Gurihnya Kue Ekonomi Industri Pangan
Kontribusi industri makanan dan minuman bagi produk domestik bruto atau PDB selalu mendominasi di antara subsektor-subsektor industri lainnya. Pada tahun 2015-2017, nilai produksi industri makanan dan minuman rata-rata Rp 870 triliun per tahun.
Kinerja Industri makanan dan minuman olahan kian menggiurkan dalam beberapa tahun belakangan. Didukung oleh pasar yang besar, industri makanan dan minuman melaju kencang, bahkan menjadi tulang punggung perekonomian hampir di semua provinsi Indonesia.
Kontribusi industri makanan dan minuman bagi produk domestik bruto atau PDB selalu mendominasi di antara subsektor-subsektor industri lainnya. Pada tahun 2015-2017, nilai produksi industri makanan dan minuman rata-rata Rp 870 triliun per tahun.
Nominal ini memberikan andil kontribusi bagi PDB sektor industri per tahun sekitar 38 persen atau terbesar di antara 16 subsektor industri nonmigas lainnya. Bahkan, kontribusi industri pangan bagi perekonomian nasional tetap lebih unggul jika dibandingkan dengan industri berbiaya besar seperti pertambangan dan energi.
Perbedaan nilai sumbangan per tahun mencapai Rp 500 triliun apabila dibandingkan dengan nilai produksi industri batubara yang rata-rata senilai Rp 260 triliun atau dengan nilai pertambangan migas yang setahun sekitar Rp 380 triliun.
Tingginya sumbangan industri pangan itu salah satunya karena kebutuhan konsumen terhadap produk-produk pangan olahan ini terus meningkat. Lantaran hal itu, pabrik-pabrik makanan dan minuman tumbuh menjamur yang tersebar di sejumlah wilayah Indonesia.
Pasar besar
Pasar yang besar dapat dilihat dari besarnya konsumsi penduduk indonesia terhadap komoditas makanan dan minuman. Dari delapan jenis pengeluaran rumah tangga yang dihimpun oleh BPS, konsumsi pangan adalah pos pengeluaran terbesar di antara konsumsi rumah tangga lainnya.
Pada tahun 2015-2017, konsumsi rumah tangga terhadap makanan dan minuman rata-rata 39 persen dari total konsumsi rumah tangga nasional yang akumulasinya mencapai Rp 7.000 triliun per tahun. Persentase ini menunjukkan besarnya pengeluaran keluarga secara nasional yang dikhususkan untuk konsumsi makanan beserta minumannya mencapai Rp 2.700 triliun setahun.
Baca juga: Konsumsi Masyarakat Tingkatkan Laju Industri Makanan
Pos pengeluaran ini sangat menggiurkan bagi para investor untuk meraih keuntungan sehingga mendorong industri pangan lebih masif lagi. Apalagi, besaran konsumsi produk pangan nasional terus naik rata-rata sekitar 9 persen atau Rp 243 triliun per tahun.
Peluang ekonomi ini disikapi para pengusaha dengan membangun pabrik-pabrik baru di sejumlah tempat, pabrik-pabrik lama diremajakan serta dimodernisasi, serta menambah jenis output produksi sehingga jenis makanan dan minuman yang ditawarkan kian variatif dan menarik.
Tak heran, apabila saat ini hampir setiap saat selalu ada produk-produk baru yang ditawarkan di pusat-pusat perbelanjaan, pertokoan, warung-warung, hingga di area publik.
Tumpuan ekonomi daerah
Hampir di semua daerah di 34 provinsi di Indonesia terdapat pabrik makanan dan minuman beraneka rupa. Pasar yang besar serta sentra produksi yang banyak menyebabkan industrialisasi pangan ini akseleratif, mengalami kemajuan pesat.
Besarnya konsumsi penduduk Indonesia mendorong tumbuhnya industri pangan di segala pelosok daerah. Hampir semua tempat terdapat industrialisasi pangan baik yang relatif sederhana tingkatan teknologinya hingga yang tercangging menggunakan alat-alat mekanisasi mesin dan komputer.
