Menghitung Sampah Plastik
Apa yang lebih dekat dengan manusia modern selain gawai atau gadget? Sulit diakui, tetapi bisa jadi jawabannya adalah plastik, terutama berasal dari kemasan makanan dan minuman yang menjadi sampah plastik yang kita produksi sehari-hari. Apalagi pada bulan Ramadhan yang baru sepekan berlalu, hampir tidak ada jajanan takjil yang tidak menggunakan plastik sebagai pembungkus.
Dari segelas es buah saja setidaknya terdapat empat item plastik, yaitu gelas, penutup gelas, sendok, dan tas keresek untuk membungkus semuanya. Setelah disantap, keempat plastik es buah dan plastik dari jajanan lainnya dibuang. Tak pelak, satu orang bisa membuang lebih dari lima kemasan plastik sekali pakai dalam kurun waktu kurang dari satu jam.
Dalam jangka waktu yang lebih panjang, kita juga memproduksi sampah dari wadah-wadah perlengkapan mandi, rumah tangga, bahkan baju kita sedikitnya juga terdiri dari polimer plastik, yaitu poliester. Jarak kita dengan plastik pun hanya berbatas kulit.
Akumulasi sampah plastik
Tak ayal, sampah plastik makin merangsek ke ruang hidup kita. Indonesia disebut sebagai produsen sampah plastik kedua terbesar setelah China, menurut McKinsey and Co and Ocean Conservancy.
Setiap hari, produksi sampah plastik di Indonesia mencapai 175.000 ton (Kompas, 10 Maret 2019). Dengan jumlah tersebut, dalam satu tahun sampah plastik di Indonesia mencapai 63,9 juta ton. Bagaimana kita membayangkan jumlah tersebut? Seberapa besar 63,9 juta ton sampah plastik? Mari berhitung.
Menurut McKinsey and Co and Ocean Conservancy, Indonesia disebut sebagai produsen sampah plastik kedua terbesar setelah China.
Sampah plastik terdiri dari bermacam plastik sekali pakai, seperti tas keresek, sedotan, botol minum, dan kemasan makanan. Untuk mempermudah penghitungan volume, digunakan massa jenis polyethylene dengan rentang 0,91-0,97 g/mL. Polyethylene merupakan polimer yang paling sering digunakan untuk membuat kemasan plastik.
Dengan asumsi massa jenis 0,91 g/mL, volume sampah satu tahun di Indonesia adalah 70,2 juta meter kubik. Jika sampah ini ditumpuk hingga ketinggian 5 meter, sampah plastik orang Indonesia membutuhkan lokasi seluas 1.404 hektar. Jika produksi sampah plastik terus sama setiap tahun, sampah plastik akan seluas wilayah Provinsi DKI Jakarta pada 2066.
Lalu bagaimana dengan Jakarta sendiri? Sebagai kota terpadat dengan 15.600 jiwa/km², Jakarta menyumbang 7.000-8.000 ton sampah per hari. Menurut catatan Kompas, 21 Mei 2019, sebanyak 20 persennya merupakan sampah plastik.
Mengambil rata-rata sebanyak 7,5 ton, maka jumlah sampah plastik warga Kota Jakarta adalah 1.500 ton per hari. Jika diakumulasikan, terdapat 547.500 ton sampah plastik dalam satu tahun. Dengan asumsi yang sama, volume sampah dalam satu tahun mencapai 564.400 meter kubik dan akan membutuhkan lahan seluas 11,3 hektar atau setara dengan 17 lapangan sepak bola standar internasional.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui intermediate treatment facility (ITF) yang dibangun di atas lahan seluas 3,05 hektar di Sunter, Jakarta Utara, optimistis dapat mengolah 2.200 ton sampah per hari. Sampah yang diolah diubah menjadi panas yang menghasilkan tenaga listrik 35 megawatt per jam. Sayangnya, ITF menjadi proyek seumur hidup yang tak kunjung beroperasi.
Baca juga: Kaum Urban Mengurangi Sampah
Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPSP) Bantargebang sebagai lokasi akhir sampah warga DKI Jakarta seluas 110,3 hektar sejak 1989 dianggap sudah hampir tidak mampu lagi menerima sampah. Sejumlah pemberitaan menyebutkan, TPST Bantar Gebang hanya mampu menampung sampah lima tahun lagi. Lalu apa pentingnya memikirkan sampah plastik? Toh, lahan di Indonesia begitu luas dan plastik bisa didaur ulang?
