Para orang berpengaruh di media sosial (influencer) di Indonesia mungkin tengah menikmati masa keemasan. Mereka bisa meraup uang dalam jumlah besar dari materi-materi yang diunggah di akun mereka. Meski demikian, saat kemarau mungkin bakal tiba. Beberapa perusahaan sudah mulai mengurangi penggunaan mereka. Kebebasan yang berlebihan dalam mengunggah materi promosi juga mulai dikendalikan.
Kebebasan itu terlihat dari akun-akun mereka yang dengan mudah mempromosikan produk perjudian, obat atau kosmetik yang belum tersertifikasi, dan berbagai produk ilegal lainnya. Di sisi lain, masih sedikit influencer yang dengan tegas menyatakan materi yang diunggah merupakan konten berbayar. Padahal, mereka mempromosikan sebuah produk. Mereka sangat bebas menerima permintaan untuk mempromosikan produk.
Di negara lain, influencer mulai dikendalikan. Pekan ini, Shopie Hinchliffe, influencer yang memiliki 2,5 juta pengikut di akun media sosialnya, diperiksa otoritas pengatur periklanan Inggris (Advertising Standards Authority/ASA). Ia diduga tidak membuka secara jelas kemungkinan ada pesan iklan dan kemungkinan dia dibayar untuk itu di salah satu unggahannya.
Media Inggris melaporkan, setidaknya ada tiga orang yang telah melaporkan unggahan Shopie yang lebih dikenal dengan Mrs Hinch di media sosial terkait unggahan tips kebersihan. Di unggahan itu, ia menyebut produk Flash dan Febreze yang dibuat Procter & Gamble. Pelapor menduga Shopie menerima sejumlah uang dari unggahan ini.
Masalah muncul karena berdasarkan aturan setempat, mereka yang menjadi influencer harus secara jelas dan tegas menyatakan bahwa mereka dibayar atau mendapatkan sesuatu ketika mempromosikan, membahas, dan berbincang tentang sebuah produk di media sosial. Adalah tindakan ilegal bila mereka mengunggah material seperti itu tanpa membuat pernyataan bahwa mereka menerima pembayaran atau barang dari pihak ketiga.
Tindakan-tindakan yang tergolong ilegal itu sebenarnya dipahami banyak kalangan, tetapi mereka kadang mencuri-curi agar konten seperti itu lolos. Mereka berusaha mengakali aturan. Pasalnya, pernyataan bahwa konten itu dibayar perusahaan tertentu akan mengurangi minat orang untuk membaca atau memperhatikan konten tersebut. Sebuah riset menyebutkan, pernyataan seperti itu mengurangi paparan ke calon konsumen dan penjualan produk sekitar 5 persen. Tegasnya, orang cenderung tidak membeli ketika ada pernyataan bahwa influencer dibayar oleh perusahaan tertentu.
Saatnya otoritas di Indonesia mengendalikan influencer karena mereka sangat memengaruhi calon konsumen untuk membeli produk. Mereka memiliki dampak yang kuat bagi calon pembeli. Salah satu yang diperlukan adalah panduan bagi influencer ketika mempromosikan sebuah produk.
Di Inggris, panduan itu telah dibikin tahun lalu. Isinya antara lain soal pengertian dengan iklan sekalipun diunggah oleh akun personal, yaitu ketika merek tertentu membayar atau memberikan suatu produk untuk sebuah konten serta ketika mereka ikut mengendalikan isi konten.
Dokumen 18 halaman itu memandu para pemilik akun media sosial untuk memastikan konten mereka tergolong promosi atau bukan, tindakan otoritas bila ada komplain dari konsumen, serta bantuan otoritas agar mereka memahami aturan periklanan. Tahun lalu, otoritas di Inggris pernah meminta penurunan sejumlah unggahan influencer karena tidak taat aturan. (ANDREAS MARYOTO)