”Tanam” Masa Depan Pesisir Indramayu
Di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, pengetahuan tentang mangrove ditularkan sejak dini. Kini, tanaman pencegah abrasi itu masuk dalam kurikulum sekolah dasar. Bersama mangrove, Indramayu ”menanam” masa depan cerah di pesisir pantai utara.
Siti Zahra (10) tersenyum sambil memegang bibit mangrove dalam botol plastik bekas air mineral, Sabtu (25/5/2019), di pekarangan SDN Paoman IV, Kabupaten Indramayu. Namanya tertulis di wadahnya. Dua helai daun hijau muncul di ujung batangnya.
Siswa kelas IV itu menanam dan merawat sendiri tanaman itu selama 4 bulan. Enam hari dalam sepekan, Zahra menyiramnya sebelum masuk kelas. Ia juga memberi kotoran kambing agar tanamannya tumbuh subur. ”Saya ambil di kandang kambing tetangga,” ucapnya diiringi tawa.
Bagi Zahra, sebatang mangrove itu bisa membantu orangtuanya, nelayan yang menggantungkan hidup pada laut. Akar mangrove, misalnya, menjelma jadi rumah bagi ikan. Jika benih itu sudah tumbuh empat helai daun, ia bakal menanam bibit itu di Pantai Tambak dekat rumahnya.
Selain Zahra, siswa lain di kelas IV-VI juga menanam mangrove. Bibitnya diperoleh dari LSM Pantai Lestari yang fokus mengembangkan pesisir Indramayu. Persemaian dilakukan di lahan kosong di sekolah.
”Kami juga membersihkan sampah di pantai. Setelah itu, kami dapat bonus naik banana boat gratis,” ujar Trivani (10), siswa kelas IV lainnya, yang baru pertama kali menanam mangrove. ”Orangtua saya juga menanam di sekitar tambak. Waktu tahu saya tanam mangrove, dia senang. Kalau enggak ada mangrove, tambaknya rusak,” lanjut anak petambak ikan dan udang ini.
Informasi tentang manfaat mangrove tertuang dalam spanduk yang menempel di dinding kelas. Di situ tertulis, mangrove dapat meredam 50–60 persen gelombang tsunami serta mencegah abrasi. Pesan berisi ”merusak pohon merupakan sumber bencana alam” dan ”Lisa (lihat sampah, ambil)” juga terpampang di beberapa dinding sekolah.
Di SDN 1 Pasekan, ajakan untuk menanam mangrove terpajang di tiang bangunan sekolah. Tembok sebuah kelas bahkan digambari sejumlah pohon mangrove dengan judul ”sobat mangrove”. Lahan parkir sepeda motor seluas 6 meter x 2 meter disulap menjadi tempat persemaian mangrove.
Kurikulum mangrove
Kepedulian terhadap mangrove hingga di sekolah-sekolah itu dimulai sejak 2016 saat Pemerintah Kabupaten Indramayu dan PT Pertamina Refinery Unit VI Balongan meluncurkan sekolah mangrove. Awalnya, hanya SDN 1 Karangsong, SDN 1 Pabean Udik, dan SDN Unggulan yang menerapkannya. Setahun berikutnya bertambah menjadi 11 SD, dan kini mencapai 26 SD yang tersebar di 11 kecamatan di daerah pesisir.
”Tahun ini targetnya 42 sekolah mangrove,” ucap Lutfiya, Kepala SDN Paoman IV sekaligus Ketua Kelompok Kerja Guru (KKG) Mangrove Indramayu. KKG merupakan wadah bagi guru untuk berdiskusi dan berbagi pengalaman dalam mengajarkan pendidikan tentang mangrove. Setiap sekolah mengirimkan dua gurunya untuk dilatih. Mereka mengampu mata pelajaran Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) Tematik Mangrove kelas IV-VI.
Buku dan lembar kerja siswa yang dilengkapi gambar disusun, melibatkan peneliti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, serta Disdik Indramayu dan PT Pertamina RU VI Balongan.
