Berbagai media massa dalam dan luar negeri baru-baru ini mengutip pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Susi Pudjiastuti bahwa Indonesia penyuplai tuna terbesar dunia, bahkan beberapa media memuat berita bahwa Indonesia eksportir tuna terbesar dunia. Jumlah tangkapan ikan tuna dapat kita analisis dari basis data dan laporan tahunan setiap negara kepada Regional Fisheries Management Organization (RFMO).
Tahun 2016, hasil tangkapan tuna dunia mencapai 4.859.865 ton, sedangkan jumlah tangkapan tuna Indonesia yang dilaporkan resmi ke RFMO 669.109 ton. Mayoritas penangkapan berbagai jenis tuna utama berasal dari Samudra Pasifik sebanyak 525.633 ton, dan dari Samudra Hindia sebanyak 143.476 ton termasuk Tuna Sirip Biru 601 ton.
Tahun 2017 hasil tangkapan tuna dunia 4.733.159 ton, sedangkan hasil tangkapan tuna Indonesia 597.874 ton. Hasil tangkapan Indonesia menyumbang 12,63 persen tangkapan tuna dunia. Berdasarkan basis data IOTC, jumlah tangkapan tuna Indonesia di Samudra Hindia sebanyak 131.605 ton termasuk Tuna Sirip Biru 375 ton, tetapi berdasarkan country report Indonesia, jumlah tangkapan tuna tahun 2017 adalah 165.725 ton.
Jadi, ada discrepancy antara basis data IOTC dan national report Indonesia sebanyak 34.120 ton. Sinkronisasi data perlu dilakukan karena jumlah hasil tangkapan akan menentukan besarnya variable fee yang harus dibayarkan Indonesia kepada IOTC sementara kapal yang terdaftar hanya 163 unit (14.078 GT).
Di sisi lain hasil tangkapan tuna Indonesia di Samudra Pasifik pada 2017 yang dilaporkan ke WCPFC sebanyak 466.269 ton di mana 80-85 persen dari Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) dan lebih dari 60 persen total tangkapan tuna berasal dari perairan kepulauan (archipelagic water). Kapasitas armada kapal penangkapan tuna Indonesia yang terdaftar di RFMO tidak dapat dimungkiri merosot drastis sejak 2014. Paradoksnya, total tangkapan tuna Indonesia tetap relatif stabil selama empat tahun terakhir.
Klaim pemberantasan IUU Fishing telah meningkatkan potensi sumber daya ikan, tetapi anehnya volume ekspor tuna dan cakalang relatif menurun sejak 2014. Spesies tuna dan cakalang juga tidak termasuk dalam angka estimasi potensi sumber daya ikan dalam Keputusan Menteri KP No 47 Tahun 2016 dan Keputusan Menteri KP No 50 Tahun 2017.
Konon alasannya karena ikan tuna dan cakalang termasuk yang spesies berjaya jauh, tetapi estimasi potensi ikan highly migratory spesies lainnya seperti marlin, swordfish termasuk. Pengelolaan sumber daya ikan tuna dan cakalang agar dapat optimal sebaiknya harus inklusif melibatkan semua pemangku kepentingan. Sumber daya ikan yang jumlahnya 12,54 juta ton memang membanggakan, tetapi sangat ironis ternyata sangat tak optimal pemanfaatnya karena hanya 3 persen oleh kapal penangkap ikan berkapasitas di atas 30 GT.
Pemanfaatan sumber daya ikan yang tidak optimal ini tentunya tidak searah UU Perikanan dan sangat bertolak belakang dengan cita-cita untuk menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Peringkat terancam anjlok
Mengacu pada data laporan hasil tangkapan di WCPFC dan IOTC, Indonesia ternyata memang telah menduduki peringkat pertama penangkap tuna terbesar dunia sejak 2011 hingga 2017. Di Samudra Pasifik data hasil tangkapan Indonesia tahun 2017 menduduki peringkat pertama 466.269 ton. Peringkat lima besar selanjutnya Papua Niugini 304.478 ton, Jepang 285.981 ton, Korea 265.540 ton dan Taiwan 223.146 ton
Di Samudra Hindia tahun 2017 untuk pertama kali posisi Indonesia tergusur dari peringkat pertama, direbut Spanyol dengan tangkapan 151.622 ton, disusul Maladewa 139.759 ton. Indonesia peringkat ketiga dengan 131.605 ton, disusul Seychelles 130.178 ton, Iran 113.0277 ton. Peringkat Indonesia terancam akan anjlok lagi di tahun mendatang jika tak ada perubahan kebijakan dan masih minim pemanfaatan laut lepas.
Berdasarkan data UNComtrade, International Trade Center, pada 2018 Thailand menduduki peringkat pertama eksportir tuna dunia dengan volume 535.612 ton dengan nilai 2.325.474 dollar AS, diikuti Spanyol 350.496 ton, Taiwan 339.135 ton, Ekuador 239.289 ton, China 218.984, Korea 210.791 ton, Papua Niugini 197.111 ton, Seychelles 171.975 ton. Sementara Indonesia di peringkat keenam dunia dengan volume 167.695 ton dan nilai 710,110 juta dollar AS.
Nilai ekspor merupakan indikator penting, tetapi bagi industri perikanan faktor volume ekspor tak kalah penting karena terkait dengan optimal tidaknya pemanfaatan kapasitas produksi. Volume ekspor tuna Indonesia tahun 2018 justru merosot 15 persen dibandingkan dengan tahun 2017, padahal sebelumnya mencapai 198.185 ton. Hal ini cukup memprihatinkan dan berakibat turunnya peringkat Indonesia dari keenam menjadi kesembilan eksportir terbesar di dunia berdasarkan volume untuk 2018.
Kesimpangsiuran berita yang menyatakan Indonesia eksportir tuna terbesar di dunia telah meluas dan terlanjur memperoleh pujian dari berbagai kalangan masyarakat. Walaupun berita ini tak sesuai fakta sesungguhnya, hal ini mencerminkan tingginya harapan masyarakat agar perikanan tuna Indonesia menguasai dunia.
Kita harus optimistis Indonesia pasti mampu menjadi eksportir tuna nomor wahid di dunia lima tahun ke depan dengan cara mengubah kebijakan yang mendukung pemanfaatan potensi perikanan tuna yang berkelanjutan. Percepatan industri perikanan tuna nasional akan sulit diwujudkan jika hanya mengandalkan kapal yang berukuran mini saja yang mayoritas hanya beroperasi di perairan pantai.
Momentum yang tepat bagi Kabinet mendatang untuk segera menyusun strategi guna menggalang kekuatan kapal penangkapan ikan kita di ZEEI dan laut lepas agar kita segera dapat memanfaatkan kuota perikanan tuna kita yang selama ini mubazir dan terancam diambil alih negara lain.
Hendra SugandhiSekretaris Jenderal Asosiasi Tuna Indonesia