Belasan kontainer berisi sampah dan limbah berbahaya serta beracun siap diekspor kembali ke negara asal. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut sampah impor itu masuk secara ilegal.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah menyiapkan pengembalian belasan kontainer berisi sampah dan limbah bahan beracun berbahaya di Batam dan Surabaya ke negara asal. Pengembalian ini dilakukan untuk menegaskan Indonesia bukan tujuan pembuangan sampah dan limbah.
Ada 11 kontainer di Pelabuhan Batam dalam proses penyiapan untuk re-export atau diekspor kembali. Dua diantaranya telah dibuka dan didapati limbah bahan beracun dan berbahaya. Limbah ini dicampur dengan cacahan plastik bekas sebagai bahan baku industri daur ulang.
Di Surabaya, lima kontainer juga siap diekspor kembali. Di dalamnya, ada cacahan kertas bekas sebagai bahan baku industri daur ulang yang bercampur sampah rumah tangga seperti popok bekas, sepatu, serta kemasan kimia dan oli.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Senin (10/6/2019), di Jakarta, mengatakan sampah impor tersebut masuk ke Indonesia secara ilegal. Aturan di Indonesia melarang impor sampah. “Maka, akan dilakukan re-export,” kata dia.
Siti Nurbaya mengatakan ekspor kembali kontainer berisi ikutan sampah ini bukan pertama kali. Pada 2015 dan 2016, pihaknya pernah mengembalikan 40-an kontainer ke negara asal.
Ia mengingatkan Konvensi Basel memasukkan perdagangan sampah plastik pada sistem notifikasi antarnegara. Artinya, negara eksportir harus memberitahukan isi barang ke negara tujuan. Maka, perdagangan “sampah plastik” tak hanya urusan bisnis antarperusahaan, tetapi melibatkan urusan antarpemerintah.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) merekomendasikan Kementerian Perdagangan merevisi Peraturan Mendag Nomor 31 tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun. Poin revisi adalah mengubah HS Code berisi kata “lain-lain” menjadi lebih spesifik. Kata “lain-lain” ini diduga menjadi jalan masuk bagi jenis sampah itu.
Menurut Siti, tiap sektor memiliki argumen sendiri-sendiri mengenai definisi pada HS Code. “Jangan ada ruang (sampah luar negeri) bisa masuk (ke Indonesia). Kalau HS Code berbunyi lain-lain, jenis sampah itu bisa masuk,” katanya.
Terkontaminasi
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya KLHK, Rosa Vivien Ratnawati, mengatakan re-export dilakukan karena aktivitas impor di Batam melanggar PP 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, serta Konvensi Basel. Pengujian oleh Bea dan Cukai, menurut dia, menunjukkan cacahan plastik terkontaminasi bahan pencemar.
Pengujian laboratorium memperlihatkan sampel pertama dan kedua mengandung antara lain timbal, arsenik, dan zink. Sampel ketiga mengandung pengotor iron compound dan aluminium compund. Adapun sampel keempat mengandung antara lain pengotor iron compound dan sulfur compound.
Pengujian oleh Bea dan Cukai, menurut dia, menunjukkan cacahan plastik terkontaminasi bahan pencemar.
Dalam kasus di Surabaya, regulasi yang dilanggar, menurut Rosa Vivien, ialah UU 18/2008 tentang Pengelolaan Sampah. Maka, pada kasus di Batam dan Surabaya, aparat Ditjen Penegakan Hukum KLHK juga diturunkan.
Ia mengatakan, impor bahan material daur ulang harus dilakukan industri pengolahnya. Porsi bahan material daur ulang maksimal 50 persen dari seluruh material yang diolah. Sisanya berasal dari pasokan lokal. Bahan material ini harus dalam keadaan dicacah, bersih, dan siap olah dengan residu minim.
Prigi Arisandi dari Yayasan Ecoton di Jawa Timur mengatakan, penelusurannya pada Februari 2019 menemukan pembuangan sampah dan penimbunan sampah rumah tangga berupa kotoran dari 11 pabrik kertas di Daerah Aliran Sungai Brantas. Selain itu, pada buangan limbah cair di 12 industri kertas di daerah aliran sungai Brantas, ditemukan serpihan mikroplastik berbentuk fiber, fragmen, dan lembaran.
Dalam proses produksi, 12 pabrik kertas itu menggunakan bahan baku kertas bekas impor bercampur sampah plastik. Industri- industri tersebut membuang plastik dalam bentuk cacahan dan plastik sampah, seperti botol minuman, kemasan, dan popok.
12 pabrik kertas itu menggunakan bahan baku kertas bekas impor bercampur sampah plastik.
Ia memiliki bukti dokumen impor maupun informasi dari kemasan bahwa sampah rumah tangga itu berasal dari Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris.
Prigi mendesak agar Kementerian Perdagangan melakukan penertiban dan pengawasan kepada 12 industri kertas di Jawa Timur tersebut dan memberi peringatan kepada negara eksportir untuk tak mencampur sampah plastik dan kotoran rumah tangga material daur ulang kertas yang diekspor ke Indonesia.
Ecoton mendesak perusahaan surveyor mengecek material bahan material kertas di negara asal dengan sungguh-sungguh agar tak terkontaminasi dengan berbagai sampah rumah tangga.
Surveyor perlu memasukkan informasi temuan kontaminan sampah yang mengotori bahan impor.