Sayangnya, tidak semua plastik dapat didaur ulang. Dalam artikel ”Production, Use, and Fate of All Plastics Ever Made” yang diterbitkan jurnal Science Advances pada 19 Juli 2017 disebutkan, hanya 9,5 persen sampah plastik yang dapat didaur ulang. Mengikuti riset ini, berarti hanya 6,1 juta ton sampah yang bisa diolah atau setara dengan 35 hari masyarakat Indonesia tidak membuang sampah plastik.
Selain sulit untuk didaur ulang, plastik juga memiliki kemampuan yang luar biasa untuk bertahan. Ungkapan satire ini didukung sejumlah contoh menarik. Sri Utami (50), seorang ibu rumah tangga, menemukan plastik keresek yang ia gunakan untuk membungkus dokumen ijazah SD anaknya yang kini telah berusia 25 tahun.
Berita tentang plastik juga sempat viral di media sosial ketika akun Twitter @selfeeani pada Sabtu (6/4/2019) mengunggah foto kemasan plastik mi instan yang bertuliskan ”Dirgahayu 55 Tahun Indonesiaku”. Diduga, kemasan ini telah berusia 19 tahun. Dengan usia selama itu, kemasannya masih terlihat utuh. Dalam tiga hari, unggahan itu mendapat 72.000 retweet dan 38.000 tanda like.
Potret publik
Kondisi sampah plastik dapat diperbaiki mulai dari menekan penggunaan plastik sekali pakai dalam rumah tangga. Upaya ini dapat dimulai dalam kehidupan sehari-hari, seperti menggunakan substitusi kantong keresek dengan kantong ramah lingkungan yang bisa digunakan berkali-kali.
Menurut hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 15-16 Mei 2019, sebanyak 69 persen responden menyatakan ada tas jenis lain yang lebih nyaman digunakan selain tas plastik. Sebanyak 32,9 persen responden nyaman berbelanja menggunakan tas kain, 12,1 persen dengan tas rotan, dan 11,3 dengan tas kertas. Sejumlah 10,8 persen publik bahkan menyatakan akan menggunakan tas apa pun yang sedang dibawa untuk memasukkan belanjaan.
Meskipun dalam praktiknya mereka belum bisa meninggalkan plastik, hampir seluruhnya (93 persen) menyatakan khawatir terhadap persoalan sampah plastik.
Di Indonesia, geliat kampanye diet plastik ditandai sejak ditemukannya paus sperma yang mati karena pencernaannya dipenuhi dengan sampah plastik. Paus tersebut ditemukan terdampar di pantai barat Pulau Kapota, Wangi-Wangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, Minggu (18/11/2018).
Sejak saat itu, media ramai mempromosikan gaya hidup bebas plastik, seperti membawa wadah sendiri saat membeli makanan atau minuman dan mengurangi penggunaan sedotan. Sebanyak 64,1 persen publik menyatakan mengikuti kampanye pengurangan plastik melalui pemberitaan.
Hal ini pun berdampak pada konsumsi plastik rumah tangga. Dalam kurun waktu seminggu, 8-15 Mei 2019, sebanyak 42,5 persen publik menyatakan penggunaan plastik sekali pakai di rumahnya berkurang. Jumlah ini cukup memunculkan optimisme di tengah ketergantungan kita pada plastik.
Meski demikian, proporsi responden yang memiliki ketergantungan pada plastik ini masih tinggi juga. Mereka merupakan bagian dari 33,1 persen responden yang menyatakan tidak bisa lepas dari penggunaan plastik sekali pakai.
Meskipun dalam praktiknya mereka belum bisa meninggalkan plastik, hampir seluruhnya (93 persen) menyatakan khawatir terhadap persoalan sampah plastik. Sampah plastik harus dikurangi dari sisi konsumsi dan tidak hanya mengandalkan pengolahan setelah pembuangan.
Salah satu penggambaran Bumi di masa depan dengan kondisi sampah yang buruk tampak dalam film komedi-distopian Amerika, Idiocracy (2006). Dari situ terlihat bahwa jarak antara manusia dan sampah sudah tidak lagi ada. Manusia hidup bersama sampah. Demikian juga perilaku manusia saat itu tidak lebih baik dari sampah. Itukah masa depan kita? (LITBANG KOMPAS)