Forum G-20 telah menyepakati usulan mekanisme baru pengenaan pajak pada perusahaan berbasis teknologi. Sebagai negara dengan potensi teknologi yang besar, Indonesia perlu menyiapkan langkah strategis untuk memanfaatkan peluang besar itu.
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Forum G-20 telah menyepakati usulan mekanisme baru pengenaan pajak pada perusahaan berbasis teknologi. Sebagai negara dengan potensi teknologi yang besar, Indonesia perlu menyiapkan langkah strategis untuk memanfaatkan peluang besar itu.
Sebelumnya, Minggu (9/6/2019), di Fukuoka, Jepang, pejabat keuangan dan moneter G-20 menyetujui mekanisme baru untuk aturan pajak perusahaan teknologi. Aturan itu akan menghentikan siasat dari perusahaan besar seperti Google atau Facebook yang membayar pajak sangat rendah ke negara tempat mereka beroperasi.
Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute Heru Sutadi mengatakan, selama ini perusahaan raksasa digital berbasis internet (OTT) hanya menyedot keuntungan di Indonesia. Sementara itu, mereka nyaris tidak berkontribusi kepada ekonomi nasional.
Oleh karena itu, keputusan aturan baru di G-20 yang akan membebankan pajak tinggi kepada perusahaan teknologi harus dimanfaatkan pemerintah. ”Ini sekaligus introspeksi bagi pemerintah. Ke depan, pemerintah harus lebih tegas mengatur mereka,” kata pengamat ekonomi digital itu, Senin, di Jakarta.
Menurut Heru, pemerintah perlu memaksa perusahaan tersebut berbadan usaha tetap. Perusahaan harus memiliki kantor dan transaksi yang berasal dari dalam negeri harus tercatat dalam laporan di Indonesia.
Untuk meningkatkan produk domestik bruto (PDB), Heru menyarankan pemerintah menyudahi posisi Jack Ma sebagai penasihat toko dagang elektronik atau e-dagang nasional.
”Saat ini, 90 persen barang yang dijual e-dagang adalah produk asing. Bagaimana PDB mau meningkat jika tidak ada keberpihakan strategi nasional dalam mengembangkan ekonomi digital berbasis kerakyatan yang rakyat dan usaha mikro kecil dan menengah terlibat penuh di dalamnya,” tuturnya.
Heru menambahkan, prospek besar pendapatan dari ekonomi digital harus diikuti dengan hadirnya kementerian yang khusus menukangi bidang tersebut. Hal ini agar pemerintah lebih fokus mengembangkan ekonomi digital.
”Dengan memaksimalkan ekonomi digital, peluang ekonomi kita bisa tumbuh hingga 7 persen. Jangan harap tumbuh sampai titik itu jika ekonomi digital tidak dibangun dengan baik,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda, menuturkan, perusahaan seperti Google atau Facebook merupakan perusahaan yang menjual jasa. Persoalan ini membuat pemerintah sulit mengenakan pajak karena transaksi perusahaan tersebut tidak terlihat secara gamblang, tidak seperti penjualan barang.
”Untuk itu, perlu ada pendefinisian ulang mengenai barang yang terkena pajak ataupun badan usahanya,” kata Huda.
Dengan memaksimalkan ekonomi digital, ekonomi Indonesia bisa tumbuh hingga 7 persen. Jangan harap tumbuh sampai titik itu jika ekonomi digital tidak dibangun dengan baik.
Indef melihat potensi pendapatan Indonesia sangat besar jika mampu mengambil pajak. Hal ini mengingat Indonesia masuk dalam empat besar pengguna internet di seluruh dunia.
”Dengan pendapatan total Facebook yang mencapai 55,83 miliar dollar AS, bisa dibayangkan potensi penerimaan pajak bagi negara-negara di mana Facebook sangat populer, termasuk di Indonesia. Jadi mereka harus dikejar pajaknya,” ucap Huda.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, tantangan perpajakan di Indonesia dalam era digital masih sangat besar. Dengan 260 juta populasi dan sekitar 170 juta pengguna internet, realisasi penerimaan perpajakan masih belum tecermin.
Saat ini, pemerintah memprioritaskan untuk mendefinisikan ulang bentuk usaha tetap (BUT). Pemerintah akan membuat formulasi kebijakan khususnya yang mengatur perhitungan kuantitatif terkait significant presence.
Di sisi lain, pemerintah juga fokus pada isu-isu lain terkait pengembangan ekonomi digital. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengucapkan, Indonesia mengedepankan pentingnya untuk tetap menghormati peraturan dan regulasi yang berlaku di suatu negara. Terutama terkait pergerakan arus data dan informasi perdagangan dalam mendukung pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.
”Penyimpanan dan pengamanan data strategis di dalam negeri adalah hal yang menjadi utama. Selain itu, kita juga perlu memberikan perhatian khusus kepada mereka yang rentan secara ekonomi, termasuk UMKM, sehingga perdagangan digital dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional yang inklusif,” lanjut Enggartiasto.