pemilu, dan penyelenggara pemilu.
Kehadiran hoaks semakin memperparah kondisi di masyarakat. Gesekan sosial yang telah terjadi antar-pendukung menggerus ikatan sosial masyarakat. Mereka saling mengejek dan menuduh satu sama lain hingga berujung kebencian. Perbedaan pilihan politik yang seharusnya menjadi hal lumrah dalam kehidupan berdemokrasi justru menjadi ancaman keutuhan berbangsa.
Meski tidak terlalu besar, sebanyak 19,2 persen responden mengaku telah terjadi perpecahan akibat berbeda pilihan capres di keluarga atau kelompok pertemanan mereka. Nyatanya, polarisasi di masyarakat memang terjadi akibat Pemilu 2019. Polarisasi bahkan tak berhenti hanya di bidang politik saja, namun merambat ke hal lain seperti agama dan etnis.
Munculnya perpecahan di masyarakat ini diperlihatkan pula oleh hasil jajak pendapat. Meskipun lebih dari separuh bagian responden menyatakan persatuan bangsa saat ini kuat, tetapi 42,6 persen responden menyebutkan sebaliknya. Kegaduhan politik yang membelah masyarakat menjadi dua kubu tentu berpengaruh terhadap kondisi di lapangan.
Oleh karena itu, rekonsiliasi antarwarga sangat diperlukan untuk merajut kembali persatuan di lingkungan masing-masing. Kesadaran tiap warga lah yang dapat mengembalikan keadaan kebersamaan seperti dulu. Hari Raya Idul Fitri yang identik dengan saling maaf memaafkan dapat menjadi momen yang tepat untuk menyatukan kembali masyarakat yang terbelah sepanjang pilpres.
Silaturahmi
Meskipun keterbelahan masyarakat jelas terjadi tetapi harapan persatuan tetap ada. Terekam melalui jajak pendapat, mayoritas responden memiliki rencana untuk bersilaturahmi dengan kerabat atau teman yang berbeda pilihan saat pilpres kemarin. Hal ini menunjukkan silaturahmi saling maaf memaafkan di hari lebaran tetap menjadi tradisi di Indonesia.
Sebagaimana disebutkan oleh Mochtar Lubis, salah satu ciri manusia Indonesia adalah ketika lebaran mereka mudik dan bersilaturahmi. Hubungan yang selama ini renggang karena perbedaan pilihan politik dapat dirajut kembali lewat silaturahmi di hari Lebaran.
Pintu rumah yang terbuka untuk saling maaf-memaafkan menjadi sinyal positif di tengah kisruh politik. Hal ini layak diapresiasi karena merupakan inisiatif dari warga sendiri. Mengingat sampai saat ini, elit-elit politik masih bersitegang dan belum menunjukkan tanda-tanda rekonsiliasi. Padahal elit politik seharusnya menjadi teladan bagi publik terkait sikap dewasa berdemokrasi.
Harapannya, rekonsiliasi elit politik setelah pesta demokrasi mampu membangkitkan kesadaran warga untuk terus mengutamakan persatuan di atas perbedaan pilihan politik. Hakikat berbangsa adalah persaudaraan yang telah terjalin sekian lama, bahwa rasa persatuan lebih penting di atas kepentingan politik.
Spirit persatuan yang muncul di hari Lebaran ini sejalan dengan makna Idul Fitri yakni kembali ke kondisi alamiah yakni kesucian. Saling bersalaman di hari raya dengan mengucapkan minal aidin wal faizin sesungguhnya memantulkan makna menjalin persatuan dengan sesama.
Momen Idul Fitri akhirnya tidak hanya penting bagi diri kita sendiri, namun juga dalam kehidupan berbangsa. Keragaman bukanlah ancaman, namun modal sosial untuk menghadapi tantangan bangsa. Akhirnya selamat hari raya Idul Fitri, mari saling memaafkan dan kembali bersatu! (LITBANG KOMPAS)