PARIS, SABTU — Sempat menyerah dari persaingan di arena tenis profesional, Ashleigh Barty beralih profesi dari petenis menjadi atlet kriket pada 2015. Pilihan kembali ke dunia tenis akhirnya membuahkan gelar juara Grand Slam dan posisi peringkat kedua dunia.
Barty meraih Coupe Suzanne Lenglen, trofi juara tunggal putri Perancis Terbuka, setelah mengalahkan petenis Ceko, Marketa Vandrousova, 6-1, 6-3, pada final di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Sabtu (8/6/2019). Laga 70 menit yang berlangsung kurang berimbang itu dimulai terlambat 1,5 jam karena hujan yang menghentikan lanjutan semifinal tunggal putra, Novak Djokovic melawan Dominic Thiem, sebelum final tunggal putri.
Australia pun mengakhiri 46 tahun penantian juara tunggal putri Perancis Terbuka sejak Margaret Court juara 1973. Setelah gelar terakhir Court di Perancis Terbuka, terhentilah prestasi tunggal putri Australia pada puncak persaingan tenis di lapangan tanah liat tersebut. Court sebelumnya menjuarai Perancis Terbuka pada 1962, 1964, 1969, dan 1970.
Selain Court, petenis Australia lainnya, Lesley Turner, menjuarai Perancis Terbuka 1963 dan 1965, dan Evonne Goolagong pada 1971. ”Ini kesempatan luar biasa bagi saya dan tim. Kami bekerja sangat keras untuk berada di posisi ini,” komentar Barty setelah menang di semifinal.
Kemenangan Barty tak hanya disaksikan pendukungnya di Philippe Chatrier, tetapi juga keluarga dan teman-temannya di Ipswich, Queensland, Australia, yang berjarak 16.566 kilometer dari Paris. Dengan perbedaan waktu delapan jam, warga Queensland menyaksikan penampilan Barty hingga Minggu dini hari waktu setempat.
Sementara itu, orangtua Barty, Rob dan Josie Barty, menyaksikan kemenangan putrinya melalui siaran langsung televisi di London, Inggris. Rob dan Josie tiba di London pada Jumat, ketika Barty memastikan kemenangan pada semifinal melawan petenis 17 tahun asal Amerika Serikat, Amanda Anisimova.
Mereka berada di ibu kota Inggris itu untuk memberikan dukungan saat Barty tampil pada turnamen di lapangan rumput yang dimulai pertengahan Juni dengan Wimbledon sebagai puncaknya pada 1-14 Juli. Rob dan Josie sebenarnya tinggal terbang satu jam menuju Paris, tetapi mereka tak akan tepat waktu untuk menyaksikan penampilan putrinya di final.
”Selama lebih dari tiga tahun, Ash bekerja keras untuk mencapai posisi ini dan dia berhak mendapatkannya sekarang,” tutur ayah Barty, Rob, pada media Inggris, Herald Sun.
Momen penting
Tiga tahun lalu menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan karier Barty sebagai petenis profesional sejak 2010. Itu menjadi tahun ketika dia memutuskan kembali ke arena tenis setelah menjadi atlet kriket profesional pada 2015 dan bermain untuk salah satu klub di Queensland, Brisbane Heat.
Barty memutuskan beristirahat dari dunia tenis setelah mengikuti AS Terbuka 2014. Pada tiga Grand Slam yang diikutinya di 2014, dia selalu tersingkir pada babak pertama. Barty tak kuasa menahan tekanan berat bersaing di arena tenis profesional yang mengharuskannya menjalani tur ke banyak negara sejak berusia 16 tahun.
Kembali ke arena tenis sebagai petenis berperingkat ke-623 dunia pada 2016, lalu naik ke-325 pada akhir musim itu, Barty kemudian mencapai posisi terbaiknya sejak 20 Mei dengan menempati peringkat ke-8. Dengan menjadi juara, dia pun akan berada di posisi kedua, posisi terbaik petenis putri Australia sejak Goolagong pada 1976.
Namun, tantangan justru akan datang setelah Barty meraih gelar Grand Slam pertamanya. Jika tak tak konsisten bersaing pada level tertinggi, dia akan seperti petenis lain yang menjuarai Grand Slam lalu ”menghilang”. Salah satunya adalah Jelena Ostapenko.
Setelah menjuarai Perancis Terbuka 2017 pada usia 20 tahun, hasil terbaik petenis Latvia itu di ajang Grand Slam adalah semifinal Wimbledon 2018. Pada Perancis Terbuka tahun ini, dia tersingkir pada babak pertama. Berada pada peringkat ke-12 pada 2017, kini Ostapenko hanya menempati posisi ke-39. (AFP)