Yohanes Siga Melawan HIV dari Desa
Usia boleh senja, tetapi aktivitas kemanusiaan tetap menyala. Prinsip itulah yang membuat Yohanes Siga (69) tak berhenti beraktivitas dan berjuang. Ia bergerak dari desa ke desa di Kabupaten Sikka memberikan penyuluhan tentang bahaya HIV/AIDS. Ia menginisiasi pembentukan kelompok warga peduli HIV/AIDS, dan mendorong penggunaan dana desa untuk menanggulangi penyebaran HIV. Prinsip kerjanya sederhana: semakin banyak kasus ditemukan, semakin terbatas penularan HIV di daerah itu.
Menurut data, pada hampir semua desa di Kabupaten Sikka sudah ditemukan kasus-kasus HIV. Seperti sudah diketahui sampai kini memang belum ada obat yang bisa membasmi virus HIV secara tuntas. Virus hanya bisa dihambat perkembangannya di dalam tubuh seseorang dengan mengonsumsi obat Antiretroviral atau ARV.
“Saya dorong semua warga Sikka termasuk pejabat di daerah ini untuk melakukan tes HIV. Kasus ini sudah 22 tahun hadir di NTT tetapi masih banyak pejabat takut melakukan tes HIV, apalagi masyarakat tingkat bawah. Mereka tentu jauh lebih takut, bila diajak tes HIV,” kata Yohanes Siga, Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Sikka, Nusa Tenggara Timur di Maumere, Sabtu (18/5/2019).
Yohanes Siga alias Yan mengatakan, jika warga dinyatakan positif terinveksi HIV segera mengonsumsi secara rutin suplemen ARV. Memang, obat ini tidak menyembuhkan tetapi dapat memperpanjang harapan hidup orang dengan HIV/AIDS (ODHA). Sejauh ODHA menaati semua nasihat dokter soal kesehatan, niscaya mereka bisa memperpanjang usia harapan hidupnya.
Membangun kesadaran masyarakat akan dampak HIV masih sulit. Stigma sebagai penyakit yang mematikan, kutukan, dan tidak ada obatnya, masih kuat melekat dalam pikiran warga. Stigma itu justru membuat warga enggan melakukan tes HIV. Mereka umumnya menyerah dan pasrah pada garis nasib; takut jika positif terinfeksi, mereka merasa terhina, tidak berguna hidup, dan takut disingkirkan dalam kehidupan sosial.
Padahal, sejauh ini sudah ribuan ODHA di Indonesia terbantu dengan penemuan ARV. Mereka juga tahu, ada ODHA di sekitar yang tengah mengonsumsi ARV secara rutin, dan melakukan aktivitas seperti biasa. Tetapi hal itu belum membangun kesadaran warga. Umumnya, kata Yan, warga masih takut menjadi bahan gosip masyarakat sekitar.
Yan kemudian bergerak dari desa ke desa untuk membentuk kelompok warga peduli HIV/AIDS (WPA). Berangkat pagi, pulang sore. Setiap pekan, sebanyak 5-6 desa ia kunjungi dengan jarak tempuh 15-50 kilometer dari Kota Maumere.
Lelaki menjelang usia 70 tahun ini, tak pernah merasa lelah. Padahal, rekan-rekan sesamanya di sekolah dasar dulu, kata Yan, sebagian sudah meninggal dunia. Di sisa hidup, ia ingin terus berbuat baik bagi sesama. Meski kadang menggunakan uang pribadi, Yan terus berjalan dari desa ke desa, "sekadar" membentuk kelompok WPA. Masih ada sekitar 100 desa di Sikka, yang belum memiliki kelompok WPA.
“Terkadang saya mengajak relawan ODHA dari Maumere untuk sosialisasi di desa-desa. Mereka memberi kesaksian mengapa terinveksi HIV, membagi pengalaman dalam keluarga dan sikap masyarakat terhadap ODHA saat ini,” kata Yan.
Di Kabupaten Sikka terdapat 160 desa, dan 60 desa di antaranya sudah memiliki WPA. Setiap WPA beranggotakan 10-20 orang. Tugas mereka melakukan pemantauan terhadap kesehatan warga desa. Jika ada warga yang memiliki riwayat penyakit menjurus pada HIV, segera dilaporkan ke petugas Puskesmas setempat.