Hal ini turut mendorong kemajuan ekonomi daerah bersangkutan serta menciptakan lapangan kerja. Bahkan, seiring waktu berjalan, sejumlah industri pangan telah menjelma menjadi sektor usaha andalan yang menopang kemajuan ekonomi suatu daerah.
Hampir semua wilayah di Indonesia saat ini, sektor industri unggulannya dipimpin oleh subsektor industri makanan dan minuman. Ada 26 provinsi yang industri andalannya bersandar pada industri makanan dan minuman. Sisanya, delapan provinsi lainnya, ditopang oleh subsektor industri lainnya, selain produk pangan.
Provinsi yang tercatat memiliki industri unggulan selain makanan dan minuman adalah Kepulauan Riau, Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Provinsi Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Provinsi Maluku Utara, dan Provinsi Papua Barat. Daerah-daerah ini sektor unggulannya bervariasi, mulai dari bahan tambang, kayu, produk logam, tekstil, hingga elektronik.
Data yang ada juga menunjukkan adanya dominasi kinerja industri makanan dan minuman terhadap total industri di sejumlah provinsi. Provinsi Sumatera Utara, Riau, Lampung, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah mencatat andil industri pangan rata-rata di atas 70 persen terhadap total output sektor industri pengolahan di masing-masing wilayah tersebut.
Tingginya kontribusi industri pangan di daerah ini berdampak signifikan bagi kemajuan daerahnya. Sumbangan industri pangan bagi produk domestik regional bruto (PDRB) wilayah tersebut rata-rata 14 persen per tahun.
Dari 26 provinsi sentra industri pangan itu, ada tiga provinsi menghasilkan produksi pangan dengan nilai sangat besar. Setiap tahun kontribusinya rata-rata lebih dari Rp 100 triliun per tahun. Daerah tersebut adalah Provinsi Riau, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Baca juga: Industri Makanan Diprediksi Tumbuh Cepat Tahun Ini
Dari ke-3 provinsi ini, hanya Riau yang produksi makanannya memiliki kontribusi terbesar bagi sektor industri di wilayahnya, yakni hingga di atas 70 persen per tahun. Untuk Jateng dan Jatim kontribusi subsektor industri pangan bagi industrialisasi wilayahnya relatif lebih kecil, yakni sekitar 30 persen setahun. Hal ini dikarenakan industrialisasi di Jateng dan Jatim sangat pesat di semua sektor.
Jadi, tidak hanya industri makanan yang berkembang, tetapi juga industri lainnya seperti tekstil, alat angkut, barang logam, dan elektronik. Dampaknya, industri pangan dominasinya tidak terlalu besar karena harus bersaing dengan subsektor industri lainnya. Meskipun demikian, produksi industri makanan dan minuman di kedua wilayah ini tetap yang terbesar di Indonesia.
Efek berantai
Selama ini, aktivitas manufaktur konsisten memberikan efek berantai bagi perekonomian nasional, di antaranya melalui peningkatan pada nilai tambah bahan baku dalam negeri. Industri pangan yang ada di seluruh Indonesia jumlahnya sangat banyak.
Merujuk pada data publikasi direktori industri manufaktur tahun 2017 terbitan BPS, jumlah industri skala sedang-besar yang memproduksi makanan dan minuman setidaknya mencapai 7.000 perusahaan di seluruh penjuru Nusantara. Jumlah ini belum termasuk usaha rumah tangga yang skalanya mikro dan kecil.
Perusahaan yang sudah banyak itu pun bukan tidak mungkin akan terus bertambah lagi karena konsumsi masyarakat terus meningkat. Berdasarkan analisis perkembangan industri oleh Kementerian Perindustrian, pada tahun 2017-2018 tren konsumsi rumah tangga untuk makanan dan minuman menunjukkan peningkatan rata-rata 5 persen per tahun.
