Ubi Jalar Mekar Bersemi di Windusari
Berpuluh tahun hidup bergantung pada pertanian tembakau, sebagian petani di Kecamatan Windusari, Magelang, berganti haluan. Ubi jalar lebih menyejahterakan. Komoditas itu diekspor ke Malaysia dan Singapura.
Tak ada yang menyangka ubi jalar akan membawa perubahan berarti bagi para petani tembakau di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Semua berawal enam tahun lalu.
Sejak saat itu, seluruh perlakuan terhadap ubi berubah drastis. Jika sebelumnya ditanam sebagai pengisi lahan kosong di tepian ladang sayur atau padi, kini ubi menempati ”panggung utama”, menempati areal terbesar. Bahkan, menjadi satu-satunya tanaman yang ditanam petani.
Sebelum enam tahun lalu, tak jarang ubi siap panen pun dibiarkan membusuk di ladang. Apalagi saat harga pasarannya anjlok. Kini, tak ada ubi yang dibiarkan tergolek di lahan atau rumah. ”Setiap hari, setidaknya lima mobil bak terbuka dan truk hilir mudik mencari ubi jalar kemari,” ujar Suparno, petani ubi jalar di Desa Candisari, Kecamatan Windusari.
Sebagian besar ubi jalar dibeli para pedagang dari Magelang dan Semarang. Selain untuk bahan baku makanan ringan, ubi dipasok menjadi bahan baku pabrik saus tomat, saus sambal, dan krim wafer.
Tidak hanya di lingkup domestik, ubi jalar juga menembus pasar luar negeri. ”Mulai tahun ini, sebagian ubi jalar produksi Windusari telah diekspor hingga Malaysia dan Singapura,” ujar Istanto, petani ubi di Desa Candisari. Di dalam negeri, harga ubi jalar Rp 3.000-Rp 4.000 per kilogram. Jika diekspor, ubi jalar petani laku Rp 10.000 per kg.
Kini, dari 20 desa di Kecamatan Windusari, pertanian ubi jalar berkembang di 11 desa. Produktivitasnya 25-30 ton per hektar (ha). Dengan rata- rata kepemilikan lahan petani 1.000-2.000 meter persegi—setiap panen ubi 6-7 bulan sekali—setiap petani bisa mendapat minimal Rp 7,5 juta.
Jika mampu memenuhi permintaan ekspor, petani untung lebih besar. Namun, saringannya ketat. ”Pernah ada pasokan petani sekitar 21 ton, tetapi dari hasil sortir hanya ada 6 ton yang memenuhi syarat,” ujar Istanto. Kendati sulit, ketatnya persyaratan yang ditetapkan justru memacu petani meningkatkan kualitas panen.
Saat ini, ada lima jenis ubi jalar di Kecamatan Windusari. Selain ubi mangsi, ada jenis cilembu, manohara, ase, serta dari Ambarawa. Ubi mangsi ada sejak puluhan tahun lalu, ubi cilembu sejak 2012, dan tiga jenis ubi lain dikembangkan dua tahun terakhir.
Penyelamat
Musim semi ubi jalar di Windusari terkait dengan kisah suram pertanian tembakau. Berpuluh tahun tembakau menjadi primadona, andalan hidup petani Windusari. Saat harganya anjlok pada 2012, kehidupan petani kocar-kacir.
Kegundahan juga dialami Suparno, petani tembakau yang sebenarnya sering menanam ubi. Pada 2005 mulai ada pedagang dari Semarang mencari ubi di Kecamatan Windusari. Jumlah pencari ubi yang terus bertambah membuatnya terdorong menanam ubi jalar.
Suparno sudah merasakan nikmat panen ubi. Pembayaran dari pembeli langsung diterima tunai dan utuh saat transaksi, tidak seperti saat bertani dan menjual tembakau. Saat itu, ia sering kali harus menunggu lama. Bahkan, beberapa kali ditipu, tidak mendapat uang sesuai janji.
Dari bertani ubi, ia menabung dari empat kali panen dan bisa merenovasi rumah. Ia juga bisa membeli kendaraan. Suparno pun memperluas lahan. Jika dulu memulai dengan 2.000 meter persegi, kini ia mengelola lebih dari 1 ha. Semua ditanami ubi jalar.
Istanto pun sama. Awalnya dia menanam ubi pada 2013, dan masih menanam tembakau di tepi lahan. Oleh karena dua tanaman itu tidak bisa disatukan, ia memilih ubi. Kini, hidupnya lebih sejahtera.
Lahan bertambah luas
Keberhasilan Suparno dan Istanto menginspirasi petani lain. Sejak tiga tahun lalu, Zaenal, petani di Desa Genito, ikut menanam ubi, selain tembakau di lahan berbeda. Dengan hasil yang dirasakan dari ubi, mulai tahun ini ia tinggalkan tembakau. Kini, total ada 1.500-an petani ubi di sana.
Dari sisi cakupan lahan, berdasarkan data Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Windusari, luas pertanian ubi jalar yang sebelumnya sekitar 100 ha, dalam lima tahun berkembang menjadi 350 ha.
Sebaliknya, luas tanaman tembakau menyusut. Dari total ladang 2.984 ha, areal tembakau yang dulu sekitar 1.000 ha, pada tahun lalu berkurang menjadi 945 ha. Persentase tanaman tembakau di areal sawah yang dulu lebih dari 50 ha pun berkurang.
Kini, ubi jalar mekar bersemi di Windusari. Mudah- mudahan hal ini berumur panjang, tidak lekas rontok seperti umumnya komoditas pertanian lain. (REGINA RUKMORINI)