Penyebaran paham radikalisme berlangsung antara lain di dunia pendidikan. Kewaspadaan dan langkah pencegahan pun harus terus dilakukan agar peserta didik tidak menjadi korban.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·4 menit baca
Radikalisme muncul dan berkembang karena ada yang mengorkestrasinya. Penyebarannya dapat terjadi lewat dunia pendidikan.
Pada 2018, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme merilis, ada tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) yang terpapar radikalisme. Pada tahun yang sama, Badan Intelijen Negara menyebut 39 persen mahasiswa di 15 provinsi terpapar radikalisme.
Temuan ini selaras dengan survei Alvara Research Center (2017) yang mengindikasikan, di kalangan mahasiswa ada kecenderungan muncul pemahaman dan sikap intoleran serta radikal. Indikasi ini terlihat dari persentase mahasiswa yang tak mendukung pemimpin non-Muslim 29,5 persen, mahasiswa setuju negara Islam 23,5 persen, dan mahasiswa setuju khilafah 17,8 persen.
Organisasi mahasiswa
Pada 2016, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga menyebutkan, gerakan radikalisme menyasar kampus. Caranya, memanfaatkan diskusi-diskusi serta menyusup ke organisasi mahasiswa di kampus. Setara Institute dalam penelitian pada Februari-April 2019 di 10 PTN menemukan kecenderungan yang sama.
Direktur Riset Setara Institute Halili mengungkapkan, di berbagai kampus negeri masih berkembang wacana dan gerakan keagamaan eksklusif. Gerakan ini tak hanya dilancarkan oleh satu kelompok tertentu, tetapi juga beberapa kelompok. ”Kondisi ini berpotensi mengancam Pancasila, demokrasi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, misalnya dengan (mengobarkan) wacana Islam tertindas oleh musuh-musuhnya dalam bentuk konspirasi, yang terus-menerus direproduksi dan diindoktrinasi kepada generasi muda di perguruan tinggi,” kata Halili.
Menurut dia, jika ada pemicu politik yang tepat, hal itu akan mengancam harmoni sosial dan integrasi nasional.
Setara Institute juga mendapati bahwa sampai sekarang derajat gerakan keagamaan yang eksklusif di perguruan tinggi belum berkurang. Menurut Setara Institute, wacana dan gerakan keagamaan eksklusif dengan ragam variannya sudah mengakar sejak lama, sekitar dua dekade lalu.
Ia menambahkan, dari inisiatif yang sudah dilakukan beberapa perguruan tinggi, terlihat aktor-aktor kunci di perguruan tinggi memainkan peran penting dalam mengurangi peluang struktural dan meniadakan lingkungan yang memungkinkan bagi berkembangnya wacana dan gerakan keagamaan eksklusif di kampus.
Selain perguruan tinggi, sekolah juga rentan disusupi paham dan gerakan radikalisme. Belum ada satu pun kebijakan spesifik untuk memproteksi sekolah dari penetrasi paham dan radikalisme. Radikalisme masuk ke bangku sekolah melalui alumni, guru, dan kebijakan sekolah.
Dalam riset oleh Maarif Institute, Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, serta United Nation Development Programme Indonesia di 40 sekolah di 5 provinsi pada 2017, didapati OSIS melalui bidang kerohanian kerap disusupi kelompok radikal lewat alumninya.
Pemerhati pendidikan, Doni Koesoema A mengatakan, OSIS selama ini kurang diberi peranan. ”Tidak ada ruang bagi mereka untuk membangun pemahaman tentang kebinekaan. Mereka perlu diberi ruang,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Totok Suprayitno berpendapat, desain kurikulum dan praksis pembelajaran agama mesti dilihat ulang apakah sudah mampu menginspirasi anak untuk menghargai perbedaan dan keberagaman atau justru masih sekadar mengajak anak menjadi ”ilmuwan” agama.
Upaya memupuk semangat toleran dan penghargaan pada kebinekaan mesti dilakukan kembali mulai dari hilir, termasuk lembaga pendidikan sebagai etalase besar kebinekaan. Jika lembaga pendidikan gagal menjadi contoh persemaian toleransi, maka kemiskinan peradaban pun akan menjadi-jadi.
”Kemiskinan peradaban terjadi saat kita tak mampu melihat liyan sebagai bagian kekayaan kita. Kealpaan ini membuat kelompok-kelompok konservatif mudah mengintrusi dunia pendidikan dengan paham, ideologi, dan doktrin mereka,” tambah Halili.
Beberapa modal positif dan kemajuan besar membangun toleransi mulai bermunculan. Salah satunya sikap institusional Nahdlatul Ulama yang menganjurkan kata ”kafir” tak digunakan untuk melabeli non-Muslim dalam ranah sosial dan kehidupan berbangsa. Langkah itu sejurus dengan upaya Muhammadiyah yang akan menyebarkan Islam yang mencerahkan dan moderat.
Radikalisasi yang secara masif menyusup ke dunia pendidikan sengaja menyasar peserta didik yang secara psikologis masih dalam masa pencarian jatidiri. Anak-anak didik yang haus akan pengetahuan dan kebenaran sekonyong-konyong dihadapkan pada paham-paham baru yang dikemas secara heroik dan seolah-olah bernapas religius.
Kekhawatiran adanya radikalisme dalam dunia pendidikan bukan hal yang berlebihan. Perguruan tinggi dan sekolah adalah institusi yang menentukan kondisi sosial masyarakat di masa kini dan masa mendatang melalui generasi muda yang dididik di dalamnya.
Jika dibiarkan, radikalisme akan semakin menyebar dengan cepat. Mereka telah menemukan sarana propaganda yang mendukung, yaitu dunia pendidikan.