Industri Gula di Ujung Tanduk
Industri gula di Jawa Barat terancam tutup akibat kekurangan bahan baku. Salah satu penyebab adalah alih fungsi lahan. Selain itu, efisiensi dengan pengalihan pabrik juga membuat ongkos angkut meningkat sehingga petani enggan menanam tebu.
CIREBON, KOMPAS Industri gula di Jawa Barat berada di ujung tanduk. Areal tebu semakin menyusut. Pabrik gula yang menjadi tumpuan ribuan orang mulai tutup karena kekurangan bahan baku.
Berdasarkan penelusuran Kompas di sentra produksi gula di Kabupaten Cirebon, Majalengka, dan Subang, pada musim giling Juni 2019 pabrik gula dipastikan kekurangan tebu. Dari kebutuhan tebu 11,06 juta kuintal di tiga pabrik, diprediksi hanya tersedia 6,4 juta kuintal tebu. Pabrik gula (PG) itu adalah Sindanglaut dan Tersana Baru (Cirebon) serta Jatitujuh (Majalengka).
Minimnya bahan baku membuat PG Subang yang berkapasitas giling maksimal 2.800-3.000 ton tebu per hari itu tak lagi beroperasi tahun lalu. Pabrik yang beroperasi pada 1984 itu merupakan pabrik kelima milik PG Rajawali II, grup PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero), yang tutup di Jabar sejak 1990-an. Sebelumnya, ada delapan pabrik gula di Jabar.
Di musim tanam 2013-2014, produksi gula kristal 82.832 ton. Namun, pada musim tanam 2017-2018, produksi anjlok tinggal 51.328 ton. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada 2017, Jabar menjadi produsen gula terbesar kelima di Indonesia dengan kontribusi 3,76 persen dari 2,19 juta ton gula. Jawa Timur menjadi produsen terbesar dengan kontribusi 52,34 persen.
Lahan tebu susut
Menurut Direktur Utama PG Rajawali II Audry H Jolly, kesulitan mendapat tebu dipengaruhi antara lain faktor penyusutan lahan dan sengketa tanah di Jatitujuh. Berdasarkan data PG Rajawali II, pada 2013, lahan yang memasok tebu 23.222 hektar.
Namun, tahun lalu, luas areal tebu anjlok hampir dua kali lipat, yakni 12.628 hektar. Pabrik terpaksa mencari tebu ke Kuningan (Jabar) dan Brebes (Jawa Tengah). Akibatnya, ongkos angkut bertambah.
Penurunan luas areal tebu bakal terus terjadi seiring penetapan kawasan industri di Cirebon. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 7 Tahun 2018 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun 2018-2038, pemerintah setempat menyiapkan 10.000 hektar lahan industri.
Jumlah itu melonjak dibandingkan dengan Perda Kabupaten Cirebon No 17/2011 tentang RTRW 2011-2031 dengan kawasan industri 2.000 hektar. RTRW baru tidak lagi mengatur lahan tebu, hanya menyebut areal perkebunan 3.000 hektar. Dalam RTRW lama, luas lahan tebu mencapai 8.000 hektar.
”Ini sama saja merekomendasikan dua pabrik gula di Cirebon tutup. Kebutuhan areal tebu minimal 8.000 hektar. Di lapangan, kami akan mencari tebu sebanyak-banyaknya. Kami sudah memprotes ini ke pemerintah daerah,” ujar Jolly.
Kepala Seksi Tanaman Semusim Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Lina Dwi mengatakan, lahan perkebunan 3.000 hektar dalam RTRW baru merupakan areal minimal tebu. ”Petani bisa menanam lebih dari itu. Saat ini, luas lahan tebu di Cirebon sekitar 4.000 hektar. Selain alih fungsi lahan, petani juga alih komoditas,” ujarnya.
Efisiensi
Kekurangan bahan baku menuntut efisiensi pabrik. Saat akhir giling tahun lalu, produksi PG Sindanglaut dihentikan sementara, tebu dialihkan ke PG Tersana Baru. Alasannya, tebu yang tersedia cukup digiling di satu pabrik.
Menurut Jolly, jika dipaksakan giling di dua pabrik, biaya operasional bertambah. Tebu akan ditampung lebih lama untuk menunggu jumlahnya cukup untuk digiling. Hal ini akan berpengaruh pada rendemen tebu. Tebu harus segera digiling maksimal 36 jam setelah tebang. ”Kalau satu pabrik saja beroperasi, ada efisiensi hingga 50 persen biaya,” ujarnya.
Menurut Jolly, efisiensi itu menguntungkan secara bisnis dan membantu petani karena rendemen stabil, tidak harus menunggu lama.
Menurut Kobul Rohendi (46), petani tebu di Subang, kebijakan itu menambah beban ongkos angkut tebu. Setelah PG Subang tak beroperasi, ia merogoh kocek hingga Rp 137.000 per ton untuk biaya angkut tebu ke PG Jatitujuh, sekitar 89 kilometer dari PG Subang.
”Ongkos angkut ke PG Subang hanya Rp 20.000-Rp 27.000 per ton,” ujarnya. Mae Azhar (35), petani tebu di Cirebon, mengingatkan, penutupan pabrik tidak serta-merta menambah luas areal tebu.
Dia mencontohkan, saat PG Karangsuwung di Cirebon ditutup pada 2014 dan mengalihkan giling tebu ke PG Sindanglaut, potensi areal tebu lebih dari 4.000 hektar. Saat ini, areal untuk PG Sindanglaut tinggal 3.000 hektar.
”Kalau pabrik gula ditutup lagi, petani bisa enggak menanam tebu. Pabrik harus evaluasi,” kata Azhar. (IKI/MEL)