Gangguan Kejiwaan Tidak Hapus Pertangungjawaban Pidana Pelaku Kejahatan
Pelaku pembunuhan berinisial AZ (44) yang yang menghabisi nyawa tetangganya, Gianto (38), tetap diproses secara hukum dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun AZ diduga menderita gangguan kejiwaan, hal itu tidak menghapus pertanggungjawaban pidana dari pelaku.
Oleh
Stefanus Ato
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS — Pelaku pembunuhan berinisial AZ (44) yang yang menghabisi nyawa tetangganya, Gianto (38), tetap diproses secara hukum dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Meskipun AZ diduga menderita gangguan kejiwaan, hal itu tidak menghapus pertanggungjawaban pidana dari pelaku.
Kepala Kepolisian Sektor Bekasi Selatan Komisaris Bambang, di Kota Bekasi, Jawa Barat, mengatakan, pelaku tetap diproses karena masih bisa menjawab dan menandatangani berkas pemeriksaan dari penyidik. Adapun untuk menentukan yang bersangkutan menderita gangguan kejiwaan atau tidak, hal itu menjadi ranah psikiater.
"Kami jerat dengan Pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Penganiayaan dan 338 KUHP tentang Pembunuhan. Dia hanya stres, bukan gila. Nanti untuk meyakinkan bahwa ada gangguan kejiwaan itu dari psikiater," kata Bambang, Senin (10/6/2019).
Sebelumnya, pada Minggu malam, di Kampung Ceger, Jaka Setia, Kota Bekasi, tanpa ada sebab yang jelas, AZ tiba-tiba mengampiri korban, kemudian mencekik dan memukul korban. Namun, karena korban melawan dan ada tetangga yang melerai, pelaku kembali ke rumah mengambil sebilah pisau, kemudian menusuk korban di dada sebelah kanan hingga tewas. Usai membunuh, pelaku kemudian membakar rumahnya sendiri.
Sulistyo (33) saudara korban, mengatakan, mereka tidak mengenal pelaku. Korban juga selama ini dikenal tidak memiliki persoalan dengan siapapun termasuk dengan AZ.
"Kakak saya pemasok sayur ke beberapa supermarket di sekitar Kota Bekasi. Jadi, setiap malam memang kerjaannya dia itu bersihkan sayur," kata lelaki asal Purwokerto, Jawa Tengah, itu.
Dedi (30), warga RT 006 RW 018, Kelurahan Jaka Setia, Bekasi Selatan, mengatakan, pelaku pernah dirawat di rumah sakit jiwa setahun lalu. Setelah keluar dari rumah sakit, istri dan dua anak AZ pergi dari rumah karena tidak tahan dengan kelakuan AZ, terutama ketika gangguan itu kambuh.
"Sejak keluar dari rumah sakit, dia memang sering kumat, tetapi tidak separah ini. Kalau kumat biasanya suka lari keliling kampung," kata Dedi.
Direhabilitasi
Kriminolog Reza Indragiri dari Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian mengatakan, sesuai Pasal 44 KUHP, seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana jika cacat kejiwaan atau terganggu karena penyakit. Namun, aturan ini dinilai mencederai keadilan korban, jika pelaku kejahatan dengan gangguan kejiwaan dibiarkan bebas dan kembali melakukan tindakan pidana serupa.
Oleh karena itu, kata Reza, pelaku dengan gangguan kejiwaan tetap harus diproses secara hukum. Dan jika terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah, maka putusannya bukan pidana penjara tetapi rehabilitasi.
"Negara wajib merehabilitasi dan berupaya menyembuhkan pelaku. Jadi secara berkala mengecek ulang kewarasan pelaku. Kalau sudah waras, pelaku bisa dikenai pertanggungjawaban secara pidana," ujarnya.
Reza menambahkan, ada ketentuan dalam KUHP yang menyebutkan, pelaku yang cacat mental harus berada dibawa pengawasan pengasuh atau keluarganya. Jika, suatu saat orang dengan gangguan jiwa menganiaya atau membunuh, dan pengasuh dinilai lalai, maka pengasuh dapat dikenai hukuman pidana penjara atau denda.