Pemerintah Kota Depok diminta mengantisipasi arus urbanisasi setelah Lebaran. Jangan sampai pendatang baru merusak ekosistem lingkungan, terutama di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/Aguido Adri
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Pemerintah Kota Depok diminta mengantisipasi arus urbanisasi setelah Lebaran. Jangan sampai pendatang baru merusak ekosistem lingkungan, terutama di Daerah Aliran Sungai Ciliwung.
Pengamat tata kota dari Universitas Indonesia, Hendricus Andy Simarmata, mengatakan, arus urbanisasi ke Depok adalah keniscayaan yang selalu terjadi setiap tahun seusai Lebaran. Untuk itu, Pemerintah Kota Depok perlu mengantisipasi dampak arus urbanisasi itu agar tidak merusak ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru atau sumber air.
Hal itu penting mengingat posisi Depok yang dilewati Sungai Ciliwung yang menjadikan kota itu sebagai penopang Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Selain itu, letak geografisnya yang berada di bagian tengah DAS Ciliwung membuat Depok berperan penting untuk menjaga ekosistem Sungai Ciliwung.
”Depok bagian dari sistem DAS. Pembangunan di kota ini tidak bisa semasif Jakarta. Ada ekosistem lingkungan yang harus dijaga,” kata Andy kepada Kompas, Minggu (9/6/2019).
Andy mengatakan, pemerintah kota harus memberikan alokasi lahan yang cukup untuk ruang terbuka hijau. Saat ini, porsi ruang terbuka hijau hanya sekitar 16 persen dari total luas wilayah.
Jumlah itu pun masih kurang dari ideal sesuai aturan, yakni 30 persen. ”Pemerintah harus memastikan betul ada alokasi lahan yang cukup untuk ruang terbuka hijau yang idealnya sesuai aturan, yakni 30 persen,” ujar Andy.
Selain ruang terbuka hijau, lanjutnya, pemerintah juga harus memastikan menjaga ruang terbuka biru. Jangan sampai karena kebutuhan pembangunan akibat arus urbanisasi, pembukaan ruang permukiman malah mengurangi ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru.
Sementara itu, pada Senin (10/6/2019), Wakil Wali Kota Depok Pradi Supriatna menegaskan, meski tidak ada larangan bagi pendatang baru datang dan tinggal di Depok, pemerintah tetap akan mengawasi pendatang baru. Caranya adalah dengan mendata mereka di setiap wilayah kecamatan.
”Pengawasan dan pendataan ini terkait pula dengan hunian warga, terutama di daerah bantaran Sungai Ciliwung. Tidak boleh ada warga yang membangun rumah semipermanen atau rumah ilegal di sana. Bantaran Sungai Ciliwung punya peran penting,” tutur Pradi.
Tidak hanya di bantaran Sungai Ciliwung, lanjutnya, pembangunan rumah di wilayah mana pun di Depok akan diawasi. ”Depok mulai sempit, ruang-ruang terbuka akan kita pertahankan meski ini bukan pekerjaan mudah,” ujar Pradi.
Pengawasan dan pendataan ini terkait pula dengan hunian warga, terutama di daerah bantaran Sungai Ciliwung. Tidak boleh ada warga yang membangun rumah semipermanen atau rumah ilegal di sana.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Depok Misbahul Munir menambahkan, pemerintah tidak membatasi warga datang dan tinggal di Depok. Namun, pemerintah akan mendata wilayah di kecamatan yang disinyalir banyak penduduk nonpermanen, antara lain Kecamatan Beji dan Pancoran.
Penduduk pendatang yang hanya tinggal sementara wajib membuat surat keterangan tempat tinggal yang diberikan kelurahan setempat. Surat tersebut berlaku enam bulan dan bisa diperpanjang.
”Jika warga tersebut sudah tinggal selama setahun dan berniat menetap di Depok, ia harus mengurus surat keterangan pindah dari daerah asal. Begitu pula pendatang yang ingin langsung menetap di Depok harus mengajukan surat keterangan pindah dari daerah asal,” katanya.
Misbahul menambahkan, hal ini merupakan salah satu upaya mengendalikan pendatang dengan sistem pendataan. Jika kedapatan warga yang tidak melapor, mereka harus membuat surat keterangan.
Aturan kependudukan itu merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, ada Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.
”Warga negara Indonesia dijamin dan memiliki hak untuk bergerak, tinggal, dan berpindah di mana pun daerah seluruh Indonesia. Kendati begitu, mereka perlu memperhatikan aturan tentang administrasi kependudukan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006,” ucapnya.
Landasan undang-undang itu, lanjut Misbahul, menjadi salah satu pegangan Pemerintah Kota Depok untuk mendata pendatang atau warga nonpermanen. Hal ini dilakukan salah satunya agar di Kota Depok tidak terjadi penumpukan penduduk di suatu wilayah. Penumpukan penduduk dapat memicu permukiman kumuh dan merusak ekosistem lingkungan.