Ekstrem Kanan Sulit Ganggu Uni Eropa
Meskipun partai-partai ekstrem kanan berhasil memperkuat diri di Parlemen Eropa, keberadaan mereka sulit mengganggu agenda Uni Eropa.
Ketika pekan lalu Wakil PM Italia Matteo Salvini mengatakan, ”perubahan sedang terjadi di Eropa”, yang merujuk pada menguatnya dukungan terhadap partai- partai ekstrem kanan, ia lantas dikukuhkan sebagai ”pemimpin” sayap kanan lintas negara di Eropa. Saat itu Salvini euforia melihat hasil kemenangan ekstrem kanan di Perancis, Inggris, dan tentu saja kemenangan partainya, Partai Liga, di Italia.
Namun, jika hasil pemilu dilihat lebih saksama per negara, apa yang dinyatakan Salvini tak terbukti. Kekuatan sayap kanan yang antimigran, anti-Islam, dan anti-integrasi Eropa masih bisa ditekan, bahkan di sejumlah negara kecenderungannya turun.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan Deutsche Welle, Jumat (31/5/2019), kubu sayap kanan meraih suara signifikan di negara-negara tempat partai-partai itu berkuasa, seperti di Italia dan Polandia.
Di negara-negara tempat partai ekstrem kanan memiliki akar kuat, seperti di Perancis dan Austria, dukungan suara cenderung stagnan, bahkan turun. Di negara-negara tempat dukungan kepada partai ekstrem kanan relatif kecil pada 2014 kini perolehan suara mereka relatif meningkat tetapi tertinggal jauh dari partai-partai arus utama.
Sorotan sempat tertuju pada ”duel” di Perancis antara partai Marine Le Pen (Perhimpunan Nasional/RN) dan partai Presiden Emmanuel Macron (REM), yaitu RN meraih total suara 24 persen, unggul sekitar 1 persen atas REM. Meskipun kekalahan itu memalukan Macron, sebetulnya pencapaian Le Pen cenderung stagnan dari pemilu 2017.
Kemarahan
Bisa jadi suara warga Perancis di pemilu Eropa mengisyaratkan kemarahan mereka pada kebijakan Macron terkait reformasi ekonomi. Namun, untuk urusan pemerintahan, rakyat Perancis tak akan membiarkan ekstrem kanan berkuasa.
Hal serupa juga terjadi di Austria. Pencapaian partai ekstrem kanan Austria, Partai Kebebasan, dengan masuk dalam koalisi pemerintahan merupakan ”prestasi” besar. Namun, skandal video Ibiza yang melibatkan diskusi tak etis Wakil Kanselir Heinz-Christian Strache yang juga pimpinan Partai Kebebasan membuat pemerintahan bubar, hanya beberapa hari sebelum pemilu Eropa. Berdasarkan hasil pemilu, Partai Kebebasan berada di urutan ketiga dengan 17,2 persen. Hasil ini turun signifikan dari pemilu 2017 yang mencapai 26 persen.
Di Inggris, seperti telah diduga, Partai Brexit meraih dukungan terbesar, sementara partai arus utama Konservatif dan Buruh kehilangan kursi cukup banyak. Hanya saja, usia kemenangan ini mungkin tidak akan berlangsung lama karena Inggris akan keluar dari Uni Eropa pada akhir Oktober 2019. Hasil ini hanya menjadi konfirmasi bahwa mayoritas rakyat Inggris ingin Brexit.
Di Jerman, partai sayap kanan Alternatif untuk Jerman (AfD) yang sempat mengguncang pada pemilu 2017 dengan raihan suara 12,6 persen dalam pemilu Eropa turun menjadi sekitar 11 persen. Namun, penurunan itu juga dibarengi dengan turunnya perolehan suara partai-partai arus utama, yaitu partai Kanselir Angela Merkel CDU/CSU dan koalisinya, Partai Sosial Demokrat. Eksistensi kubu sayap kanan juga meredup di Denmark, Belanda, dan Yunani, tetapi menguat di Swedia, Finlandia, Belgia, dan Slowakia.
