Angin melunakkan senja di tepian Sungai Mekong. Pada bulan Juni ini Luang Prabang panas luar biasa, siang hari suhu mencapai 41 derajat celsius. Luang Prabang, kota kecil di negara sosialis Laos, merupakan kota warisan dunia yang dilindungi UNESCO. Dia salah satu dari lima kota turis terbaik di Asia di mana Ubud termasuk di dalamnya.
Bangunan-bangunan kuno dari tahun 1800-an dijaga kelestariannya. Pusat kota hanya untuk pejalan kaki. Turis yang dikarenakan kondisi tertentu tidak bisa berjalan jauh diangkut tumpangan gratis berupa tuktuk yang disediakan hotel-hotel.
Pemuja keleletan yang jemu ketergesaan dunia akan menyukai tempat ini. Dini hari menjelang matahari terbit, orang berlutut di pinggir jalan membawa persembahan berupa makanan bagi para pendeta Buddha yang berjalan kaki masuk kota. Ini jatah makan sehari bagi para pendeta, yang niscaya menggugah kesadaran kita: buat apa bisa bersenang-senang seharian kalau di lain pihak ada yang kelaparan karena kita abai dalam seremoni dini hari.
Petang ditandai dengan menggeliatnya kehidupan malam. Para pedagang cendera mata menggelar dagangan di tengah jalan. Kafe dan restoran rata-rata lampunya redup. Tak ada suara musik ingar-bingar.
Kalau diperhatikan, penduduk setempat rata-rata juga bicara tidak keras. Saya menyebutnya sebagai ”soft-spoken people”. Kota dengan beberapa sudut dihiasi kibaran bendera bersimbol palu arit ini sangat sendu dan romantik. Rakyat sosialis-komunis Luang Prabang tidak beringas tapi ramah dan rindu tamu.
Ketenangan Luang Prabang menjadi kemewahan luar biasa, terlebih bagi turis dari negeri yang berisik dengan kebohongan, fitnah, ujaran kebencian, dan permusuhan. Salah satu hiburan adalah arena pertunjukan sederhana, menampilkan tukang cerita (story teller). Ruangan dibatasi untuk 30 penonton. Durasi acara satu jam. Tiket 50 kip atau sekitar Rp 80.000.
Si pencerita adalah anak muda setempat yang fasih berbahasa Inggris, diiringi lelaki tua memainkan alat tiup dari bambu yang disebut ”ken”. Saya tidak tahu bagaimana menuliskannya dalam bahasa Laos, yang penting ucapannya demikian, seperti kalau saya mengucap ”laobir” muncullah bir setempat super enak. Harganya lebih murah dari air putih.
Tukang cerita mengawali dongeng dengan memberi teka-teki bagi penonton. Katanya ada orang tua, memiliki 10 anak. Ia memberikan biji-biji tanaman pada anak-anaknya untuk ditanam. Dari buah hasil tanaman, nanti dia akan mempertimbangkan, siapa paling berhak menerima warisan darinya.
Dengan bersemangat anak-anak menanam biji yang mereka peroleh. Sayangnya biji-biji itu tidak ada yang tumbuh. Tak kurang akal, anak-anak ini ada yang menggantinya dengan biji lain, dan tanaman memang tumbuh. Ada pula yang pergi ke pasar, membeli buah, diberikan kepada sang ayah, katanya itulah hasil tanaman dia. Pada anak yang mana kira-kira harta warisan akan diberikan, tanyanya pada penonton. Kami semua sibuk dengan tebakan masing-masing.
Ia melanjutkan cerita ke mana-mana, dari legenda yang berhubungan dengan Sungai Mekong, pegunungan-pegunungan sekitar, sampai petikan cerita Ramayana. Sembari bercerita, kadang dia memukul kendang. Pengurus tempat pertunjukan menawarkan wine, siapa tahu suasana di ruang dongeng tambah asyik. Interaksi semacam ini telah hilang dalam pertunjukan modern.
Oh ya, sampai lupa, jadi kepada siapa harta warisan tadi diberikan? Anak-anaknya telah memberikan hasil tanaman, entah dari yang dibeli di pasar ataupun dari hasil tanaman yang sebenarnya bijinya telah ditukar. Di antara 10 anak tersebut, hanya satu yang tidak memberikan apa-apa padanya.
Kenapa kamu tidak memberikan hasil tanamanmu, tanya Sang Ayah. Karena biji yang kamu berikan tidak tumbuh, jawab Sang Anak. Kepada Si Anak yang tak memberikan apa-apa ini Sang Ayah menurunkan warisannya. Sang Ayah tahu, anak-anaknya yang lain telah membohonginya sebab biji yang dia berikan telah ia rebus. Mana mungkin bisa tumbuh.
Acara usai. Kami beranjak dari tempat duduk sambil tertawa-tawa. Kejujuran, ya itulah pesan dari dongeng tadi. Disampaikan dalam kemasan tradisional, bukankah dia tetap relevan? Bukankah kejujuran ini yang kini tenggelam digasak arus kebohongan yang berlangsung secara masif, sistematik, terstruktur? Hemm. Sungguh malam yang memberikan inspirasi….***