Baru kupahami kini mengapa mendiang Bapak, Ibu, Paklik Totok, maupun Mbak Nia dahulu paling enggan hadir dalam pertemuan keluarga besar yang menyinggung masalah warisan. Bahkan mereka memilih menuruti apa pun keputusan yang bersedia membahasnya secara terperinci. Sepeninggal mereka, terasa benar bahwa harta peninggalan nenek moyang bisa menjadi problema kompleks yang tak mudah mendapatkan solusi. Harta tersebut secara kasat mata tak terlalu berlimpah, hanya sebuah rumah tua besar berhalaman luas di kota kecil tempat keluarga Mbah Kakung tinggal puluhan tahun silam.
Di situlah tempat Ibu, Paklik Totok, dan saudara-saudaranya beserta kedua orangtuanya pernah tinggal. Bapak, Ibu, dan sejumlah kakakku pernah pula menempati rumah tersebut tatkala diriku belum lahir. Ketika Mbah Kakung dan Mbah Putri masih hidup, aku pun telah hadir di dunia, kerap sekali kudatangi rumah tersebut. Aku masih ingat saban liburan sekolah tiba, kami selalu bercengkrama bersama anak cucu Mbah seluruhnya. Tak heran jika hubunganku dengan paklik dan bulikku, juga dengan adik-adik sepupuku terjalin hangat sejak dahulu. Ibuku sendiri merupakan anak sulung Mbah Kakung berdua.
Sesungguhnya aku malah sempat tinggal di sana menemani Mbak Nia yang masih melajang, yang sebelum Mbah Putri tutup usia sudah menempatinya, berhubung dia bekerja di kota itu. Semula Mbak Nia berniat menemani Mbah Putri, sedangkan aku bersedia ikut dengannya karena ingin belajar mandiri. Namun, nenekku kemudian malah pindah ke kota lain guna menemani anak-anak Bulik Nunik, yang ditinggal ibunya bersekolah di mancanegara karena mendapat beasiswa. Suami Bulik Nunik sendiri sudah wafat sekian tahun sebelumnya. Mbah Putri akhirnya tutup usia di rumah Bulik Nunik, tidak di rumahnya sendiri. Lantas, begitu kakak perempuanku itu menikah, aku langsung memiliki sejumlah keponakan. Lelaki yang memperistri Mbak Nia adalah seorang duda beranak lima. Kakak iparku beserta anak-anaknya lalu tinggal bersama Mbak Nia dan diriku di rumah Mbah Kakung. Yang lucu, salah satu keponakan baruku sudah kukenal lebih dulu sebagai teman sekolahku. Maka wajar belaka jika kumiliki kedekatan yang lebih emosional dengan rumah tersebut ketimbang saudaraku lainnya. Begitu banyak kenanganku bersama rumah besar yang kini tak lagi berpenghuni tersebut. Hanya ada sebuah keluarga sederhana yang baik hati, yang selama sepuluh tahun terakhir menyewa bagian paviliunnya.
***
Masalah mulai mengemuka, kira-kira dua tahun semenjak Ibu kembali ke hadirat Ilahi. Sementara itu, Paklik Totok telah tutup usia tiga tahun sebelumnya. Mbak Nia berpulang ke Rahmatulllah tiga bulan menjelang Ibu wafat. Kepergian kakak perempuan dan ibuku menjadi masa yang cukup berat bagi keluarga kami. Maklumlah, baik Ibu dan Mbak Nia, demikian pula Paklik Totok, adalah orang-orang yang paling konsisten menjaga rumah peninggalan Mbah Kakung sebagai sesuatu yang sangat bernilai. Mereka pula yang selalu berinisiatif supaya anak cucu Mbah Kakung bisa kerap berkumpul di mana saja, tapi terutama di rumah itu. Saban kami bisa kembali berjumpa, rasanya wajah semua orang tampak riang gembira.
Paklik Totok dan Mbak Nia merupakan yang paling sibuk menjaga serta merawat rumah Mbah Kakung, sedangkan Ibu sudah tentu yang paling getol mendukung aktivitas positif adik dan putrinya tersebut. Boleh dikata, mereka merupakan tokoh pemersatu keluarga Mbah Kakung. Sesudah Paklik Totok wafat, masih ada Ibu dan Mbak Nia yang membuat persaudaraan kami tetap erat dan hangat. Bahkan rencana pertemuan keluarga besar kami di rumah Mbah Kakung tetap terselenggara, kendati Paklik Totok baru meninggal tiga bulan menjelang acara berlangsung. Namun, pada waktu itulah sepertinya terakhir kali sekitar seratus orang yang memiliki hubungan darah yang sama, biar pun berasal dari berbagai kota, bisa berkumpul di rumah berhalaman luas tersebut.
Selama ketiga tokoh pemersatu keluarga besar kami masih ada, tak pernah sedikit pun tercetus gagasan menjual rumah Mbah Kakung. Aku beserta seluruh kakak dan adikku pun masih ingin mempertahankan harta warisan itu, kendati tak seorang pun dari kami bisa menempatinya. Setelah Ibu wafat, kami lantas menyerahkan segala keputusan kepada adik-adik mendiang Ibu yang masih ada, yaitu Bulik Tatik, Bulik Nunik, dan Bulik Menik. Sebagai keturunan langsung Mbah Kakung yang masih hidup, rasanya mereka yang paling berhak menentukan nasib harta peninggalan orangtua mereka. Sementara itu, mendiang Paklik Totok melajang sepanjang hayatnya. Namun, barangkali justru itulah kesalahan kami yang terlalu pasrah dan percaya begitu saja.
