JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi (MK) telah meregistrasi gugatan perselisihan hasil pemilihan umum yang diajukan pasangan calon presiden-calon wakil presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Berkas permohonan itu yang diregistrasi itu merupakan berkas yang diajukan pertama kali oleh tim hukum Prabowo-Sandi pada 24 Mei 2019.
Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK Fajar Laksono Soeroso, Selasa (11/6/2019) di Jakarta, mengatakan, permohonan Prabowo-Sandi tercatat di buku registrasi perkara konstitusi (BRPK) dengan nomor perkara 01/PHPU-PRES/XVII/2019, Selasa pukul 12.30 WIB.
Selain BRPK, MK juga telah mengirimkan akta registrasi perkara konstitusi (ARPK) kepada pemohon secara digital. ARPK merupakan bukti dan penanda bahwa permohonan pemohon telah diregistrasi menjadi perkara. Nantinya perkara tersebut akan diperiksa dan disidangkan hingga akhirnya diputuskan.
Salinan permohonan itu kemudian disampaikan dan dikirim kepada pihak-pihak terkait seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma\'ruf Amin.
Menurut Fajar, berkas permohonan yang diregistrasi merupakan berkas yang diajukan pertama kali oleh tim hukum Prabowo-Sandi pada 24 Mei 2019 lalu. Sementara terkait tambahan dokumen atau materi gugatan hanya menjadi lampiran dalam berkas yang diregister.
Setelah itu, MK kemudian menindaklanjuti gugatan dengan melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan atau sidang perdana pada Jumat (14/6). Sidang dengan agenda pemeriksaan saksi dan alat bukti dilakukan MK pada 17-21 Juni 2019 dan sidang terakhir digelar pada 24 Juni. Pada 28 Juni nanti, MK akan memutuskan sengketa Pilpres 2019.
Tim hukum Prabowo-Sandi yang diwakili Denny Indrayana kembali melengkapi berkas alat bukti ke MK, Selasa ini. Namun, Denny enggan menyampaikan secara detail tambahan alat bukti apa yang disampaikan tim hukum Prabowo-Sandi.
Pada Senin (10/6), Ketua Tim Hukum Prabowo-Sandi, Bambang Widjojanto, juga menyerahkan perbaikan permohonan dan daftar alat bukti PHPU. Perbaikan permohonan yang disampaikan Bambang yakni terkait posisi Ma’ruf Amin yang masih menjabat salah satu jabatan di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yakni Bank Syariah Mandiri dan BNI Syariah.
Bambang menilai, Ma\'ruf Amin melanggar ketentuan Pasal 227 Huruf P, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Peraturan ini menyatakan, seorang bakal capres dan cawapres harus menandatangani informasi atau keterangan tidak boleh lagi menjabat suatu jabatan tertentu saat sudah mencalonkan diri.
Tanggapan TKN
Wakil Ketua Tim Hukum Jokowi-Amin, Arsul Sani, menegaskan, Ma\'ruf Amin tidak melanggar ketentuan Pasal 227 Puruf P pada UU Pemilu. Arsul juga menilai, tim hukum Prabowo-Sandi belum sepenuhnya memahami ketentuan dari UU Pemilu dan UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Pasal 1 UU BUMN menjelaskan, BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya berasal dari penyertaan langsung negara melalui kekayaan negara yang dipisahkan. Asrul mengatakan, Bank Syariah Mandiri (BSM) dan BNI Syariah bukanlah BUMN sebagaimana didefinisikan dalam pasal tersebut.
“Pemegang saham BSM adalah PT Bank Mandiri dan PT Mandiri Sekuritas, sedangkan pemegang saham BNI Syariah adalah PT Bank BNI dan PT BNI Life Insurance. Jadi tidak ada penyertaan modal negara secara langsung,” katanya.
Anggota KPU Hasyim Asyari menyatakan, Ma\'ruf Amin tetap memenuhi syarat sebagai cawapres pada Pilpres 2019. Hal ini ditegaskan KPU saat melakukan verifikasi proses pencalonan capres-cawapres dan menyatakan bahwa Ma\'ruf bukan termasuk pejabat BUMN, melainkan hanya di anak perusahaannya saja.
“KPU meyakini bahwa berdasarkan verifikasi, lembaga itu (yang dijabat Ma\'ruf) bukan BUMN sehingga Ma\'ruf Amin dinyatakan tetap memenuhi syarat sebagai cawapres. Kalau menjabat di anak perusahaan BUMN, tidak ada kewajiban calon untuk mundur, yang berkewajiban mundur adalah pejabat atau pegawai BUMN,” ungkapnya.