PARIS, MINGGU - Cedera dan rangkaian kekalahan di turnamen tanah liat menjadi masalah bagi Rafael Nadal sebelum tampil di Perancis Terbuka. Namun, saat tampil di Roland Garros, Paris, Nadal selalu menemukan cara untuk menang. Dia pun mempertahankan singgasananya sebagai ”Raja Lapangan Tanah Liat”.
Dalam laga ulangan final tunggal putra Perancis Terbuka 2018, Nadal mengalahkan Dominic Thiem, 6-3, 5-7, 6-1, 6-1, di Lapangan Philippe Chatrier, Roland Garros, Paris, Minggu (9/6/2019). Tahun lalu, Nadal menang, 6-4, 6-3, 6-2.
Begitu bola dari pengembalian servis Thiem jatuh di luar lapangan, Nadal merayakan kemenangan dengan telentang di lapangan seperti yang dilakukannya selama ini. Sesaat kemudian, dia menyembunyikan tangisnya setelah berpelukan dengan Thiem.
Poin terakhir itu menyempurnakan berbagai rekornya di lapangan tanah liat. Dia memiliki statistik menang-kalah 118-2 (98,3 persen) pada laga best of five sets. Rekornya di Roland Garros menjadi 93-2 (97,8 persen) dan 12-0 (100 persen) di final. Adapun pada final di tiga Grand Slam lain, Nadal memiliki statistik 6-8.
Kemenangan atas Thiem juga memberinya gelar ke-18 di ajang Grand Slam dan ke-12 di Roland Garros. Dia hanya tertinggal dua gelar dari Roger Federer sebagai tunggal putra dengan Grand Slam terbanyak.
”Saya tak berpikir tentang hal itu, lima, enam, delapan tahun yang lalu, tetapi itu terjadi sekarang,” kata Nadal yang kemenangannya disaksikan langsung Toni Nadal, paman yang juga mantan pelatihnya, di Roland Garros.
Lebih bermakna dari angka-angka itu, trofi Mousquetaires yang didapatnya kali ini menepis keraguan akan dominasinya di turnamen tanah liat. Menuju Roland Garros, petenis berusia 33 tahun itu mendapat hasil terburuk dalam turnamen tanah liat sejak 2015.
Empat tahun lalu, Nadal gagal pada tiga turnamen Masters 1000 dan di Perancis Terbuka. Dia dikalahkan Novak Djokovic di perempat final.
Musim ini, Nadal hanya juara di Roma setelah tiga kali tersingkir pada semifinal. Status ”Raja Lapangan Tanah Liat” miliknya mulai diragukan.
Salah satu kekalahan terjadi di Barcelona dari Thiem. Nadal kalah di lapangan yang diberi nama dari namanya sendiri ”Lapangan Rafa Nadal”. Namun, kekalahan itu tak membuatnya khawatir. ”Saya bermain bagus, tetapi Thiem lebih bagus,” katanya saat itu.
Ini berbeda ketika dia dikalahkan Fabio Fognini di Monte Carlo. Saat itu, penampilannya buruk hingga dia menyebutnya sebagai penampilan terburuk dalam delapan tahun terakhir.
Terganggu cedera
Seperti telah menjadi bagian dari seluruh perjalanan kariernya, Nadal juga terganggu cedera. Cedera lutut membuatnya tak jadi tampil dalam semifinal Indian Wells Masters, Maret, melawan Federer. Dia juga batal tampil di Miami Masters pada bulan yang sama.
Gelar dari Roma Masters, dua pekan sebelum Perancis Terbuka, menjadi momen yang pas untuk membangkitkan kepercayaan dirinya. Nama Nadal masuk kembali ke daftar favorit juara meski kali ini harus berbagi tempat dengan Thiem dan Djokovic yang juga tampil solid di tanah liat.
Ketiganya, ditambah Federer, akhirnya tampil di semifinal. Penampilan tanpa cela mengantarkan Nadal mengungguli Federer. Adapun Thiem harus bersaing ketat hingga lima set dengan Djokovic. Semifinal Thiem melawan Djokovic juga harus berlangsung dua hari karena terganggu hujan.
Meski mengakui melawan Nadal di Perancis Terbuka adalah tantangan tersulit, Thiem membawa pola pikir positif ke lapangan. ”Saya membawa pola pikir bisa memenangi pertandingan tersebut. Itu adalah faktor terpenting, yaitu bahwa saya memasuki lapangan dengan percaya diri,” katanya. Akan tetapi, kepercayaan diri itu belum cukup untuk mengantarkannya ke podium juara Grand Slam.
Di lapangan, Thiem (25) mampu melawan lebih ketat dibandingkan dengan final 2018. Thiem menjalankan taktiknya membuat winner dengan forehand silang tajam setelah membuka lapangan dengan mengarahkan pukulan ke backhand Nadal. Namun, petenis Austria itu masih goyah pada momen penting saat memegang servis. Kelemahan ini juga terlihat ketika bertemu Djokovic pada semifinal. Dia hanya enam kali mengonversi 15 break point jadi kemenangan.
Padahal, untuk menjuarai Grand Slam, seorang petenis harus konsisten dalam permainan level tinggi dalam tujuh pertandingan selama dua pekan. Apalagi, jika harus berhadapan dengan para juara, Nadal, Djokovic, dan Federer, dalam laga beruntun.
Kekalahan yang dialami Thiem akhirnya menempatkan kembali Nadal pada singgasananya sebagai ”Raja Lapangan Tanah Liat”. (AFP)