Korban Banjir Samarinda Butuh Makanan dan Air Bersih
Meski hujan tidak turun sejak Senin (10/6/2019) pagi, banjir yang menggenangi empat kecamatan di Kota Samarinda sejak Idul Fitri belum sepenuhnya surut. Setidaknya 15.000 jiwa masih terdampak banjir dan membutuhkan bantuan makanan serta air bersih.
Oleh
SUCIPTO
·4 menit baca
SAMARINDA, KOMPAS - Meski hujan tidak turun sejak Senin (10/6/2019) pagi, banjir yang menggenangi empat kecamatan di Kota Samarinda sejak Idul Fitri belum sepenuhnya surut. Setidaknya 15.000 jiwa masih terdampak banjir dan membutuhkan bantuan makanan serta air bersih.
Sebelumnya, hujan deras yang turun hampir setiap malam sejak 5 Juni mengakibatkan Sungai Mahakam dan anak sungainya meluap. Hal itu mengakibatkan banjir di Kecamatan Samarinda Utara, Samarinda Ilir, Samarinda Ulu, dan Sungai Pinang.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda Sulaiman Sade mengatakan, banjir sempat meluas pada Minggu (9/6/2019) menjelang tengah malam. Data yang dihimpun BPBD Kota Samarinda, warga terdampak banjir mencapai 26.000 jiwa hingga Senin dini hari.
"Alhamdulillah hujan tidak turun sejak Senin pagi. Hingga pukul 13.00 Wita, beberapa titik banjir sudah surut. Saat ini, sekitar 15.000 jiwa masih terdampak banjir," kata Sulaiman.
Alhamdulillah hujan tidak turun sejak Senin pagi. Hingga pukul 13.00 Wita, beberapa titik banjir sudah surut. Saat ini, sekitar 15.000 jiwa masih terdampak banjir.
Genangan air di beberapa wilayah masih tinggi, mencapai 1,5 meter. Meski demikian, akses menuju Bandar Udara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto Samarinda sudah berangsur pulih karena air sudah surut.
Di Kelurahan Sempaja Timur, Kecamatan Samarinda Utara, sekitar 100 warga mengungsi di Masjid Al Muhajirin. Mereka membawa pakaian, tikar, dan selimut. Para pengungsi tidur di sisi selatan masjid beralas tikar dan karpet. Sebagian di antaranya mengungsi sejak Minggu. Sebagian lainnya baru mengungsi pada Senin pagi karena air meninggi dan tidak kunjung surut.
Martiah (39), warga perumahan Bengkuring, Sempaja Timur, mengungsi bersama enam anggota keluarganya. Ia terpaksa mengungsi karena air mulai masuk ke rumahnya pada Senin dini hari. “Rumah saya termasuk cukup tinggi, tetapi sejak pukul 01.00 pagi air masuk ke rumah,” kata Martiah.
Ia harus mengungsi sebab seluruh listrik di perumahan itu mati. Saluran air PDAM juga tidak mengalir. Selain itu, stok makanan di rumah-rumah warga mulai menipis dan tidak higienis karena terkena banjir.
Bantuan
Hingga Senin, warga terdampak banjir masih membutuhkan bantuan makanan dan air bersih. Sebagian warga yang tidak terdampak banjir bergotong royong membuat dapur umum di sekitar pengungsian.
Warga RT 29 dan RT 51 Kelurahan Sempaja Timur membuat dapur umum di bengkel las milik salah satu warga. Mereka mengumpulkan sumbangan makanan dari masyarakat dan memasaknya secara bergantian.
Ketua RT 51 Yadi Setiawan mengatakan, selain dari masyarakat, bantuan juga datang dari berbagai komunitas dan lembaga. Menurut Yadi, stok bahan makanan masih dibutuhkan karena juga didistribusikan ke warga yang masih bertahan di rumah.
“Setiap waktu makan, stok makanan pasti habis. Kami harus mencari bantuan ke masyarakat yang tidak terdampak. Di Sempaja Timur saja warga yang terdampak mencapai 9.000 jiwa,” kata Yadi.
Ia mengatakan, proses masak memasak di dapur umum dimulai sejak subuh dan baru berhenti pukul 22.00 Wita. Jika banjir belum surut, dalam beberapa hari ke depan, bantuan bahan makanan sangat dibutuhkan.
Stok bahan makanan masih dibutuhkan karena juga didistribusikan ke warga yang masih bertahan di rumah.
Penyakit
Penyakit juga sudah mulai menjangkiti masyarakat. Sebagian besar menderita diare, gatal-gatal, dan tekanan darah tinggi. Masyarakat yang masih bertahan di rumah diarahkan untuk mengungsi hingga air benar-benar surut agar sakit tidak semakin parah.
Kepala Puskesmas Bengkuring Tiori Karo Karo mengatakan, masyarakat paling banyak mengeluhkan diare. Hal itu karena beberapa di antara mereka masih bertahan di rumah meski kondisi air dan lingkungan tidak bersih. Kondisi tersebut yang memicu berbagai penyakit.
“Tidak ada yang dirujuk ke rumah sakit. Masyarakat sebaiknya mengungsi karena air banjir kotor dan bisa menimbulkan penyakit. Saat makan, belum tentu tangannya steril karena tak tersedia air bersih,” ujarnya.
Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Samarinda M Wahiduddin mengatakan, tim gabungan dari TNI, Polri, Basarnas, dan BPBD masih menyusuri wilayah terdampak dan membujuk masyarakat untuk mengungsi.
“Di setiap kelurahan sudah didirikan posko dan tempat pengungsian. Tim gabungan masih terus mencari warga yang masih bertahan di rumah,” ujar Wahiduddin.
Ia mengatakan, banjir kali ini adalah banjir terbesar dan terlama genangannya. Sebelumnya, tahun 1998, belasan ribu warga pernah terdampak banjir di tiga kecamatan di Samarinda, yakni Samarinda Utara, Samarinda Ilir, dan Samarinda Ulu. Banjir itu disebabkan jebolnya Waduk Benanga di Dusun Joyomulyo, Desa Lempake, Kecamatan Samarinda Utara (Kompas, 3/8/1998). Hal itu berakibat lumpuhnya Bandar Udara Temindung, Samarinda. Operasi bandara praktis terhenti, karena landasan pacu terendam air.