Buku itu berisi pengetahuan tentang jenis mangrove, fungsi mangrove untuk mengurangi dampak abrasi dan tsunami, serta pemanfaatan mangrove sebagai sumber ekonomi baru, seperti makanan bagi ikan hingga dibuat kecap. Materi itu diajarkan setiap Sabtu selama dua jam dan diujikan pada akhir semester. Sekali dalam sebulan, siswa berkunjung ke pusat penelitian dan pengembangan mangrove di Karangsong.
”Siswanya senang karena belajar langsung di lapangan. Orangtuanya juga bertanya terus kapan lagi jalan-jalan ke hutan mangrove,” ujar Lutfiya.
Kepala SDN 1 Pasekan H Tular mengatakan, mata pelajaran tentang mangrove tidak membebani siswa. ”Justru beban sekolah bertambah. Sekali membawa siswa ke hutan mangrove Karangsong, membutuhkan biaya Rp 1,5 juta-Rp 1,8 juta. Ini ditanggung sekolah. Kami juga mendapat bantuan ruangan baru dari PT Pertamina,” ujarnya diiringi senyum.
Laju abrasi
Inovasi terkait pendidikan mangrove di sekolah itu berbuah penghargaan Museum Rekor-Dunia Indonesia sebagai pihak yang pertama kali menerapkan kurikulum PLH Tematik Mangrove di Tanah Air. Penghargaan itu diberikan saat acara Coastal Clean Up di Cirebon, pertengahan Februari lalu, yang disaksikan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar.
”Dengan kurikulum ini, pengetahuan tentang mangrove tidak terputus. Hari ini banyak yang menanam mangrove, tetapi kerusakannya juga tidak terkendali. Mengapa? Sebab orangtuanya menanam, tetapi anaknya tidak tahu soal mangrove,” ujar Hendra Gunawan, ketua tim penyusun kurikulum PLH Tematik Mangrove.
Peneliti utama KLHK itu berharap sekolah mangrove terus meluas hingga kabupaten/kota lainnya di pesisir pantai. Apalagi laju abrasi terus terjadi. Dalam buku Mangrove Karangsong untuk Investasi Kehidupan yang diterbitkan PT Pertamina pada 2016 dinyatakan, 2.153 hektar lebih wilayah pesisir hilang karena abrasi.
Instrusi air laut juga telah mencapai lebih dari 17 kilometer. Pesisir Juntinyuat, Dadap, dan Tirtamaya menjadi contohnya. Bahkan, sawah petani juga lenyap dimakan abrasi. Padahal, Indramayu punya 144 km panjang garis pantai dengan masyarakat nelayan yang bergantung di dalamnya.
Mangrove sejak dulu akrab di pesisir Indramayu. Lebih dari 10 tahun lalu, luas mangrove mencapai 17.782 hektar. Namun, Badan Pusat Statistik Jabar mencatat, pada 2016 tersisa 12.706 hektar mangrove, terluas di Jabar. Sementara areal yang rusak seluas 9.191 hektar.
Alih fungsi lahan untuk tambak dan perumahan membuat mangrove terus dibabat. ”Puncaknya pada 1990-an saat budidaya udang windu naik daun. Harganya Rp 30.000 per kilogram,” ujar Makrus (48), warga Karangsong yang juga salah satu pendiri Pantai Lestari.
Pantai Lestari sejak 2009 secara bertahap membeli lahan desa 15 hektar untuk ditanami mangrove. ”Tujuannya, agar pesisir tidak beralih fungsi lagi. Pemdes Karangsong juga sudah membuat peraturan desa terkait kawasan perlindungan mangrove supaya pesisir tidak diperjualbelikan,” lanjutnya.
Kini, Karangsong tidak hanya menjadi penelitian mangrove bagi siswa, tetapi juga destinasi wisata. Menurut Makrus, setiap tahun, wisata Karangsong menyumbang lebih dari Rp 31 juta untuk pendapatan asli daerah Indramayu.
Melihat perkembangan sekolah mangrove, guru SDN 1 Pasekan itu berujar, ”Kekhawatiran mangrove besar ditebang sekarang sudah berkurang.”