Pemerintah Kendalikan Tarif Tiket Pesawat
Beberapa waktu terakhir terus dikeluhkan tiket pesawat yang mahal. Harga tiket dari Banda Aceh ke Jakarta pada Januari 2019 mencapai Rp 3 juta dibanding rute penerbangan yang sama dengan menyinggahi Kuala Lumpur, Malaysia hanya Rp 716.800. Timbul gagasan Presiden Joko Widodo ingin mengundang maskapai asing untuk bermain dalam penerbangan domestik.
Kehadiran maskapai asing diharapkan dapat memunculkan persaingan yang sehat di kalangan operator penerbangan domestik. Seperti hukum ekonomi, semakin banyak maskapai, maka tarif tiket yang ditawarkan akan bervariasi, bahkan lebih murah.
Selama ini bisnis pesawat domestik dikuasai Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia, Citilink, Sriwijaya Air dan NAM Air), dan Lion Group (Lion Air, Batik Air dan Wings Air). Dominasi tersebut memberi kesan kedua group maskapai itu semaunya menentukan tarif penumpang.
Pandangan itu dibantah pengelola maskapai. “Penentuan tarif tiket penumpang kelas ekonomi berpatokan pada tarif batas atas dan tarif batas bawah yang ditetapkan pemerintah. Bahkan, ada sanksi bagi maskapai yang melanggar. Jadi, harga tiket ekonomi dikendalikan pemerintah,” kata VP Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan.
Dalam penentuan harga tiket penerbangan domestik oleh perusahaan penerbangan setidaknya ada sejumlah variable yang turut diperhitungkan, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen dalam pembelian tiket, airport tax dan asuransi. Komponen-komponen ini bisa mencapai sekitar 20 persen dari total harga tiket. Sisanya menjadi bagian dari pendapatan kotor maskapai. Jadi, kalau porsi pendapatan maskapai dalam nilai tiket diturunkan lagi, berpeluang mengganggu arus kas perusahaan penerbangan.
“Dengan harga seperti sebelumnya saja, Garuda Indonesia masih sering mencatat kerugian. Bagaimana kalau harga tiket diturunkan lagi?. Tetapi. apa pun yang terjadi, kami tetap mematuhi garis kebijakan yang mengikat dari pemerintah,” ujar Ikhsan.
Turunkan tarif batas atas
Mahalnya harga tiket semakin dikeluhkan masyarakat menjelang mudik Lebaran 2019. Bahkan, untuk rute Jakarta-Pekanbaru dengan singgah di Bandara Kualanamu Medan ada maskapai yang menawarkan seharga tiket Rp 6 juta sekali terbang. Pemerintah akhirnya turun tangan.
Itu sebabnya, sejak 15 Mei 2019, diterbitkan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 72 Tahun 2019 tentang Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri. Penurunan berkisar 12 persen hingga 16 persen. Peraturan ini merupakan pembaruan atas tarif sejenis dari Peraturan Menhub Nomor 14 Tahun 2016.
Tarif batas atas untuk pesawat baling-baling (propeller) berkapasitas di bawah 30 kursi rute Ambon-Kaimana, misalnya, Rp 3.694.000, dan tarif batas bawahnya Rp 1.293.000. Untuk pesawat baling-baling memiliki lebih dari 30 kursi seperti rute Batam-Kerinci, tarif batas atasnya Rp 1.384.000, dan tarif batas bawah Rp 484.000. Sementara pesawat jet untuk rute Jakarta-Labuan Bajo tarif batas atas Rp 2.250.000, dan tarif batas bawah Rp 788.000.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dalam surat keputusan itu menjelaskan tarif baru ini sudah mendapatkan masukan dari asosiasi pengguna jasa penerbangan. “Tujuannya untuk melindungi konsumen dari pemberlakuan tarif tinggi oleh Badan Usaha Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan melindungi konsumen dari informasi/iklan tarif penerbangan yang berpotensi merugikan atau menyesatkan,” jelasnya.
Namun demikian, besaran tarif batas atas penumpang kelas ekonomi pesawat tersebut belum termasuk pungutan pajak pertambahan nilai (PPN), iuran wajib dana pertanggungan dari PT Jasa Raharja (Persero), biaya tambahan, dan tarif pelayanan jasa pelayanan penumpang pesawat udara (PJP2U).
Kasus perang tarif
Teringat pada awal tahun 2000, pemerintah melakukan deregulasi sektor transportasi udara. Izin pendirian perusahaan penerbangan dibuka seluas-luasnya. Sedikitnya 35 perusahaan penerbangan baru didirikan. Ada Batavia Air, Adam Air, Indonesia Airlines, Riau Air, Bayu Air, Lion Air, Awair, Air Mark, Star Air, Kartika Airlines, Bali Air, Cartenz Papua Airlines, dan masih banyak lagi. Maskapai-maskapai baru ini umumnya memulai usaha dengan mengoperasikan minimal tiga unit pesawat.
Saat itu semua maskapai penerbangan komersial bebas menentukan tarif penumpang kelas ekonomi. Terjadilah perang tarif yang menggila. Rute Jakarta-Surabaya, misalnya, sebelumnya sekitar Rp 760.000 per penumpang, pada awal tahun 2002 jadi begitu murah. Indonesia Airlines memasarkan seharga Rp 390.000 per penumpang. Pelita Air menjual lebih rendah lagi, yakni Rp 330.000. Kemudian Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000, namun Lion Air dan Jatayu Airlines hanya Rp 499.000, Bourag cuma Rp 405.000. Bahkan, rute Surabaya-Makassar, Pelita Air hanya Rp 333.000, (Kompas 20/5/2002).
