KPK menetapkan mantan Direktur Utama Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pemenuhan kewajiban obligor BLBI. Ini bukan kali pertama Sjamsul ditetapkan tersangka dalam kasus yang berkaitan dengan BLBI.
Oleh
Sharon Patricia
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan mantan Direktur Utama Bank Dagang Nasional Indonesia Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi pemenuhan kewajiban obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Ini bukan kali pertama Sjamsul ditetapkan tersangka dalam kasus yang berkaitan dengan BLBI.
"Setelah melakukan penyelidikan dan ditemukan bukti permulaan yang cukup, maka KPK membuka penyidikan baru dugaan tindak pidana korupsi bersama-sama Syafruddin Arsyad Tumenggung selaku kepala BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) selaku obligor BLBI kepada BPPN dengan tersangka SJN (Sjamsul Nursalim), pemegang saham pengendali BDNI, dan ITN (Itjih Nursalim), swasta," kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang saat jumpa pers, di Jakarta, Senin (10/6/2019).
Penetapan tersangka merupakan pengembangan kasus Syafruddin Arsyad Tumenggung. Dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan tingkat banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, hakim menyatakan Sjamsul sebagai pihak yang diperkaya sebesar Rp 4,58 triliun.
Sebagai pemenuhan hak tersangka, KPK telah melayangkan informasi pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada kedua tersangka, 17 Mei 2019.
Surat dikirimkan ke empat lokasi yang merupakan kediaman atau kantor tersangka. Tiga diantaranya berada di Singapura, yaitu di The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire Pte.Ltd. Adapun satu lainnya, rumah Sjamsul di Simprug, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif meminta kedua tersangka untuk bersikap kooperatif. Pasalnya, selama masa penyelidikan kasus tersebut, keduanya selalu mangkir dari tiga kali panggilan KPK, yaitu dua kali pada Oktober 2018 dan satu kali pada Desember 2018.
Pemulihan aset
Dengan kerugian negara dalam perkara ini diduga mencapai Rp 4,58 triliun, upaya pemulihan aset sekaligus menjadi fokus untuk memulihkan kekayaan negara.
“Kerugian negara dalam kasus ini sangat besar maka pemulihan aset menjadi pokok penyelesaian. Komisi Pemberantasan Korupsi pun akan memaksimalkan upaya pemulihan aset agar uang yang dikorupsi dapat kembali kepada masyarakat melalui mekanisme keuangan negara,” kata Laode.
Dalam upaya memulihkan aset itu, para tersangka akan dikenakan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.
“Namun, tidak menutup kemungkinan nantinya kami menggunakan UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,” tuturnya.
Laode juga mengatakan, apabila para tersangka tetap tidak hadir, maka persidangan akan dilakukan secara in absentia atau dengan ketidakhadiran. Namun, dia menganjurkan agar para tersangka tetap hadir supaya keterangan dapat disampaikan lebih utuh.
Kronologi kasus
Saut Situmorang menyampaikan, perkara korupsi dana BLBI bergulir sejak zaman krisis moneter pada 1998. Saat itu, tepatnya pada 21 September 1998, Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Sjamsul menandatangani penyelesaian pengambilalihan pengelolaan BDNI melalui Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA).
Setelah melalui beberapa proses, pada 12 April 2004 Sjamsul dan Itjih menandatangani Akta Perjanjian Penyelesaian Akhir yang pada pokoknya berisikan pemegang saham telah menyelesaikan seluruh kewajiban sesuai dengan yang diatur di MSAA.
Saut melanjutkan, pada 26 April 2004 Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung menandatangani surat Nomot SKL-22/PKPS-BPPN/0404 perihal Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul. Akibatnya, hak tagih atas utang petambak PT Dipasena Citra Darmaja milik Sjamsul menjadi hilang atau hapus.
Selanjutnya, BPPN menyerahkan pertanggungjawaban aset pada Kementerian Keuangan yang berisikan hak tagih utang petambak PT DCD yang diserahkan kepada PT Perusahaan Pengelola Aset (PT. PPA).
“Pada 24 Mei 2007, PT PPA melakukan penjualan hak tagih utang petambak plasma senilai Rp. 220 miliar,” ujarnya.
Padahal, nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp 4,8 triliun. Sehingga, keuangan negara diduga merugi Rp 4,58 triliun.
Bukan pertama kali
Dikutip dari arsip Kompas, Sjamsul sebenarnya pernah ditetapkan tersangka oleh Kejaksaan Agung dalam kasus penyelewengan BLBI pada 23 Oktober 2000. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Yushar Yahya saat itu mengatakan Sjamsul diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp 7,28 triliun.
Pada 16 April 2001, Kejaksaan Agung memutuskan menahan Sjamsul, di Rumah Tahanan Kejaksaan Agung. Namun karena Sjamsul sakit, penahanannya ditangguhkan. Dia dibawa ke Rumah Sakit Medistra, 17 April 2001.
Kemudian Kompas (31/5/2001) memberitakan, Kejaksaan Agung mengizinkan Sjamsul Nursalim, berobat ke Jepang. Sjamsul disebut mengalami penyempitan pembuluh darah di jantung, dan akan menjalani operasi jantung di Kokuro Memorial Hospital, Jepang. Atas jaminan keluarga Nursalim dan permohonan kuasa hukumnya, Kejagung mengizinkan Nursalim berobat ke Kokuro Memorial Hospital di Tokyo, Jepang.
Selanjutnya, Sjamsul dikabarkan meninggalkan Jepang menuju Singapura, 4 Agustus 2001. Dia dikabarkan dirawat di Raffles Hospital karena harus menjalani operasi batu empedu.
Setelah pemerintah menerbitkan surat keterangan lunas BLBI untuk BDNI pada April 2004, Kejagung mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan atas Sjamsul.
Tiga tahun berselang atau akhir 2007, namanya kembali muncul ketika Jaksa Agung Hendarman Supandji membuka kembali penyelidikan kasus BLBI, salah satunya terkait BDNI.
Namun akhir Februari 2008, Kejagung kembali menyimpulkan, penyelesaian utang BLBI oleh pemegang saham BDNI telah sesuai aturan hukum.
Kesimpulan ini diragukan banyak pihak apalagi tak lama setelah itu, Urip Tri Gunawan, koordinator tim jaksa penyelidik dugaan korupsi BLBI terkait BDNI, tertangkap tangan oleh KPK bersama Artalyta Suryani, kerabat dari Sjamsul.
Sementara KPK “turun tangan” menyelidiki perkara Sjamsul mulai 2017. KPK menduga ada penyelewengan dalam pemberian surat keterangan lunas (SKL) BLBI terhadap Sjamsul, Kompas (26/5/2017).