Menanti Dampak Positif Konvensi Basel
Suatu negara tak bisa lagi sekadar "membuang" sampah plastiknya ke negara lain. Konvensi Basel menuntut negara pengekspor sampah plastik bertanggungjawab atas isi pengiriman.
Sidang COP Ke-14 Konvensi Basel di Jenewa, Swiss pada 29 April – 10 Mei 2019 disambut kalangan pemerhati lingkungan sebagai babak baru perang melawan sampah plastik, baik bagi negara berkembang maupun bagi negara maju. Perdagangan sampah plastik kini diatur dalam perjanjian internasional tersebut dan berlaku penuh pada 1 Januari 2021.
Bagi Indonesia, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hasil konvensi ini bukan sesuatu yang baru. Perundangan nasional sejak 11 tahun lalu telah memberikan larangan untuk mengimpor sampah plastik.
Hanya saja melalui Konvensi tersebut, soal perdagangan sampah plastik kini melibatkan langsung otorita pemerintah pengekspor ke otorita pemerintah pengimpor. Otorita negara pengekspor wajib memberikan notifikasi pengiriman sampah plastik ke otorita negara tujuan. Artinya, negara asal turut bertanggungjawab atas isi pengiriman.
Otorita negara pengekspor wajib memberikan notifikasi pengiriman sampah plastik ke otorita negara tujuan. Artinya, negara asal turut bertanggungjawab atas isi pengiriman.
Notifikasi atau pemberian info awal ini agar negara tujuan mengetahui benar isi dan kandungan barang yang dikirimkan dan akan memasuki wilayahnya. Negara tujuan bisa menolak rencana pengiriman tersebut. Selain itu, negara tujuan bisa mengembalikan komoditas tersebut apabila dijumpai berupa sampah plastik.
Meski regulasi nasional Indonesia melarang impor sampah plastik, di lapangan, impor “sampah plastik” tersebut masih diperbolehkan dan diizinkan. Hanya saja, sampah plastik tersebut adalah berupa scrap atau material plastik yang telah dicacah dari negara asal dan siap didaur ulang dengan proses penyiapan minim dan tanpa residu pada industri di Indonesia. Jenis sampah plastik ini disebut clean plastic atau plastik bersih dalam Konvensi Basel yang masuk dalam Annex IX atau tak perlu notifikasi.
Syarat lainnya, bahan baku material tersebut wajib diolah sendiri oleh industri pengimpor serta tak boleh diperdagangkan. Jenis-jenis material plastik daur ulang tersebut seperti PP, HDPE, dan PE yang mudah ditemui berupa botol minuman kemasan sebenarnya sangat banyak dan berceceran di sungai, pantai, dan berbagai lokasi yang bukan tempatnya.
Lantas kenapa Indonesia masih mengimpor? Data Kementerian Perindustrian menunjukkan kebutuhan bahan baku bagi industri plastik nasional mencapai 5,6 juta ton per tahun. Sebanyak 2,3 juta ton dipenuhi dari virgin plastic (bijih plastik murni), impor bijih plastik 1,67 juta ton, pemenuhan material plastik daur ulang dalam negeri 1,1 juta ton.
Artinya, industri plastik masih kekurangan material sebanyak 600.000 ton yang selama beberapa waktu dipenuhi dari impor “sampah plastik” berupa scrap sebanyak 110.000 ton. Mekanismenya menggunakan Peraturan Menteri Perdagangan No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya.
Industri plastik masih kekurangan material sebanyak 600.000 ton yang selama beberapa waktu dipenuhi dari impor “sampah plastik” berupa scrap sebanyak 110.000 ton.
Hanya saja sejak Juli 2018 – Februari 2019, KLHK menghentikan sementara pemberian rekomendasi impor tersebut. Ini karena berbagai temuan importasi scrap plastik tersebut tercampur oleh sampah dan limbah lain yang menjadi residu. Sampah-sampah tak berguna tersebut yang akhirnya menambah beban berat lingkungan di Indonesia yang sudah kewalahan dengan timbulan sampahnya sendiri.
KLHK meminta agar Permendag 31/2016 ini direvisi karena celah kata “dan lain-lain” pada HS Code (kode perdagangan komoditas) yang membuat identifikasi/kategori scrap plastik tersebut longgar. Menurut informasi, revisi ini juga dilakukan sekalian untuk memperketat impor kertas bekas yang ternyata disusupi sampah plastik.
Penelusuran Yayasan Ecoton di Jawa Timur, sampah plastik yang mengotori impor kertas daur ulang bisa mencapai 30-40 persen. Sampah-sampah dari negara luar tersebut ada yang dberikan maupun dijual kepada masyarakat. Sebagian lagi sampah yang tak bernilai menjadi pengotor di pinggir-pinggir sungai maupun tanah-tanah kosong di pinggir Kali Brantas.
