Hijrah ke Kota
Di perahu menuju King’s Landing, Tyrion Lannister memberitahu Jon Snow ada sekitar sejuta orang tinggal di ibu kota Westeros itu. Sangat padat. Jon bertanya, mengapa orang mau tinggal di kota yang begitu sesak. “Ada banyak pekerjaan di sana,” jawab Tyrion.
Kutipan percakapan itu diambil dari salah satu episode di musim ke tujuh Game of Thrones (GoT). King’s Landing, ibu kota dari tujuh kerajaan khayali yang menjadi latar belakang serial televisi super kolosal GoT dikisahkan tak luput dari isu perkotaan pada umumnya.
Orang dari luar terus datang dengan berbagai alasan, terutama mencoba peruntungan nasib. Ada kawasan kumuh, kemiskinan, ketimpangan sosial, hingga silih berganti pemimpin dengan kebijakan serta kebajikannya sendiri-sendiri.
Kesibukan di pelabuhan, penuh sesaknya Flea Bottom sisi kumuh King’s Landing, berjubelnya orang lalu lalang di jalanan dan pasar, terasa tak jauh berbeda dengan banyak sisi Jakarta. Hanya minus kendaraan bermotor serta bunyi klakson saja.
Di kawasan Pasar Pisang, Palmerah, Jakarta Barat di waktu malam, misalnya, lapak-lapak pedagang mendominasi sisi kanan dan kiri jalan. Otomatis arus lalu lintas tersendat oleh banyak kegiatan bongkar muat sayuran di sebagian badan jalan, pedagang asik menata barang dagangannya. Para pembeli nyaman saja belanja dari atas sepeda motor. Sebagian lagi menenteng bawaan lalu naik angkutan kota yang sengaja ngetem di depan pasar.
Pasar Pisang berada di tengah kawasan padat di tepi aliran Kali Grogol di Jalan Palmerah Selatan. Ruas Palmerah bermuara di Slipi, simpul di salah satu jalur utama Jakarta, yaitu Jalan Gatot Subroto-S Parman. Lalu menghubungkannya dengan Rawa Belong, Kebun Jeruk, dan Joglo.
Dari situs jakarta.go.id, Kecamatan Palmerah seluas 755 hektar terdiri dari enam kelurahan dengan sekitar 200.000 penduduk. Tingkat kepadatannya 25.667 jiwa/km2.
Belum sepadat di Tambora, Jakarta Barat atau Senen di Jakarta Pusat dan Manggarai di Jakarta Selatan. Namun, Palmerah dihuni banyak pendatang sejak berpuluh tahun silam hingga kini. Selain rumah permanen, menjamur usaha rumah kos dan rumah petak. Selain rumah-rumah yang tertata rapi, mewah, proyek apartemen dan beberapa gedung jangkung, permukiman padat kumuh cukup merajai di Palmerah.
Jejak urbanisasi
Kondisi serupa dengan Palmerah, dijumpai di banyak lokasi lain di Jakarta. Tidak heran karena Jakarta sejak lama ditopang migrasi terus menerus. Migrasi ini utamanya berlatar belakang urbanisme, orientasi untuk hijrah hidup di kota atau berkota demi mencari kehidupan yang lebih baik dengan pemahaman di kota terhidang kesempatan luas.
Hal tersebut lantas memicu urbanisasi, kota-kota terus berkembang karena jumlah penduduk membengkak. Juga menjelmanya kawasan bukan kota menjadi kota-kota baru.
Dalam Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, buku laporan penelitian kerjasama Jepang-Indonesia-Thailand dengan editor Shogo Koyano, dijelaskan bahwa Nusantara akrab dengan arus migrasi antarpulau dan antarkerajaan jauh sebelum Belanda masuk. Perdagangan membawa pengaruh China dan India dari dataran Asia ke Aceh hingga Ternate.
