China Dukung RUU Ekstradisi
China mendukung penuh RUU ekstradisi Hong Kong meski menuai protes dari warga Hong Kong. Oposisi Hong Kong dituduh berkolusi dengan Barat untuk memprotes RUU itu.
HONG KONG, SENIN —Otoritas di Beijing tampaknya bergeming menghadapi protes besar di Hong Kong. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, mengatakan, pihaknya ”jelas akan tetap mendukung” Pemerintah Hong Kong.
”Kami menentang segala campur tangan pada proses legislatif Hong Kong,” kata Geng dalam sebuah jumpa pers, Senin (10/6/2019), di Beijing, China. Ia juga mengatakan, ”Sejumlah negara telah memberikan pernyataan tidak bertanggung jawab terkait undang-undang ini.”
Sebelumnya, media milik Pemerintah China mengecam penyelenggara protes itu karena telah ”berkolusi dengan Barat”, merujuk pada pertemuan tokoh oposisi dengan pejabat Amerika Serikat.
Koran edisi bahasa China, Global Times, yang nasionalis juga tidak menganggap penting peristiwa protes tersebut.
”Sangat penting bahwa sejumlah kekuatan internasional telah secara signifikan memperkuat interaksi mereka dengan oposisi Hong Kong dalam beberapa bulan terakhir,” tulis koran tersebut.
Pernyataan itu merujuk pada pertemuan beberapa tokoh oposisi Hong Kong dengan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan Ketua DPR AS Nancy Pelosi.
Mengikis HAM
Sebagaimana diberitakan, sehari sebelumnya, Minggu (9/6/2019), lebih dari 1 juta warga Hong Kong berunjuk rasa memenuhi jalan-jalan utama di kota itu. Mereka memprotes rancangan undang-undang ekstradisi. Protes itu digelar tiga hari sebelum DPR Hong Kong membahas pengesahan RUU itu. Pengunjuk rasa menilai ketentuan itu akan menghilangkan kebebasan dan menggantungkan pada belas kasihan sistem peradilan Beijing yang buram.
RUU itu memungkinkan ekstradisi dilakukan ke negara mana saja yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Hong Kong, termasuk China daratan.
Bagi para pendukungnya, RUU itu menyatakan, undang- undang ekstradisi diperlukan agar Hong Kong tidak menjadi surga persembunyian bagi buronan dari China daratan. Namun, undang-undang itu dikritik bisa menjadi instrumen bagi Beijing untuk mengejar siapa saja yang menentangnya.
Saat ini, Hong Kong membatasi ekstradisi hanya pada negara yang telah memiliki perjanjian ekstradisi atau kepada orang lain secara individual berdasarkan undang- undang yang disahkan sebelum 1997. China dikecualikan karena dinilai memiliki catatan buruk dalam hukum dan hak asasi manusia.
Protes warga Hong Kong tersebut merupakan bentuk kemarahan warga terbesar sejak penyerahan kembali Hong Kong kepada China pada tahun 1997.
Pimpinan eksekutif Hong Kong yang pro-Beijing, Carrie Lam, menyebut protes pada hari Minggu sebagai komitmen Pemerintah Hong Kong untuk melindungi kebebasan berpendapat warganya. Namun, ia tetap menolak membatalkan RUU ekstradisi.
Lam menyampaikan, RUU tersebut penting dan akan membantu Hong Kong menegakkan keadilan serta memenuhi kewajiban internasionalnya. Undang-undang itu juga dipastikan akan melindungi hak asasi manusia.
Lam juga menyangkal telah menerima perintah dari Pemerintah China. ”Saya tidak menerima instruksi atau mandat apa pun dari Beijing soal undang-undang ini,” ujarnya.
Dukungan
Media berbahasa Inggris, China Daily, menyebutkan, lebih dari 700.000 orang mendukung undang-undang ekstradisi melalui petisi daring. Ini menjadi kekuatan yang berseberangan pengunjuk rasa yang menurut polisi jumlahnya sekitar 240.000 orang.
”Sayangnya, sejumlah warga Hong Kong telah ditipu oposisi dan kekuatan asing sekutunya untuk mendukung kampanye antiekstradisi,” tulis koran yang dikelola oleh pemerintah itu.
Media-media di daratan China meredam peristiwa protes warga Hong Kong terhadap undang-undang ekstradisi. Media milik pemerintah juga mengabaikan kejadian itu dan tidak mengangkat berita tentang protes tersebut pada Minggu malam.
Kantor berita resmi berbahasa Inggris, Xinhua, mengulang-ulang sikap Pemerintah Hong Kong dalam menanggapi protes warga Hong Kong.
Pencarian berita tentang protes tersebut di aplikasi jejaring sosial, seperti Weibo, pun tidak membuahkan hasil.
Seorang pelajar di China mengatakan kepada AFP bahwa akun WeChat miliknya diblokir selama dua hari setelah mengunggah foto protes di Hong Kong dalam grup percakapan berisi tiga orang.
”Saya merasa tidak nyaman, ini pertama kali akun saya diblokir,” kata pelajar yang tidak ikut serta dalam protes tersebut.
Inggris menyerahkan kembalinya Hong Kong kepada China dalam formula ”satu negara dua sistem” yang menjamin otonomi dan kebebasannya, termasuk dijaminnya sistem keadilan yang independen.
Namun, para aktivis dan politisi oposisi di Hong Kong memperingatkan bahwa kebebasan mulai terkikis seiring dengan Beijing yang memperkuat cengkeramannya. Para penentang undang-undang itu berencana menggelar protes lagi pada Rabu mendatang.
(AFP/AP/REUTERS/ADH)