Desember 1993, Megawati Soekarnoputri bertemu dengan Siti Hardiyanti Rukmana (Tutut). Rakyat Indonesia pun bergembira dengan pertemuan dua putri presiden itu.
Pertemuan putri Presiden pertama Republik Indonesia (RI) Soekarno dan putri Presiden kedua RI Soeharto itu bukanlah pertemuan biasa. Seperti diberitakan harian ini, silaturahmi dua perempuan pemimpin organisasi politik, Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Golongan Karya (Golkar), itu menepis isu ada pertentangan keluarga dua pemimpin nasional tersebut. Rakyat berharap keduanya terus akrab (Kompas, 16/12/1993).
Presiden ketiga RI BJ Habibie terus-menerus menyerukan pentingnya silaturahmi antarpimpinan bangsa dan antarwarga negeri ini. Seperti saat membuka silaturahmi nasional Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1 November 1998, ia mengajak semua lapisan dan golongan masyarakat untuk tak henti-hentinya meningkatkan semangat persatuan dan kesatuan, dengan mengembangkan hubungan silaturahmi ke segala arah, serta memelihara ketertiban dan ketenteraman.
Silaturahmi, sesuai Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berarti tali persahabatan (persaudaraan). Dalam sejarah negeri ini, silaturahmi sering kali digunakan sebagai media untuk bisa menyelesaikan masalah dalam masyarakat. Korban terorisme, misalnya, bertemu dengan pelaku atau keluarga pelaku, membuka pintu maaf dan merajut persaudaraan.
Ada banyak contoh, silaturahmi bisa dipakai sebagai cara atau upaya untuk mengeratkan kembali warga yang sempat terbelah. Oleh karena itu, saat sejumlah elite politik bertemu, yang sebelumnya berseberangan dalam pilihan politik, terkait puasa atau perayaan Idul Fitri, rakyat pun berharap. Ada harapan persoalan yang membelit bangsa ini, terutama terkait politik, bisa diselesaikan tanpa kegaduhan. Tiada lagi yang dilukai.
Sesungguhnya tak sederhana untuk menjalin silaturahmi sebab di dalamnya ada kesediaan menyangkal diri, menerima orang lain, meminta maaf dan memberikan maaf, rendah hati, dan kesetaraan dalam berkomunikasi. Kita bersyukur, tahun 2019 ini kesediaan bersilaturahmi antarwarga bangsa itu difasilitasi bulan Ramadhan dan Idul Fitri, yang memungkinkan rakyat Indonesia dan pimpinannya lebih mudah membukakan pintu maaf, bersilaturahmi. Silaturahmi seharusnya gampang terjadi. Sila Persatuan Indonesia mudah diwujudkan. Apalagi, pada dasarnya rakyat Indonesia, adalah bersaudara.
Seperti pepatah Jawa, tega larane ora tega patine, kita bisa saja tega kalau saudara sakit, tetapi tak tega saat saudara meninggal. Kita saudara sebangsa dan setanah air, tentu bisa menyelesaikan apa pun persoalan bangsa dengan tetap saling menghormati dan mengutamakan kepentingan bangsa.
Cendekiawan Muslim, Quraish Shihab, 11 tahun lalu, dalam khotbah Lebaran, mengingatkan pentingnya teladan pemimpin dalam merangkai silaturahmi. Rakyat akan mengikuti apa yang dilakukan pemimpinnya. Pilihannya kini pada siapa pun pemimpin negeri ini, mau dicatat sebagai pemimpin yang bisa mempersatukan bangsa, atau sebaliknya....