Kota-kota tumbuh di pesisir dan rata-rata menjadi pusat pemerintahan atau pusat perekonomian kerajaan Nusantara. Ini juga terjadi di Sunda Kelapa yang lantas menjadi Batavia di tangan Belanda, cikal bakal Jakarta.
Saat Belanda membangun Batavia, migrasi makin masif. Dari Eropa, Arab, China, India, pun termasuk dari daerah lain di Nusantara berdatangan dan membentuk kawasan-kawasan hunian tersendiri sesuai asal mereka.
Masih dari Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggarajuga analisis Hans Dieter Evers dan Rudiger Korff dalam Urbanisme di Asia Tenggara : Makna dan Kekuasaan Dalam Ruang-ruang Sosial, diketahui setidaknya hingga era paska kemerdekaan Indonesia, migrasi membuat Jakarta berkembang tetapi belum terlalu pesat.
Setelah kemerdekaan dan 20 tahun kemudian saat negeri ini porak poranda dengan peristiwa 1965, pertambahan penduduk di Indonesia meningkat.
Di perdesaan, penambahan penduduk dan luas lahan yang sama berarti makin berkurangnya sumber penghasilan. Terjadi migrasi ke daerah lain atau ke kota di musim-musim tertentu saja misalnya saat musim paceklik di desa. Waktu berlalu, penduduk makin banyak dan kebutuhan melonjak. Migrasi makin jadi pilihan, termasuk menetap di kota.
Di era Soeharto, arah pembangunan berubah. Jakarta mendominasi dan menjadi pusat industrialisasi, perekonomian, sekaligus pemerintahan. Urbanisasi di Jakarta melaju kencang hingga ke kawasan pinggiran di Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi.
Data dari IG Hugo seperti dikutip Koyano menunjukkan pada tahun 1930 penduduk Jakarta hanya 2,9 juta jiwa dan pada 1980 menjadi 6,5 juta jiwa. Pada 2019 ini, Badan Pusat Statistik mencatat penduduk Jakarta berkisar 10 juta jiwa tetapi untuk Jabodetabek total bisa 30 juta jiwa.
Data dari IG Hugo seperti dikutip Koyano menunjukkan pada tahun 1930 penduduk Jakarta hanya 2,9 juta jiwa dan pada 1980 menjadi 6,5 juta jiwa. Pada 2019 ini, Badan Pusat Statistik mencatat penduduk Jakarta berkisar 10 juta jiwa tetapi untuk Jabodetabek total bisa 30 juta jiwa.
Akan tetapi, pembangunan di Jakarta tidak serta merta menyediakan pekerjaan layak bagi semua pendatang. Sebagian dari mereka terpaksa terjebak di sektor informal, bertahan hidup dengan segala upaya karena kembali ke daerah asal bukan jawaban. Kondisi ini bagai mengulang kisah masa lalu.
Kampung kota
Merunut dulu semasa Batavia dibangun Belanda, ada bagian inti yang dibangun dikelilingi benteng khusus untuk dihuni orang Eropa dan orang-orang terpilih saja. Ada sifat kota di sana, yaitu kawasan terbatas dan padat dengan alokasi lahan untuk fungsi-fungsi khusus. Di dalam benteng, tidak ada kegiatan pertanian.
Di luar benteng, pendatang yang bermukim membuat kawasan hunian sendiri. Mereka masih mempraktikkan cara hidup di desa dengan bercocok tanam seadanya untuk membantu pemenuhan kebutuhan harian. Karena melabuhkan asa bekerja di dalam benteng atau pelabuhan belum mencukupi.
Kawasan-kawasan di luar benteng itu yang diyakini menjadi cikal bakal istilah “kampung” muncul. Sebutan “kampung” merujuk pada Evers dan Korff, dikatakan dari Bahasa Melayu yang berarti desa. Kampung dikenal di kawasan kota awalnya untuk membedakan permukiman warga di luar banteng dengan permukiman Belanda.
Dalam perkembangannya kampung merujuk pada kawasan permukiman di kota yang dihuni masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat yang tak lolos masuk dunia kerja formal era industrialisasi.