Proyeksi demikian tentu saja akan disikapi positif oleh para pelaku usaha dengan meningkatkan jumlah produksi sekaligus menambah varian jenisnya. Langkah investor ini akan berdampak langsung dengan bertambahnya bahan baku untuk memproduksi makanan.
Salah satu bahan baku yang paling dibutuhkan para produsen itu adalah gula pasir. Terutama untuk industri makanan dan minuman yang menghasilkan cita rasa enak dan manis.
Konsumsi produk pangan nasional terus naik rata-rata sekitar 9 persen atau senilai Rp 243 triliun per tahun.
Kondisi tersebut tentu saja akan mendorong permintaan gula pasir yang kian banyak lagi. Sayangnya, produksi gula pasir domestik belum mampu memenuhi kebutuhan nasional. Setiap tahun, kebutuhan gula nasional, baik gula kristal putih (GKR) maupun gula kristal rafinasi (GKR), rata-rata 5,86 juta ton.
Namun, produksi dalam negeri baru mampu memenuhi sekitar 42 persen atau sekitar 2,43 juta ton GKP. Kekurangan stok tersebut lalu ditutupi dengan jalan mengimpor gula rafinasi dari luar negeri. Pada tahun 2011-2017, rata-rata Indonesia mengimpor gula rafinasi dari luar negeri sebanyak 3,42 juta ton per tahun.
Angka ini jumlahnya terus meningkat dan pada tahun 2016 dan 2017 jumlah impornya rata-rata per tahun sudah lebih dari 4 juta ton. Tingginya impor gula tersebut tidak semuanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat Indonesia.
Sebagian besar adalah untuk memenuhi kebutuhan industri makanan dan minuman. Berdasarkan data konsumsi dari BPS pada tahun 2011-2018, jumlah konsumsi gula pasir masyarakat Indonesia per bulan rata-rata 0,54 kilogram. Apabila dikalikan setahun, tingkat konsumsi gula pasir per tahun per kapita Indonesia rata-rata 6,50 kilogram.
Estimasi penduduk Indonesia pada tahun 2017 sekitar 260 juta jiwa yang artinya kebutuhan gula pada tahun bersangkutan sekitar 1,69 juta ton. Jadi, dengan estimasi kebutuhan gula nasional pada tahun 2017 sebanyak 6,6 juta ton, maka sekitar 5 juta ton dimanfaatkan oleh industri makanan.
Besarnya ketergantungan pada gula impor yang dikonsumsi oleh industri pangan itu sebaiknya dikurangi sedikit demi sedikit. Pemerintah perlu berupaya maksimal meningkatkan produksi gula dalam negeri. Salah satu caranya dengan memperbaiki pabrik-pabrik milik negara agar lebih efisien lagi produksinya serta memperluas budidaya tebu di daerah-daerah yang produktif.
Selain itu, juga mencari investor yang ingin memproduksi gula di daerah produksi itu. Pembuatan pabrik gula yang baru adalah sesuatu yang sangat penting karena jumlah produsen gula nasional masih sangat minim.
Saat ini, GKP di Indonesia di produksi oleh 62 unit pabrik, 50 unit di antaranya dikelola oleh BUMN dan 12 sisanya milik pabrik swasta. Jumlah ini sangat timpang dengan jumlah produsen pangan yang jumlahnya mencapai 7.000 perusahaan menengah dan besar.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jika pemerintah juga mendorong para pengusaha makanan dan minuman untuk bersama-sama memproduksi gula pasir untuk memenuhi kebutuhan industrinya.
Sejumlah investor mendirikan pabrik serta mengembangkan budidaya pertanian tebu. Bahan baku gula pasir di pabrik pangan terpenuhi sekaligus menambah jenis usaha baru yang menguntungkan bagi para investor.
Langkah demikian dapat meningkatkan industri gula dalam negeri sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap impor. Hal ini perlu untuk segera dicoba mengingat kebutuhan konsumsi makanan dan minuman terus meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk Indonesia. (LITBANG KOMPAS)