Takut Harimau, Tiga Pekan Warga Desa Tak Berladang
Tiga pekan terakhir ini warga di empat desa penyangga Suaka Margasatwa Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, tidak berani beraktivitas di kebun karena takut diserang harimau sumatera.
Oleh
NIKSON SINAGA
·3 menit baca
PADANG LAWAS, KOMPAS – Tiga pekan terakhir ini warga di empat desa penyangga Suaka Margasatwa Barumun, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, tidak berani beraktivitas di kebun karena takut diserang harimau sumatera. Pemerintah menetapkan bencana daerah dan memberikan bantuan bahan pokok kepada masyarakat.
“Warga desa penyangga Suaka Margasatawa (SM) Barumun dicekam rasa takut sejak seorang warga meninggal dan seorang lagi terluka diterkam harimau. Mereka tidak berani pergi ke ladang. Aktivitas perekonomian pun tidak bergerak karena hampir seluruh warga adalah petani,” kata Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Padang Lawas Arpan Nasution, Kamis (6/6/2019).
Konflik antara harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae) dengan masyarakat terjadi sejak Abu Sali Hasibuan (61), tewas diterkam harimau saat menyadap karet di kebunnya di Desa Siraisan, Kecamatan Ulu Barumun, Kamis (16/5/2019).
Sebagian besar lahan yang berstatus areal penggunaan lain (APL) dialihfungsikan pemerintah kabupaten/kota menjadi perkebunan.
Beberapa hari kemudian, Senin (27/5), warga desa tetangga, yakni Faisal Hendri Hasibuan (48), diterkam harimau saat duduk di depan rumahnya di Desa Pagaran Bira Jae, Kecamatan Sosopan, Padang Lawas. Faisal selamat dengan luka parah dan masih dirawat di rumah sakit. Desa-desa tersebut berada sekitar tiga kilometer dari SM Barumun.
Arpan mengatakan, suasana di empat desa, yakni Desa Pagaran Bira Jae, Pagaran Bira Julu, Huta Bargot, dan Desa Siraisan sangat mencekam sejak serangan harimau itu. Selama tiga pekan ini, setiap sore hingga malam, hampir tidak ada warga berani keluar rumah. Akibatnya, warga tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari karena mata pencarian utama mereka adalah bertani.
“Kami telah menetapkan status bencana daerah di empat desa tersebut. Kami membagikan bantuan 28,5 ton beras kepada warga di empat desa, karena persediaan beras mereka sudah menipis,” kata Arpan.
Arpan mengatakan, pihaknya bersama Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumut berupaya mencari solusi jangka pendek mengatasi konflik satwa dengan masyarakat desa. Mereka berusaha menangkap harimau agar bisa dievakuasi. Penangkapan harimau untuk memberi rasa aman kepada warga, sekaligus menyelamatkan harimau dari amukan warga.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi Barumun BBKSDA Sumut Darwaman mengatakan, petugas masih bersiaga di desa-desa penyangga. Namun, petugas tidak lagi melakukan pencarian harimau ke hutan. Mereka hanya memasang empat kadang jebak dengan umpan kambing dan tujuh kamera sensor gerak.
“Hasil pantauan melalui kamera belum bisa mendapatkan gambar harimau. Petugas yang melakukan pemantauan juga tidak menemukan keberadaan harimau,” kata Darmawan.
Kerusakan habitat
Darwaman mengatakan, dalam beberapa konflik satwa dengan masyarakat, harimau seringkali kalah. Tewas diamuk warga. Petugas pun mengijinkan warga membuat kandang jebak dengan syarat warga tidak membunuh atau melukai harimau, tetapi menyerahkannya kepada petugas.
Penyelamatan harimau sumatera sangat penting di tengah populasinya yang terancam. Di SM Barumun diperkirakan hanya tersisa delapan ekor harimau sumatera. Di seluruh Sumut populasinya sekitar 35 ekor.
Salah satu penyebab harimau masuk ke perkebunan dan permukiman adalah kerusakan habitat yang membuat berkurangnya mangsa harimau di hutan. Dari total sekitar 40.330 hektar luasan SM Barumun, 2.900 ha di antaranya menjadi lahan terbuka yang dialihfungsikan menjadi kebun.
Sebelumnya, Kepala BBKSDA Sumut Hotmauli Sianturi mengatakan, harimau sumatera semakin terancam karena kerusakan hutan dan daerah penyangga hutan. Habitat harimau kini berbatasan langsung dengan perkebunan, pertambangan, dan permukiman tanpa ada wilayah penyangga.
Sebagian besar lahan yang berstatus areal penggunaan lain (APL) dialihfungsikan pemerintah kabupaten/kota menjadi perkebunan. Padahal, APL seharusnya menjadi penyangga kawasan hutan.