Dalam perkembangannya kampung merujuk pada kawasan permukiman di kota yang dihuni masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah. Masyarakat yang tak lolos masuk dunia kerja formal era industrialisasi.
Penelitian John L Taylor tahun 1983 seperti dikutip dalam Pengkajian Tentang Urbanisasi di Asia Tenggara, menyatakan saat itu kampung meliputi 60 persen Jakarta dan tempat 75 persen warganya tinggal.
Tahun 1990an saat Evers dan Korff menerbitkan bukunya, mereka meminjam dari Oswald Spengler mengatakan,”Jakarta yang modern sekarang ini adalah sebuah kawasan permukiman yang sangat besar tetapi tidak dapat disebut sebagai kota”. Sekitar 30 tahun kemudian, di masa kini, porsi warga yang tinggal di kampung pun masih tetap besar.
Baca juga : Hampir Separuh Wilayah Jakarta Berupa Permukiman Kumuh
Dikutip dari berita Kompas.id pada 27 Mei 2019, sesuai Data Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional pada Mei 2019, permukiman kumuh di DKI Jakarta tersebar di 118 dari 267 kelurahan atau hampir 45 persen dari total seluruh kelurahan.
Luas permukiman kumuh itu mencapai 1.005,24 hektare dengan sebaran wilayah di Jakarta Utara (30 persen), Jakarta Barat (28 persen), Jakarta Selatan (18 persen), Jakarta Timur (12 persen), Jakarta Pusat (11 persen), dan Kepulauan Seribu (1 persen). Mereka berada di tanah tak bertuan, seperti bantaran sungai, sepadan pantai, dan sekitar waduk.
”Jakarta yang modern sekarang ini adalah sebuah kawasan permukiman yang sangat besar tetapi tidak dapat disebut sebagai kota”.
Kampung kota ini sejak awal sampai sekarang, memiliki ciri yang kurang lebih sama. Mereka masih menerapkan produksi subsisten, layaknya petani yang mengupayakan bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Di kawasan kumuh kota, sering dijumpai warganya membangun rumah-rumah dengan barang-barang bekas seperti seng, kayu dan asbes.
Memelihara unggas juga pemanfaatan lahan untuk bertani sayur atau umbi-umbian, jamak dilakukan. Coba tengok di tepi kali yang kosong, lahan garapan dengan kangkung tumbuh subur dan aneka sayur mayur lain biasa ditanam. Toko kelontong, warung makan, ditemukan di setiap beberapa meter di gang-gang sempit di tengah permukiman padat.
Kampung layaknya workshop raksasa. Tumbuh industri-industri kecil tingkat rumah tangga mulai mengolah barang bekas, tekstil, dan lainnya di kampung dengan menyerap tenaga kerja dari kampung itu juga.
Alison J Murray peneliti dari Australia National University yang sekarang mengajar di University of Sydney, Australia, sempat melewatkan waktunya selama 3-4 tahun di kampung kumuh di Manggarai, Jakarta Selatan di awal 1980an. Dalam bukunya No Money, No Honey : A Study of Street Traders and Prostitutes in Jakarta, Murray membagikan pengalamannya hidup di rumah sempit di salah satu gang di Manggarai di tepi Sungai Ciliwung.
Di Manggarai, Murray hidup bersama pendatang dari Tegal, Jawa Tengah, juga ada yang dari Jawa Barat. Para pendatang ini sudah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun di Manggarai. Ada yang masih pulang pergi ke kampung halamannya secara berkala, tetapi ada juga yang tak lagi pernah mudik.
“Di sini, kehidupannya buruk. Tapi kalau di kampung, tidak ada kerjaan. Dapat uang di sini, saya membangun tempat yang bagus dan ada lahan sawah di kampung,” kata salah satu warga yang jadi obyek penelitian Murray.
