Kapasitas Jakarta Terbatas, Pendatang Baru Perlu Dibatasi
Pengamat tata kota menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat ini tidak membatasi jumlah pendatang baru di Jakarta. Mereka berpendapat, kota bagaimanapun, memiliki kapasitas atau daya tampung yang terbatas. Selain itu, jumlah pendatang yang berlebihan dapat meningkatkan jumlah penganggur dan kerawanan sosial.
Oleh
Ayu Pratiwi
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengamat tata kota menyayangkan kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang saat ini tidak membatasi jumlah pendatang baru di Jakarta. Mereka berpendapat, kota bagaimanapun, memiliki kapasitas atau daya tampung yang terbatas. Selain itu, jumlah pendatang yang berlebihan dapat meningkatkan jumlah penganggur dan kerawanan sosial.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Joga, berpendapat bahwa Pemprov DKI Jakarta semestinya mempertahankan kebijakan pemerintah sebelumnya, yang salah satunya mensyaratkan agar pendatang memiliki keterampilan atau pekerjaan tetap dan tinggal di rumah di lahan legal. Pendatang yang tidak jelas akan ditampung dan dipulangkan ke daerah asalnya.
Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan tidak melakukan pembatasan atau pelarangan atas kedatangan orang. ”Jadi, bedanya (dengan pemda lain), kami tidak melakukan operasi penangkapan-penangkapan karena memang tidak perlu ada yang ditangkap. Semuanya warga negara Indonesia (WNI) yang berhak untuk bergerak ke mana saja selama mereka berada di wilayah Indonesia,” tutur Anies (Kompas, 11/6/2019).
Tahun ini, persyaratan pendatang baru untuk menetap di Jakarta bisa dikatakan lebih longgar dibandingkan dengan sebelumnya. Syarat itu adalah memiliki surat keterangan pindah dari daerah asal, surat pernyataan jaminan tempat tinggal, surat pengantar RT/RW, dan melapor ke kantor lurah daerah tujuan.
Menurut Nirwono, kebijakan Pemprov DKI Jakarta dalam menangani pendatang baru saat ini merupakan sebuah kemunduran. ”Bagaimanapun, kota punya kapasitas dan daya tampung yang terbatas,” katanya ketika dihubungi di Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Ia berharap Jakarta bisa bersikap lebih tegas dalam membatasi jumlah pendatang baru dan mensyaratkan agar pendatang baru itu memiliki keahlian atau keterampilan atau memiliki sertifikat atau ijazah pendidikan yang jelas.
Selain itu, pemerintah pusat juga perlu bertindak tegas kepada pemerintah daerah asal para pendatang agar mau mengurus pendatang yang terpaksa mengemis di Jakarta karena tidak menemukan pekerjaan.
”Jangan hanya dibebankan kepada Jakarta saja. Pemerintah daerah asal pendatang juga harus turut bertanggung jawab,” ucap Nirwono.
Secara terpisah, pandangan serupa juga disampaikan oleh pengamat kebijakan publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah. Menurut dia, Pemprov DKI Jakarta seharusnya memiliki kebijakan yang memfilter pendatang baru. China, misalnya, memiliki kebijakan untuk membatasi jumlah pendatang baru di kota-kotanya demi mencegah kota menjadi terlalu sesak serta menurunkan polusi.
”Pendatang baru yang tidak punya keterampilan menjadi masalah. Mereka kemungkinan besar nganggur dan tidak punya tempat tinggal sehingga muncul kerawanan sosial atau PMKS (penyandang masalah kesejahteraan sosial), seperti pengemis atau tunawisma,” tutur Trubus.
Ia meyakinkan, keberadaan pendatang baru yang memiliki keterampilan dapat membawa pengaruh positif terhadap kota. Berkat mereka, tenaga kerja banyak tersedia sehingga proyek pembangunan ataupun aktivitas di industri lain, seperti di bidang jasa, dapat berjalan.
Naik setiap tahun
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta memprediksi, pada 2019, jumlah pendatang baru di Jakarta sebanyak 73.183 orang. Sejak 2013, jumlah pendatang baru rata-rata naik 6,86 persen setiap tahun.
”Kenaikan pendatang baru ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan di perkotaan, seperti masalah lahan, sosial, kesehatan, pendidikan, tenaga kerja, permukiman atau tempat tinggal, layanan publik, serta daya dukung dan daya tampung lingkungan. Persoalan ini harus diantisipasi guna membangun DKI Jakarta sebagai kota yang benar-benar layak huni,” demikian tertulis dalam dokumen presentasi dari Disdukcapil DKI Jakarta bertajuk ”Upaya Pengendalian Mobilitas Penduduk Pasca-Arus Balik Hari Raya Idul 1440 H/2019”.
Berdasarkan hasil registrasi penduduk pada 2018, pendatang baru datang ke Jakarta setelah Idul Fitri untuk alasan pekerjaan (33 persen), mencari kerja (22 persen), ikut keluarga (21 persen), sekolah (18 persen), dan lainnya (6 persen).
Sebagian besar pendatang baru di Jakarta pada 2018 berasal dari Jawa Barat (39 persen), Jawa Tengah (20 persen), Banten (14 persen), Jawa Timur (6 persen), Sumatera Utara (6 persen), Lampung (4 persen), dan Sumatera Barat (4 persen).
Melebihi kapasitas
Menurut Trubus, Jakarta yang jumlah penduduknya, hingga 31 Desember 2018, sebesar 10.851.607 orang, berdasarkan Disdukcapil DKI Jakarta, sudah dalam kondisi overkapasitas. Ditambah lagi, sehari-hari ada ratusan ribu warga dari Bodetabek yang datang ke Jakarta untuk bekerja.
”Idealnya jumlah penduduk di Jakarta jangan lebih dari 10 juta orang. Sebagai perbandingan, Singapura yang luas areanya hampir sama dengan Jakarta memiliki jumlah penduduk sekitar 5,5 juta orang,” ucap Trubus.
Nirwono menambahkan, untuk menangani kepadatan penduduk, penataan kota di Jakarta harus dilakukan secara merata sehingga daya tampungnya dapat ditingkatkan. ”Kepadatan hanya terjadi di beberapa titik. Penataan kota belum dilakukan secara berimbang sehingga muncul tempat kumuh. Kalau dibangun rumah susun, tingkat kepadatan berkurang. Kawasan menjadi lebih lega dan lingkungan lebih sehat,” katanya.