Pendidikan Seni Menumbuhkan Imajinasi Positif
Pendidikan kesenian merupakan sarana yang baik untuk melatih karakter anak-anak muda agar lebih percaya diri, kreatif, dan bisa bekerja sama.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan kesenian dalam berbagai bentuknya kadang ditempatkan sebagai ilmu kelas dua. Bahkan, muncul anggapan bahwa ilmu-ilmu pasti lebih unggul daripada ilmu-ilmu seni. Pemahaman sempit seperti ini mengakibatkan seni termarjinalisasi dalam proses regenerasi komunitas-komunitas manusia.
“Dengan mengabaikan seni dalam proses pendidikan, terancamlah keutuhan manusia sebagai pribadi yang mampu menerima realitas, membayangkan realitas yang lain di luar formula atau kebiasaan, dan mewujudkan realitas alternatif itu,” kata pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta sekaligus pendamping kaum muda In Nugroho Budisantoso SJ, Kamis (6/6/2019), saat dihubungi dari Jakarta.
Pendidikan seni dinilai cocok untuk menumbuhkan, merawat, dan mengembangkan potensi-potensi manusia, termasuk kaum muda untuk berimajinasi secara positif. Seperti disebut ilmuwan Albert Einstein, imajinasi mampu mengantar orang menembus batas yang tak mampu ditembus oleh logika.
Melalui pendidikan yang memunculkan potensi imajinasi, salah satunya seni, kaum muda bisa belajar dan bertumbuh menjadi sosok-sosok yang berkarakter untuk selalu terhubung (connected), berbela rasa (compassionate), dan berkesanggupan (committed). Pembelajaran itu dilakukan melalui proses mengamati, memahami, dan mengkomunikasikan hal-hal yang diamati dan dipahaminya.
“Tradisi pendidikan semacam ini memungkinkan individu-individu berkembang menjadi warga komunitas yang sanggup mengaitkan kebaikan hidupnya dengan kenyataan sosial di sekelilingnya. Sayangnya, sejak menjadi suatu sistem yang melekat pada gerak modernisasi dan industrialisasi, proses penempaan diri batiniah (di dunia pendidikan) bergeser ke persiapan orang untuk memasuki dunia kerja teknis yang hanya relevan untuk konteks kebutuhan pabrik, tetapi tidak terkoneksi dengan kebutuhan hidup bersama,” kata In Nugroho.
Sayangnya, sejak menjadi suatu sistem yang melekat pada gerak modernisasi dan industrialisasi, proses penempaan diri batiniah (di dunia pendidikan) bergeser ke persiapan orang untuk memasuki dunia kerja teknis yang hanya relevan untuk konteks kebutuhan pabrik.
Penuh kepentingan
Dalam konteks demokrasi, masih banyak ditemukan sosok-sosok politisi yang belum mampu “menjadi bagian” dari komunitas hidup bersama. Sebaliknya, mereka justru cenderung menjadi sosok-sosok yang berkarakter “atomistik” yang terpisah dari suka dan duka rakyat serta menempatkan diri sebagai kalangan eksklusif yang mencari “kursi” daripada “memberikan diri”.
“Demokrasi pada dirinya sendiri bukan sistem yang sempurna. Komunitas manusia sebagai pelaku sistem demokrasi mempunyai seribu satu kepentingan yang tidak serta merta tunduk dengan semata-mata diterapkannya sistem demokrasi. Karenanya, tidak mengherankan bahwa sejumlah indonesianis menyebut proses demokratisasi di Indonesia terus dibajak oleh para elite politik (Olle Tornquist, Jeffrey Winters) atau terbelenggu oleh kultur patronase (Edward Aspinall),” paparnya.
Bercermin dari situasi ini, Tambo Jentera Muda (TJM), komunitas kaum muda lintas iman yang bermarkas di Wisma Salam, Magelang, Jawa Tengah menyiapkan rangkaian kegiatan seni budaya bertajuk “Mencintai Seni, Menyelamatkan Masa Depan Demokrasi” pada 8 Juni hingga 22 Juli 2019.
“Berbagai kegiatan akan kami gelar, mulai dari lomba foto, diskusi, pameran lukisan, pameran patung, pagelaran musik, hingga pertunjukan seni tradisi. Kegiatan-kegiatan seni budaya ini akan mengupas bagaimana orang-orang muda memaknai apa itu demokrasi bagi mereka,” ujar pengelola TJM H Budi Purwantoro Pr.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pendidikan seni menjadi sarana yang baik untuk melatih karakter anak-anak muda agar lebih percaya diri, kreatif, dan bisa bekerja sama. Karena itulah, tahun ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan kembali menggelar Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) dengan menerjunkan 1.344 seniman ke 1.344 sekolah serta membuka kembali program Belajar Bersama Maestro yang memberi kesempatan kepada pelajar untuk belajar langsung tentang seni budaya langsung kepada para pelakunya.
Materi seni yang dikembangkan pada kegiatan GSMS 2019 adalah seni pertunjukan, seni rupa, seni sastra, film, seni musik, hingga seni media. Setiap sekolah akan melaksanakan pembelajaran dalam kurun waktu empat bulan atau paling lama lima bulan dengan total pertemuan sebanyak 27 kali dengan waktu pembelajaran minimal dua jam per pertemuan.
Sementara itu, program Belajar Bersama Maestro menerapkan model pembelajaran dengan jadi ”cantrik”, yakni peserta didik jadi bagian perguruan seni atau komunitas melekat pada sang guru. Mulai 1-14 Juli 2019, 20 maestro seni siap berbagi pengalaman kepada ratusan siswa-siswi yang lolos seleksi.