“Di sini, kehidupannya buruk. Tapi kalau di kampung, tidak ada kerjaan. Dapat uang di sini, saya membangun tempat yang bagus dan ada lahan sawah di kampung,” kata salah satu warga yang jadi obyek penelitian Murray.
Murray melihat kampung kumuh tidak dilengkapi fasilitas air bersih dan sanitasi memadai. Mandi, memasak, buang sampah, limbah industri rumah tangga hingga buang hajat langsung ke Ciliwung.
Meski selalu dianggap buruk, keberadaan kampung menunjang kehidupan kota. Mereka sumber tenaga kerja murah, penyedia makanan murah di warung-warung di belakang perkantoran. Tanpa mereka, kehidupan modern Jakarta bisa limbung. Fakta ini yang membuat kampung kota unik serta menjadi ciri khas Jakarta.
Perbaikan dari atas
Kampung kota yang kumuh selalu menjadi sasaran untuk ditata. Terlebih saat Jakarta menjadi pusat negeri ini untuk berbenah berlomba menuju kawasan maju nan modern meninggalkan predikat negara berkembang yang melekatinya. Di bawah Gubernur Ali Sadikin, Kampung Improvement Program (KIP) diluncurkan pada 1966/1967 yang juga dikenal dengan nama Program Mohammad Husni Thamrin (MHT).
Baca juga : Utamakan Perbaikan Kampung
KIP menarik perhatian dunia dan dukungan dari Bank Dunia mengalir. Saat diselesaikan pada tahun 1983, KIP memperbaiki 7.676 ha lahan dengan jumlah penduduk 3 juta orang. Ada 925 km jalan yang bisa dilalui mobil dan 950 km jalan kecil yang diperbaiki. Turut dibenahi 410 km saluran pembuangan, 277 kamar mandi umum, dan membangun klinik serta sekolah dasar.
DKI Jakarta mendapat penghargaan dunia pada 1980 sebagai proyek terbaik dan berhasil dengan biaya rendah di negara Islam.
Baca juga : Pilih Proyek MHT Daripada Rumah Layak
Meski demikian, KIP bukan tanpa cela. Laporan LP3ES The KIP Experience in Jakartadan Evaluasi Studi Kasus KIP oleh Nick Devas tahun 1981 memaparkan bahwa KIP justru menarik migrasi makin tinggi ke ibu kota. Selain itu, sejak awal hingga berakhir, program KIP ini adalah top down.
Warga kampung disebut kurang dirangkul dan ditampung sarannya. Masalah kelangsungan program seperti penjagaan dan perawatan fasilitas yang telah dibangun terabaikan. Warga bisa jadi tidak terlalu merasa memiliki atas apa yang telah dibangun.
Baca juga : Jejak Proyek MHT yang Nyaris Hilang
Selain itu, sejak awal hingga berakhir, program KIP ini adalah top down. Warga kampung disebut kurang dirangkul dan ditampung sarannya. Masalah kelangsungan program seperti penjagaan dan perawatan fasilitas yang telah dibangun terabaikan. Warga bisa jadi tidak terlalu merasa memiliki atas apa yang telah dibangun.
Hampir 40 tahun berlalu, penataan kampung kota dan isu migrasi serta urbanisasi masih saja melekati ibu kota.
Atas dasar itulah, Gugus Tugas Reforma Agraria dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 574 Tahun 2019. Tim itu akan mengkaji seluruh persoalan yang ada di permukiman kumuh DKI sebelum proses penataan ulang kawasan berjalan. Tim terdiri dari unsur pemerintah, masyarakat, dan akademisi (Kompas.id, 27 Mei 2019).
Belajar dari sejarah, pertambahan penduduk, migrasi, dan urbanisasi adalah kekuatan besar untuk membangun dan mengembangkan kota. Namun, tentu butuh pengelolaan yang tepat. Butuh proses dan waktu, bukan sekedar program pendataan paska Lebaran. Gugus Tugas Reforma Agraria diharap tidak sekedar mengulang kebijakan tak tuntas seperti sebelum-sebelumnya.