Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan bangsa ini selalu aktual dan nyata tecermin dalam masyarakat, terutama saat perayaan hari raya keagamaan, seperti Idul Fitri.
Lihatlah penduduk Dusun Buneng, Desa Boro, Kecamatan Selorejo, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, seperti diberitakan harian ini. Meski berbeda keyakinan, tetapi mereka saling membantu dan menyemangati. Warga Buneng semarak mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, serta hari raya Waisak, yang perayaannya berdekatan, lewat spanduk yang terpasang pada rumah ibadat atau kediaman warga lainnya. Mereka juga bergotong royong (Kompas, 7/6/2019).
Kisah serupa diperlihatkan warga Kampung Sawah, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi, Jawa Barat. Saat warga Muslim beribadah, berlebaran, warga lain berjaga dan mendukungnya. Sebaliknya, saat perayaan Natal, warga Muslim yang membantu. Sikap warga berbeda agama, yang saling membantu dan melayani terjadi di Bali, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan hampir di seluruh wilayah Nusantara. Sekalipun berbeda-beda, tetapi mereka bersaudara dan bersatu padu.
Toleransi, yang berarti berbeda tetapi berhubungan dengan penuh, dipraktikkan penduduk negeri ini sejak lama. Bahkan, sebelum bangsa ini merdeka, seperti disebutkan dalam kitab Sutasoma karya Empu Tantular pada masa Majapahit, abad ke-14, yaitu Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa (berbeda-beda tetapi tetap satu, tak ada keraguan). Bahkan, jauh sebelum filsuf Inggris Jhon Locke (1632-1704) menulis buku mengenai toleransi, A Second Letter Concerning Tolerantion.
Namun, harus diakui, toleransi di negeri ini belum mapan. Masih saja terjadi konflik, bahkan kerusuhan, yang berangkat dari perbedaan antarwarga. Masih kerap terjadi konflik berbasis suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di masyarakat, apalagi saat terjadi kontestasi, seperti pemilu. Kondisi itu diperburuk dengan isu yang membelah rakyat, berita bohong (hoaks), serta provokasi dari elite atau warga.
Penelitian Pew Research Center tahun 2015 menunjukkan tingkat intoleransi masyarakat Indonesia, dari tahun ke tahun, terus meningkat. Indeks radikalisme tahun 2016 pada angka 43,6; menunjukkan Indonesia ada pada wilayah rentan.
Kajian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) memperlihatkan, pada Pemilu 2019, isu SARA dipakai untuk meraih dukungan dari rakyat. Padahal, dampak penggunaan isu SARA adalah jelas membelah rakyat.
Oleh sebab itu, toleransi yang terbangun dalam masyarakat secara madani, seperti di Dusun Buneng, Kampung Sawah, dan daerah lain harus terus dikabarkan. Digaungkan sehingga bisa menginspirasi warga lain dan tereplikasi.
Toleransi menjadi wajah bangsa ini. Membangun toleransi antarwarga bukanlah tanggung jawab pemerintah dan aparat, tetapi panggilan hakiki dari manusia untuk bekerja sama dengan manusia lain.
Presiden ke-44 Amerika Serikat Barack Obama, saat datang ke Indonesia, Juli 2017 pun, mengingatkan, toleransi harus terus diperjuangkan. Diupayakan terwujud dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya pada saat-saat tertentu.