Gelombang Hijau
Pemilu Eropa juga menunjukkan Partai Hijau meraih suara signifikan hampir di semua negara Eropa Barat dan Skandinavia. Di Jerman, Partai Hijau meraih 20,5 persen, melonjak lebih dari dua kali lipat pada pemilu 2017 (9 persen), menggeser posisi partai Sosial Demokrat ke urutan ketiga.
Partai Hijau juga meraih suara signifikan di Finlandia (posisi kedua), Austria (ketiga), Perancis (ketiga), Luksemburg (ketiga), Denmark, dan Irlandia, tetapi justru menurun di Swedia yang merupakan negara aktivis lingkungan remaja yang memiliki pengaruh global, Greta Thunberg.
Meningkatnya dukungan bagi partai-partai hijau dikarenakan pemilih meninggalkan partai-partai tradisional yang dianggap mengabaikan kecemasan mereka soal lingkungan dan perubahan iklim. Partai-partai arus utama juga dinilai tidak memberikan terobosan alternatif bagi generasi muda yang paling terdampak isu lingkungan dan ekonomi di masa depan. Keberhasilan lain Partai Hijau adalah kemampuannya memobilisasi kaum muda menjadi mesin politik yang efektif, baik di dunia maya maupun di jalanan.
Raihan Partai Hijau akan mengubah konfigurasi politik di Parlemen Eropa, yaitu kubu tengah yang secara tradisional ”menguasai” parlemen kini kehilangan mayoritas. Alhasil, mereka perlu melakukan koalisi dengan Hijau ataupun kelompok liberal agar kebijakan-kebijakan pro Eropa terus berlanjut.
Terdapat delapan kubu besar di Parlemen Eropa, yang merupakan gabungan dari partai- partai ”sealiran” di 28 negara. Berdasarkan data Kantor Berita Jerman DPA (1/6/2019), kubu terbesar adalah Partai Rakyat Eropa (EPP) yang merupakan gabungan dari sejumlah partai mapan, termasuk partai Merkel, CDU/CSU. Pada pemilu Eropa 2014 kubu ini meraih 217 kursi, dan kini turun menjadi 179 kursi dari total 751 kursi Parlemen Eropa.
Kubu terbesar kedua adalah Sosialis dan Demokrat (S&D) dengan 153 kursi (dari 186), dengan beberapa pelopornya, seperti Frans Timmermans dari Komisi Eropa. Kubu ketiga adalah Aliansi Liberal dan Demokrat (ALDE) dengan 105 kursi yang sebelumnya berada di posisi keempat (68 kursi). Tokoh karismatik di kubu ini adalah Macron dan Guy Verhofstadt. Kubu berikutnya adalah Hijau dengan 69 kursi naik dari 52 kursi di 2014,
Adapun kubu ekstrem kanan adalah gabungan dari kubu Demokrasi Langsung dan Kebebasan Eropa (EFDD) yang dipimpin Nigel Farage yang berhasil merebut 54 kursi (dari 45 di 2014) serta kubu Kebebasan dan Kebangsaan Eropa (ENF) yang dikomandoi Le Pen dan meraih 58 kursi (dari 37). Kubu terakhir adalah Persatuan Eropa Kiri (GUE) yang memiliki 38 kursi, anjlok dari 46 kursi di 2014.
Tak berubah
Dengan peta perolehan seperti itu, meskipun kursi yang diraih kubu sayap kanan meningkat hampir 30 kursi, secara keseluruhan perimbangan kekuasaan tidak berubah. Kubu sayap kanan hanya bisa menjadi ”suara pengganggu” yang lebih vokal di parlemen, tetapi tak akan mampu mengubah agenda.
Untuk pertama kali dalam beberapa dekade, dua kubu utama, yaitu EPP dan SD, tidak menjadi mayoritas di parlemen sehingga mereka harus bergabung dengan kubu lain, dengan ALDE atau Hijau. Namun, ini pun tak akan mengubah sistem secara drastis karena semuanya merupakan pendukung integrasi Eropa.