Penelusuran Yayasan Ecoton di Jawa Timur, sampah plastik yang mengotori impor kertas daur ulang bisa mencapai 30-40 persen.
"Pertobatan" China
Banjir sampah impor ini disinyalir erat kaitannya dengan “pertobatan” China yang tak lagi mau menjadi importir sampah plastik terbesar di dunia. Sejak tahun 1992, China mengimpor sekitar 45 persen dari total perdagangan sampah plastik dunia. Kebijakan National Sword ini membuat negara-negara maju sumber asal sampah plastik tersebut kelabakan dan mencari lokasi-lokasi tujuan baru.
Pilihan termudah adalah di negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Saat ini hanya Indonesia yang masih membuka keran impor sampah plastik berbentuk scrap yang diklaim clean plastic.
Saat ini hanya Indonesia yang masih membuka keran impor sampah plastik berbentuk scrap yang diklaim clean plastic.
Laporan penelitian berjudul The Chinese import ban and its impact on global plastic waste trade pada jurnal Science Advance pada 20 Juni 2018 menelusuri dugaan-dugaan lokasi sampah-sampah plastik yang semula mengalir ke China. Para peneliti, Amy L Brooks, Shunli Wang, dan Jenna R Jambeck, dari Universitas Georgia Amerika Serikat menggunakan data-data perdagangan dunia dan menemukan negara maju mengekspor sampah plastik (70 persen pada 2016) ke negara berpendapatan rendah di Asia Timur dan Pasifik selama bertahun-tahun.
Riset tersebut menduga sekitar 111 juta ton sampah plastik tak bisa terkirim pasca kebijakan China pada 2030. Sekitar 89 persen sampah tersebut yaitu berupa PP, PE, dan PET yang berasal dari kemasan air minum sekali pakai.
Karenanya, mengubah perilaku konsumen untuk mengurangi pemakaian kemasan sekali pakai, mendorong produsen untuk bertanggungjawab atas kemasan yang dihasilkan, serta mengubah pola distribusi/kemasan produk akan sangat membantu mengurangi risiko sampah. Ini berlaku bagi negara maju maupun negara berkembang yang sama-sama menginginkan lingkungan yang bersih.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan Indonesia harus siap-siap menjadi lokasi tujuan pembuangan sampah dunia. Ini karena pada Juli 2018, pemerintah Malaysia mencabut izin impor 114 perusahaan dan telah menargetkan pelarangan impor pada 2021.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) mengingatkan Indonesia harus siap-siap menjadi lokasi tujuan pembuangan sampah dunia.
Dilansir dari Reuters.com, Malaysia pun bersiap mengirim kembali 60 kontainer berisi 3.000 ton sampah ke Australia, AS, Jepang, Perancis, Kanada, Australia, dan Inggris. Serupa, Filipina pun mengirimkan 69 kontainer kembali ke Kanada.
Masih dari situs berita tersebut, Kanada sempat menolak karena ekspor itu terjadi pada 2013-2014 serta berdasarkan relasi bisnis, tanpa pemerintah. Di sinilah nanti peran penting Konvensi Basel yang melibatkan otorita pemerintah dalam ekspor-impor sampah maupun material dari sampah.
Konvensi Basel diharapkan dapat menjadi amunisi baru bagi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Basel. Namun bagaimana pun, sistem pengelolaan lingkungan dan penerapan di lapangan yang sangat penting.
Pengalaman penting terjadi pada tahun 2011-2012 dimana Indonesia menjumpai ratusan kontainer berizin scrap logam namun ternyata isinya berupa logam masih berupa produk utuh dengan berbagai pengotor oli, tanah, sampah elektronik, kemasan bahan kimia, dan tanah (Kompas, 11 Februari 2012).
Konvensi Basel yang dicetuskan dari Proposal Norwegia tersebut memang “hanya” penguat dari regulasi nasional. Penguatan petugas di lapangan seperti aparat Bea dan Cukai serta surveyor untuk mendeteksi jenis “sampah plastik” yang masuk akan sangat penting.
Namun jauh terlebih penting, perbaikan pengelolaan dan pengumpulan sampah di dalam negeri harus agresif diperbaiki selain perubahan perilaku untuk mengurangi timbulan sampah. Apabila sampah terpilah sejak dini, saat terangkut, dan saat pengumpulan, sampah-sampah plastik yang masih berharga bisa menjadi bahan materi bagi industri daur ulang. Artinya, impor akan bisa sangat dikurangi.
Dampak positifnya, lingkungan membaik, peradaban dan perilaku penanganan sampah di Indonesia meningkat, serta neraca perdagangan pun terdongkrak. Bagi negara maju yang selama ini tampak bersih karena memindahkan sampahnya ke negara berkembang, Konvensi Basel pun akan mendorong mereka juga memiliki peradaban yang maju dengan bertanggung jawab mengolah sampahnya di negaranya sendiri.