Diplomasi pada intinya adalah melakukan terobosan. Dengan sebuah terobosan yang ditawarkan, kebuntuan atau ketegangan diharapkan teratasi.
Hal tersebut sedang diupayakan oleh Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe. Kunjungannya ke Iran pada pekan depan memiliki tujuan utama, mengajak Iran bersedia melakukan pembicaraan dengan Amerika Serikat (AS). Kesediaan dua belah pihak yang berseteru itu untuk menggelar perundingan dipastikan mengurangi ketegangan di antara mereka.
Beberapa waktu terakhir, ketegangan di antara Teheran dan Washington meningkat. AS mengirim kekuatan militer, antara lain, berupa kapal induk ke wilayah Timur Tengah. Selain itu, ada serangan terhadap sejumlah kapal tanker, antara lain milik Arab Saudi, yang—menurut AS—dilakukan pihak-pihak yang memiliki hubungan dengan Iran.
Ketegangan yang meningkat ini merupakan buntut mundurnya AS dari Perjanjian Nuklir Iran. Alasan AS, perjanjian itu tak mampu mencegah Iran mengembangkan kekuatan militer. Dengan demikian, AS menerapkan kembali sanksi atas Iran, termasuk larangan bagi negara itu untuk menjual minyak.
Ekonomi Iran sangat terpengaruh oleh pemberlakuan sanksi. Perusahaan swasta Eropa, misalnya, mengurungkan niat berbisnis dengan Iran karena takut jika nekat melakukannya, mereka dikenai tindakan hukum oleh AS.
Dalam situasi itu, tampak tak ada jalan keluar. Iran beberapa kali menunjukkan sikap untuk membalas tindakan keras AS. Sebaliknya, Washington senantiasa menunjukkan kesiapannya berperang dengan Teheran.
Dunia mengetahui, kedua belah pihak sesungguhnya tak menghendaki perang, tetapi dipahami pula, bahaya konflik bersenjata di antara mereka tetap ada. Kesalahan kecil dalam menafsirkan manuver pihak yang berseberangan sudah cukup untuk memicu perang.
AS menerapkan kembali sanksi atas Iran, termasuk larangan bagi negara itu untuk menjual minyak.
Dalam konteks itulah kesediaan PM Abe untuk bertandang ke Teheran guna meredakan ketegangan AS-Iran menjadi sangat penting. Pertanyaannya, seberapa kuat posisi Abe untuk mengajak Iran dan AS agar mau berunding?
Media The Japan Times menilai Jepang memiliki kelebihan, yakni merupakan sekutu dekat AS sehingga tentu dipercaya Washington. Dengan demikian, Jepang akan dipercaya oleh Iran sebagai pihak yang mampu membawa pesan dari Washington, sekaligus mendorong AS mematuhi konsensus.
Bagi Iran, Jepang (80 persen kebutuhan energinya disuplai lewat Selat Hormuz) juga merupakan teman sangat baik. Mereka tahun ini merayakan ulang tahun hubungan diplomatik ke-90. Tokyo telah memperlihatkan pula sikap tak mengekor AS dalam menentukan kebijakan terkait Palestina, sesuatu yang tentu diapresiasi Iran.
Aspek penting lain yang membuat Jepang dinilai baik oleh Iran ialah negara itu tidak memiliki sejarah kolonialisme di Timur Tengah. Kini dunia menunggu, akankah Abe berhasil melakukan terobosan di tengah kebuntuan antara Iran dan AS?