***
Tak pernah ada kabar apa-apa soal rumah Mbah Kakung, hingga pada sebuah hari Bulik Menik ditemani Tora putranya datang ke rumah kami. Bulik Menik meminta kami berkumpul karena ada hal penting yang akan diutarakannya. Mereka bermaksud meminta tanda tangan semua anak mendiang Ibu untuk menyetujui penjualan rumah peninggalan Mbah Kakung. Bukan main terperanjatnya kami. ”Maaf, Bulik. Terus terang, kami terkejut sekali dengan rencana penjualan rumah Mbah Kakung. Bagaimana ceritanya, kami mohon klarifikasi dari Bulik Menik,” ujar Mas Haryo, kakak laki-laki tertuaku.
”Sebenarnya kami sudah bernegosiasi dengan calon pembeli. Tora yang kami tunjuk sebagai wakil keluarga. Harga sudah disepakati, tetapi mereka ingin semua ahli waris menandatangani persetujuan penjualannya, sebelum nantinya akta jual beli dibuat oleh notaris,” kata Bulik Menik, seperti tanpa beban.
”Sebentar, Bulik. Kenapa setelah Ibu wafat, kami tidak pernah diajak rembukan tentang rumah Mbah Kakung? Mohon maaf, kami rada tersinggung selama ini dianggap tidak ada, lantas tiba-tiba disuruh tanda tangan begini,” ucapku menanggapi ujaran adik bungsu ibuku tersebut.
”Seingat saya, mendiang Ibu dan Paklik Totok tidak pernah berencana menjual rumah itu. Kenapa Bulik Menik mendadak mau menjualnya?” gugat Mas Haryo.
”Rencana penjualan rumah itu juga sudah disepakati Bulik Tatik dan Bulik Nunik, bukan hanya saya yang menentukannya!” sahut Bulik Menik yang tampak mulai emosional mendengarkan respons para keponakannya. Bisa jadi ia menduga bahwa kami akan menyetujui rencana penjualan rumah tersebut. Sudah pasti tidak demikian, lantaran kami -anak-anak mendiang Ibu- masih ingin menjaga rumah itu seutuhnya, kendati entah bagaimana caranya. Memang tinggal ketiga adik perempuan Ibu yang merupakan ahli waris langsung kakekku yang tersisa sepeninggal Paklik Totok dan Ibu, tapi apakah kami sama sekali tidak memiliki hak suara?
***
Bermula dari rencana penjualan rumah Mbah Kakung yang kami tolak itu, hubungan persaudaraan kami dengan ketiga adik perempuan Ibu menjadi renggang. Demikian pula koneksi kami dengan adik-adik sepupu jadi kurang nyaman. Hangatnya kasih sayang yang terjalin puluhan tahun berangsur meluntur. Iba hatiku sejatinya melihat kenyataan yang ada. Mas Haryo -sebagai wakil anak-anak Ibu- mengusulkan supaya nasib rumah Mbah Kakung dibahas dari awal oleh semua pihak, tidak hanya oleh ketiga bibi kami dan anak-anaknya. Sekiranya nanti rumah tersebut akhirnya dijual, lantaran memang tiada solusi lainnya, kami siap melepasnya asalkan nilainya sepadan. Tetapi sekali lagi, jika memang tidak ada kemungkinan lainnya, maka dijual merupakan jalan pamungkas.
Kami menengarai rumah tersebut dihargai terlalu rendah dalam rencana penjualan sebelumnya. Tentu amat disayangkan jika dijual murah, kendati bukan harapan kami mendapat jatah bagi waris. Sebenarnya kami masih mampu menghidupi diri dengan pekerjaan masing-masing selama ini. Ketiga bibi kami bersedia menerima ide Mas Haryo. Berbilang bulan kami telah berkumpul sekian kali, berbicara dari hati ke hati, mencoba mencari penyelesaian terbaik, tapi tak kunjung ketemu. Kusempatkan diri hadir dalam rapat keluarga besar dan memberikan sejumlah alternatif solusi. Namun, yang selalu ada malah perdebatan sia-sia yang mengobrak-abrik perasaan belaka.
Sejatinya aku masih ingin kembali sekadar menyumbang saran, yang barangkali mampu menjadi jawaban atas masalah yang ada. Apa yang pernah dilakukan Ibu, Paklik Totok, dan Mbak Nia semasa hidupnya masih ingin kulanjutkan dengan segenap ahli waris Mbah Kakung, yaitu mempertahankan rumah Mbah Kakung sebagai milik bersama. Namun, tanpa bisa kuduga Sang Maha Pencipta menghendaki diriku agar kembali ke hadirat-Nya. Tak punya kuasa apa pun diriku menolaknya dan tinggal bisa menerimanya belaka. Aku mesti berjalan sendiri menuju pada-Nya. Sebatas dapat kuharap, mereka yang kutinggalkan mampu menemukan jalan keluar bagi problema yang telah menjadi duri dalam daging keluarga besar kami.
Kemesraan hubungan segenap anak keturunan Mbah Kakung pun semoga dapat terjalin kembali dengan indah. Yang terang, lepas sudah segala beban hidupku di atas buana. Akan kurasakan kebahagiaan yang lain lantaran segera kutemui mereka yang kusayangi, yang telah lama nian kurindukan. Ada Bapak, Ibu, Mbak Nia, Paklik Totok, juga pastinya Mbah Kakung dan Mbah Putri yang telah lebih dahulu melangkah ke alam sana.
Luhur Satya Pambudi, lahir di Jakarta dan tinggal di Yogyakarta. Cerpennya pernah dimuat di Horison, Tribun Jabar, Suara Merdeka, basabasi.co, dan sejumlah media cetak dan daring lainnya. Kumpulan cerpen perdananya berjudul Perempuan yang Wajahnya Mirip Aku (Pustaka Puitika).