FUKUOKA, MINGGU Ketegangan akibat perang perdagangan dan ketegangan geopolitik dikhawatirkan oleh para menteri keuangan dan gubernur bank sentral dari negara-negara anggota G-20. Namun, mereka tidak mampu menyerukan resolusi khusus atas kondisi yang terus berlarut-larut tersebut.
Pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral 20 negara pengendali 85 persen perekonomian global yang berakhir Minggu (9/6/2019) di Fukuoka, Jepang, hampir gagal menghasilkan sebuah komunike. Namun, akhirnya pada akhir pertemuan dua hari itu mereka menegaskan pernyataan yang dikeluarkan di Buenos Aires, Argentina, Desember lalu, tentang dukungan pada sistem perdagangan multilateral yang berbasis pada aturan.
”Pertumbuhan global tampaknya mulai stabil dan umumnya diproyeksikan meningkat secara moderat akhir tahun ini dan memasuki tahun 2020,” demikian pernyataan mereka dalam sebuah komunike di akhir pertemuan. ”Namun, pertumbuhan tetap rendah dan risiko tetap cenderung memberatkan. Yang terpenting, ketegangan perdagangan dan geopolitik semakin meningkat, kami akan terus memperhatikan risiko-risiko itu dan siap mengambil tindakan lebih lanjut.”
Pertemuan itu juga menyatakan, para pemimpin keuangan G-20 sepakat menyusun aturan umum pada tahun 2020 untuk menutup celah yang digunakan raksasa teknologi global, seperti Facebook dan Google, mengurangi pajak perusahaan mereka. Komunike itu pun berisi janji untuk meningkatkan transparansi utang dari pihak peminjam dan kreditor dan untuk membuat pembangunan infrastruktur lebih berkelanjutan.
Langkah itu merupakan sebuah inisiatif yang diluncurkan di tengah keluhan bahwa dorongan besar-besaran China melalui megaproyek Prakarsa Sabuk dan Jalan membebani negara- negara miskin dengan utang. Namun, komunike itu tidak memasukkan klausul yang diusulkan untuk ”mengakui kebutuhan mendesak bagi penyelesaian ketegangan perdagangan” sebagaimana terlihat dalam draf yang diperdebatkan pada Sabtu pekan lalu.
Penghapusan klausul itu, menurut sejumlah sumber, datang atas desakan Amerika Serikat. Desakan itu sekaligus menunjukkan keinginan Washington—sejalan niat Presiden Trump—masih berencana meningkatkan tarif atas impor produk asal China. Pernyataan itu juga tidak mengandung pengakuan bahwa konflik perdagangan AS-China yang semakin dalam telah mengganggu pertumbuhan global.
Kritik IMF
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde mengatakan, dirinya menekankan bahwa prioritas pertama saat ini adalah menyelesaikan ketegangan perdagangan. Hal itu mendesak dilakukan seiring upaya bersama memodernisasi aturan perdagangan internasional.
Organisasi IMF memperingatkan awal pekan lalu bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi global masih diharapkan membaik tahun ini dan berikutnya, perang dagang AS-China diproyeksikan dapat memangkas 0,5 persen dari total hasil produk domestik bruto global pada tahun 2020.
Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mengatakan, Sabtu, ia tidak melihat dampak perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi AS. Ia menegaskan bahwa pemerintahan Trump akan mengambil langkah-langkah untuk melindungi konsumen AS terhadap tarif yang lebih tinggi. Mnuchin bertemu Gubernur Bank Sentral China Yi Gang pada Minggu. Melalui Twitter, Mnuchin menyebut pertemuan itu konstruktif dan berlangsung dengan baik.
Pada KTT G-20 di Buenos Aires pada Desember 2018, AS dan China sepakat melakukan ”gencatan senjata” perdagangan lima bulan guna memungkinkannya digelar negosiasi untuk mengakhiri perang dagang yang semakin intensif.
Namun, sejauh ini pembicaraan itu menemui jalan buntu. Situasi yang berkembang justru memburuk, dan mendorong kedua belah pihak mengenakan tarif impor yang lebih tinggi atas barang produksi masing-masing pihak.