Peran Tokoh Masyarakat Diperlukan untuk Atasi Konflik

KOMPAS/FABIO COSTA

Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Komnas HAM Wilayah Papua Frits Ramandey (kiri) menyampaikan hasil investigasi insiden penembakan lima warga Fayit, Kabupaten Asmat, di Jayapura, Papua, Jumat (31/5/2019).

JAYAPURA, KOMPAS — Diperlukan pendekatan dengan menggunakan peran tokoh masyarakat dalam mengatasi konflik antara warga dan aparat keamanan, yang kembali terjadi di Papua selama tiga pekan terakhir. Hal itu demi menghindari jatuhnya korban di kedua pihak.

Demikian disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey, di Jayapura, Jumat (7/6/2019). Ia berpendapat, dalam menghadapi kasus pertikaian yang melibatkan masyarakat, baik di daerah maupun pedalaman Papua, diperlukan kehadiran tokoh masyarakat dari kalangan adat atau agama setempat.

Para tokoh itu dapat berperan sebagai pihak pertama yang meredam potensi konflik di masyarakat. ”Tokoh masyarakat sebagai pihak yang dihormati di daerahnya berperan sebagai pihak yang meredam sebelum terjadi konflik antara warga dan aparat keamanan,” kata Frits.

Ia berpendapat, selama ini, pihak TNI dan Polri kurang melibatkan tokoh masyarakat dalam penanganan konflik sosial. Akibatnya, sering terjadi konflik di antara kedua pihak yang berujung korban luka hingga meninggal.

PASTOR SANTON TEKEGE

Kondisi Markas Polsek Tigi yang hangus dibakar sekitar 50 warga di Waigete, Kabupaten Deiyai, Papua, Rabu (22/5/2019).

Dari catatan Kompas, total sudah terjadi tiga kali konflik antara warga dan aparat keamanan, baik TNI maupun Polri, selama tiga pekan terakhir di Papua. Pertama, konflik di Kabupaten Deiyai pada 21 Mei 2019 saat Markas Polsek Tigi dibakar, tiga warga diperkosa, seorang warga luka terkena tembakan, dan satu warga bernama Yulius Mote tewas tertembak.

Kemudian, konflik di Distrik Fayit, Kabupaten Asmat, pada 27 Mei 2019. Seorang anggota TNI melepaskan tembakan ke arah massa yang melakukan perusakan rumah keluarga seorang caleg di Fayit. Akibatnya, empat warga meninggal dan satu warga terluka parah di tangan kiri sehingga harus diamputasi.

Terakhir, konflik terjadi pada 3 Juni di Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke. Seorang polisi berinisial RK melepaskan tembakan yang menewaskan seorang pemuda bernama Yohan Moiwend. Insiden ini dipicu pertengkaran antara pelaku dan korban yang sama-sama dipengaruhi minuman keras.

”Pemda bersama TNI dan Polri harus menggandeng tokoh masyarakat secara intens. Tujuannya, agar kejadian seperti di tiga daerah ini tak terulang,” kata Frits.

KOMPAS/FABIO COSTA

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Muhammad Aidi

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) Muhammad Aidi, saat dihubungi, mengatakan, pihaknya siap untuk menggunakan pendekatan bersama tokoh masyarakat dalam mengatasi konflik di Papua. Namun, ia meminta agar regulasi yang melarang membawa dan penggunaan senjata di Papua lebih diperketat.

”Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 mengatur larangan membawa senjata secara bebas. Namun, regulasi ini seolah-olah belum dilaksanakan oleh sejumlah oknum warga,” ucap Aidi.

Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal mengatakan, pihaknya selalu memprioritaskan peran tokoh masyarakat setempat untuk mengatasi konflik sosial antarwarga ataupun antara warga dan aparat kepolisian di Papua.

”Kami selalu mengutamakan pendekatan persuasif sebagai langkah awal dalam menghadapi konflik dengan warga. Tujuannya, agar konflik tersebut tak meluas dan dapat dihentikan dalam waktu cepat,” ujar Ahmad.