Runtuhnya ”Teater Kehidupan” di Pasar Induk Sei Jodoh

KOMPAS/PANDU WIYOGA

Atap bangunan Pasar Induk Sei Jodoh di Batam ambrol karena besi penyangganya dijarah warga. Bangunan berarsitektur pascamodern yang dulu megah dan indah itu berubah menjadi serupa kuburan yang kotor dan menyeramkan. Pasar itu tak lagi berfungsi. Foto diambil Rabu (29/5/2019).

Pasar Induk Sei Jodoh yang tiga belas tahun lalu dicita-citakan menjadi ikon Batam, kini merana: ditinggalkan, terbengkalai, dan nyaris runtuh. Bangunan berarsitektur pascamodern yang dulunya megah dan indah itu menjadi serupa kuburan, kotor dan menakutkan.

Dimulai pada 2001, pembangunan Pasar Induk Sei Jodoh selesai lima tahun dengan biaya Rp 94 miliar. Setelah diresmikan pada 2006, konsesi pengelolaan lima tahun diberikan kepada PT Golden Tirta Asia (Kompas, 28/5/2004).

Arsitek dan perencana kota, Andy Siswanto, dihubungi dari Batam, Rabu (29/5/2019), mengatakan, arsitektur Pasar Induk Sei Jodoh terinspirasi dua bangunan pasar tradisional yang dibangun pada era Hindia Belanda: Pasar Johar Semarang dan Pasar Gede Solo.

”Sebuah pasar harus dibangun secara serius dan artistik agar orang-orang tertarik datang. Penataan ruang dibuat terbuka tanpa pembatas agar memudahkan orang bertemu. Pasar bukan sekadar tempat jual beli, melainkan juga ruang bagi manusia untuk bertemu dan berkomunitas,” kata Andy.

Saat diberi tanggung jawab merancang Pasar Induk Sei Jodoh, ia meminta disediakan lokasi di pusat kota. Tujuannya, kelak pasar itu jadi tempat berbelanja yang nyaman. Tak hanya menarik bagi warga kelas menengah ke bawah, tetapi juga menengah ke atas.

Fasilitas pasar pun lengkap, mulai lahan parkir berkapasitas 280 kendaraan, dermaga kapal barang, empat gudang genset dan alat pendingin, mushala, dan kamar mandi. Empat unit televisi juga menyiarkan perkembangan harga pasar bahan kebutuhan pokok (Kompas, 4/7/2004).

Sayang, Pasar Induk Sei Jodoh gagal tumbuh menjadi pusat kegiatan ekonomi dan kebudayaan warga. Empat tahun setelah peresmian, kondisinya serupa kuburan. Lantai 1 hanya diisi tujuh kios, sedangkan lantai 2 kosong dan kotor (Kompas, 22/6/2010).

Kini, kondisinya kian parah. Tak ada satu pun pedagang yang berjualan di dalam pasar. Pada beberapa titik, atap bangunan roboh. Besi penyangganya lenyap dijarah. Sampah berserakan mengundang lalat dan anjing liar berkumpul.

Sejak 2010, rencana pengalihfungsian dan revitalisasi Pasar Induk Sei Jodoh berulang mengemuka. Namun, penolakan dari sejumlah pedagang kaki lima membuat rencana itu tak kunjung terwujud. Penjual sayur yang dulu menempati Pasar Induk Sei Jodoh, Piter Aritonga (44), mengatakan, pedagang meninggalkan pasar karena sewa los Rp 300.000-Rp 600.000 per tahun dinilai ketinggian.

”Sebagian pedagang kembali berjualan di lapak kaki lima Pasar Pagi Jodoh, sisanya jualan di luar bangunan pasar. Di tempat itu lebih murah. Pasang tenda dan tidak usah bayar sewa tahunan,” ujarnya.

Bangunan pasar pun kosong dan rusak parah hampir di semua bagian. Kubah atap di tengah bangunan yang dulu dianggap warga serupa masjid, kini runtuh tak bersisa. Lantai keramiknya terkelupas dan berlubang digenangi air hujan.

Setelah Pasar Induk Sei Jodoh ditinggalkan, Piter banting setir jadi kuli panggul. Bersama istri dan dua anaknya, ia menempati lapak di lantai 2 yang ditinggalkan pemiliknya. Kondisinya membahayakan, struktur bangunan rapuh dan bisa roboh sewaktu-waktu.

Mereka yang kini tinggal di bekas lapak di Pasar Induk Sei Jodoh adalah pedagang kecil yang kehabisan modal. Mereka jadi pemulung, tukang parkir, kuli panggul, dan buruh kasar. Bahkan, kata Piter, beberapa di antaranya nekat mencuri bagian bangunan.

”Saya ditangkap polisi karena mencuri besi penyangga atap. Untung hanya dikurung sehari, tidak diusir dari pasar,” ujarnya. Pedagang bawang merah di dekat Pasar Induk Sei Jodoh, Lena (35), mengatakan, setidaknya 15 keluarga di dalam pasar. Tak pernah ditertibkan.

Revitalisasi

Dari jauh, Andy menerima kenyataan pahit. Cita-citanya menciptakan ”panggung teater kehidupan” di salah satu sudut Kota Batam itu pupus. Kehidupan di pasar itu bersinar sesaat, meredup, lalu padam.

Ia sadar, fasilitas fisik saja tak cukup menjamin kelangsungan hidup fasilitas publik. Ada faktor kemauan dan komitmen kuat pemerintah dan masyarakat merawat dan menggunakan fasilitas itu.

Sekretaris Daerah Pemerintah Kota Batam Jefridin mengatakan, revitalisasi pasar yang kini dikelola pemkot itu diupayakan lagi, tahun lalu. ”Butuh proses panjang dan biaya ratusan miliar untuk merealisasikan,” katanya.

Andy berharap revitalisasi segera dikerjakan. ”Tidak dirobohkan,” ujarnya. Namun, sepertinya tak mungkin. Kepala Bidang Pasar Disperindag Kota Batam Zulkarnain menyatakan, pemerintah berencana merobohkan. Struktur pasar sudah rapuh.

Di lahan yang sama akan didirikan bangunan baru pasar tradisional lima lantai. ”Biayanya sekitar Rp 200 miliar,” katanya. Tanpa komitmen nyata, kemegahan baru itu akan berakhir sama: runtuh. (PANDU WIYOGA)