Pengurus WPA
Setiap kelompok WPA dilengkapi dengan pengurus yang dibentuk oleh masing-masing desa. Sejauh ini setiap desa memiliki 1 -2 kelompok WPA. Anggota WPA bergabung secara sukarela, dan ingin bekerja secara sukarela pula. Mereka dibekali pengetahuan dasar tentang HIV/AIDS, cara penyebaran, cara mencegah, dan bagaimana cara mengatasi jika sudah tertular virus itu.
Yan mengatakan, KPAD Sikka mengelola dana Rp 500 juta termasuk honor lima staf. Dana ini untuk operasional, sosialisasi, transportasi, pengadaan sarana dan prasarana pendukung, dan kegiatan lain.
Ia terus membangun komunikasi dengan kelompok WPA dan aparatur desa. Jika ada pertemuan kelompok WPA di desa, atau musyawarah desa, Yan selalu menyempatkan diri hadir. Saat itulah, Yan menyampaikan pemikiran tentang WPA, HIV, dan dana desa yang bisa dimanfaatkan untuk penanggulangan penyebaran virus HIV di desa.
Setiap kelompok WPA mendapatkan dana Rp 2 juta dari dana desa, ditambah Rp 3 juta dari KPAD Sikka, sehingga total Rp 5 juta per tahun. Dana ini bisa dimanfaatkan WPA desa untuk melakukan sosialisasi pencegahan HIV, pelatihan kader WPA, memasangan spanduk kewaspadaan terhadap HIV/AIDS di desa, dan snack ringan saat pertemuan.
Menurut Yan, jumlah dana tersebut tidak mencukupi. Tetapi di desa-desa, sistem gotong-royong masih kuat. Saat pertemuan, masing-masing anggota WPA secara spontan membawa snak (pangan local), kopi, gula, dan teh untuk konsumsi bersama.
Pemanfaatan dana desa untuk penanggulangan HIV/AIDS sesuai peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 14/2018. Permendes ini dijabarkan melalui Peraturan Bupati Sikka Nomor 4/2016 tentang program prioritas desa, antara lain menanggulangi penyakit menular termasuk HIV/AIDS.
Kini, Yan masih bekerja keras bersama pendamping desa lain untuk membentuk kelompok WPA di 100 desa tersisa. Ia juga harus meyakinkan aparat desa agar bersedia menyisihkan dana desa untuk penanggulangan HIV/AIDS di desa masing-masing.
Jumlah kasus HIV/AIDS di Sikka sampai Desember 2018 sebanyak 754 kasus, di antaranya ibu rumah tangga sebanyak 174 orang, dan 200 orang telah meninggal dunia. ODHA yang sedang mengonsumsi ARV sebanyak 554 orang.
ODHA yang mengonsumsi ARV, masih aktif bekerja di ladang, kantor, kuliah, dan sebagai ibu rumah tangga. Bahkan ibu rumah tangga yang dinyatakan positif HIV, setelah konsumsi ARV mereka bisa hamil dan melahirkan anak dalam kondisi sehat (tanpa terjangkit virus HIV).
Berkat keberadaan WPA di desa-desa, kata Yan, sebagian masyarakat semakin sadar. Bahkan sebagian dari mereka memeriksa kesehatan dan berperilaku sehat. Setiap mantan TKI/TKW pulang ke desa itu, atau mahasiswa pulang dari liburan dan pekerja proyek di desa, mereka juga diajak melakukan tes HIV. Sejumlah kasus ditemui dari mereka yang baru saja menjadi TKI/TKW di luar negeri.
“Makin banyak kasus ditemukan, makin terbatas proses penularan virus kepada orang lain. Begitu dinyatakan positif, langsung diberi ARV. Dengan ini mereka juga tidak menyebarkan virus HIV kepada orang lain,” kata Yan.
Yohanes Siga
Lahir : Bajawa, 10 April 1950
Istri : Donata Nari
Anak –anak : -Vian Siga (42)
- Pastor Emanuel Natalis Pr (40)
- Mariana Domingga (39)
- Edwar Piere (37)
- Leo Agusta (30)