Perang tarif pesawat itu memunculkan slogan: “Semua Orang Bisa Terbang”. Jumlah penumpang domestik melonjak tajam. Tahun 1999 sebanyak 6.365.481 orang menjadi 12,19 juta orang tahun 2002, dan 17,2 juta orang pada tahun 2003.
Namun perang tarif juga mengorbankan kualitas pelayanan dan perawatan pesawat. Bahkan, penerbangan pun selalu tidak tepat waktu. Kecelakaan pesawat semakin sering terjadi dan memakan banyak korban jiwa.
Armada yang dioperasikan maskapai baru juga terbatas. Keterbatasan itu membuat frekuensi penerbangan terbatas pula. Saat terjadi keterlambatan keberangkatan atau penundaan penerbangan, maka penumpang dirugikan. Mereka harus menunggu berjam-jam, bahkan keberangkatannya tertunda sehari. Akibatnya, maskapai-maskapai ini mulai ditinggalkan konsumen.
Saat yang sama pengeluaran membengkak, tetapi pendapatan terbatas akibat perang tarif. Padahal, bisnis penerbangan sangat padat modal, sarat teknologi tinggi, risiko tinggi, persaingan ketat, tapi margin tipis. Salah mengelola sedikit saja langsung gulung tikar. Mulai tahun 2003, satu demi satu maskapai rontok. Tahun 2018, Sriwijaya Airlines Group pun nyaris berhenti operasi, tetapi terselamatkan setelah diakusisi Garuda Indonesia.
Keprihatinan terhadap kanibalisasi industri penerbangan itu kemudian melahirkan kebijakan pemerintah yakni penentuan tarif batas atas dan tarif batas bawah penumpang kelas ekonomi pada beberapa tahun lalu. Tarif batas atas sejatinya sebagai upaya pemerintah untuk melindungi konsumen dari pemberlakukan tarif yang terlalu mahal dari operator penerbangan. Sebaliknya tarif batas bawah untuk melindungi perusahaan penerbangan dari persaingan tidak sehat, terutama adanya perang tarif
Bukan mayoritas
Lantas timbul pertanyaan, apakah masih dimungkinkan investasi dalam bisnis penerbangan di Tanah Air? Apakah investor asing boleh mendirikan maskapai baru di Indonesia?
Konvensi Penerbangan Internasional di Chicago tahun 1994 menerapkan asas cabotage, dimana melarang maskapai asing beroperasi di rute domestik sebuah negara. Tujuannya melindungi maskapai domestik agar “lahan” bisnisnya tidak terganggu.
Perlindungan dilakukan sebab jejaring penerbangan domestik bukan semata meraih keuntungan finansial. Tetapi, terdapat kepentingan negara dalam pembangunan nasional yang berkaitan dukungan administrasi logistik pada tata kelola pemerintahhan dan sarana pelayanan publik.
Demi kedaulatan negara, UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan juga menggariskan maskapai asing tidak bisa serta merta beroperasi di Indonesia. Jika ingin masuk rute domestik, maka harus terlebih dahulu mendirikan badan hukum usaha di Indonesia dan tidak menjadi pemilik mayoritas saham.
“Sebanyak 51 persen saham harus dikuasai pihak Indonesia. Perusahaan itu juga wajib memiliki minimal lima pesawat. Belum lagi sejumlah persyaratan lain, seperti modal yang mumpuni sebelum beroperasi, dan aspek teknis lainnya,” kata Dirjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan Polana B Pramesti kepada pers pekan lalu di Jakarta.
Contohnya, Air Asia. Maskapai milik Tony Fernandes, warga Malaysia ini juga mengembangkan usaha di Indonesia dengan membeli Awair Indonesia, lalu berganti nama menjadi PT Air Asia Indonesia Tbk, dimana Air Asia Investment hanya memiliki saham 49,25 persen. Sisanya, pemodal swasta nasional.
Pemerintah jadi kunci
Apakah adanya maskapai baru otomatis menurunkan harga tiket pesawat? Hal itu bisa saja terjadi. Tetapi hanya pada rute tertentu yang dioperasikan pesawat dari maskapai baru, bahkan hanya berlangsung sesaat.
“Untuk bersaing dalam rute domestik, maskapai baru harus siap segalanya. Siapkan modal besar, siapkan banyak pesawat, dan berikan pelayanan terbaik. Tanpa itu, kehadiran maskapai baru tidak memberikan efek yang besar bagi masyarakat Indonesia,” tegas Ari Sapari, pilot senior.
Itu sebabnya, penerapan tarif batas atas dan tarif batas bawah merupakan hal terbaik. Dengan tarif batas atas, setiap maskapai diberi kebebasan menentukan besaran harga tiket penumpang kelas ekonomi, dan masyarakat bebas memilih sesuai kesanggupan.
Penentuan tarif batas atas hendaknya sesuai daya beli masyarakat tanpa menyempitkan ruang bagi maskapai meraih keuntungan. Tarif batas bawah dibutuhkan untuk mencegah adanya kanibalisasi sesama operator melalui perang tarif. Jadi, tarif tiket pesawat kelas ekonomi sesungguhnya dikendalikan pemerintah, bukan yang lain.