Sejak setahun lalu, Pabrik Gula Subang, Jawa Barat, tak lagi beroperasi. Padahal, pabrik itu menjadi tumpuan hidup ribuan petani, karyawan, pedagang, dan buruh angkut. Tutupnya pabrik gula itu tidak hanya berdampak pada sektor ekonomi, tetapi juga melenyapkan sebagian tradisi setempat.
Ujang Kasdin (45), yang lebih dari 20 tahun menjadi buruh angkut gula di sana, terpukul dengan penutupan pabrik itu. Saat pabrik masih menggiling tebu, Mei-Oktober, bapak dua anak itu dikontrak dengan upah Rp 47.000 per hari. Saat kontraknya selesai, tenaganya masih dipakai pedagang untuk mengangkut gula dari gudang ke truk dengan pendapatan minimal Rp 50.000 per hari. Dari hasil keringatnya, Ujang mampu menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi.
Kini, untuk memenuhi kebutuhan hidup, Ujang bekerja serabutan sebagai kuli bangunan. Upahnya, Rp 50.000-Rp 100.000 per hari, tak menentu. ”Dalam seminggu, bisa hanya dua hari kerja. Selebihnya menganggur,” ucapnya saat ditemui di rumahnya di Desa Pasirmuncang, Kecamatan Cikaum, Kabupaten Subang, pekan lalu.
Nenti (45), pemilik warung kelontong, sekitar 2 kilometer dari PG Subang, juga terimbas penutupan pabrik. Saat pabrik beroperasi, ia meraup Rp 400.000 per hari. Buruh dan pekerja pabrik menjadi pelanggan utama di warungnya. ”Sekarang, sehari hanya dapat Rp 100.000,” ujar Nenti.
Kobul Rohendi (46), petani tebu di Desa Cikaum Barat, Kecamatan Cikaum, juga pernah merasakan manisnya usaha gula. Lima tahun menjadi sopir mobil pengangkut tebu, ia menjelma menjadi petani tebu dalam 20 tahun terakhir. Hasilnya lumayan. ”Saya dan keluarga umrah dua kali,” ucapnya.
Tumbang
PG Subang dibangun pada 1981 dan mulai giling tahun 1984. Dibandingkan dengan tujuh pabrik gula lain di Jabar yang dibangun pada masa kolonial, PG Subang paling muda. Namun, pabrik berkapasitas giling 2.800-3.000 ton tebu per hari ini malah lebih dulu tutup. Pemicunya, kebutuhan 4,2 juta kuintal tebu hanya terpenuhi 2,7 juta kuintal tebu.
Jika dipaksakan giling, biaya operasional tinggi dan pabrik merugi. Rontoknya PG Subang menyusul ”saudara tuanya”, PG Gempol di Cirebon yang tutup pada 1995 dan PG Karangsuwung (Cirebon) yang tutup pada 2014. PG Jatiwangi juga tutup tahun 1998 dan PG Kadipaten dua tahun berikutnya. Keduanya ada di Kabupaten Majalengka. Kini, tersisa PG Tersana Baru dan PG Sindanglaut di Cirebon serta PG Jatitujuh dengan kondisi terengah-engah.
Luas lahan tebu pun terus menyusut. Tahun lalu, luas lahan tebu PG Rajawali 12.628 hektar. Padahal, pada 2013, areal tebu mencapai 23.222 hektar. Jika 1 hektar membutuhkan tujuh buruh tani, dalam rentang waktu itu, lebih dari 74.000 petani kehilangan pekerjaan. Ini belum termasuk sopir hingga pedagang dalam rantai perdagangan tebu.
H Rasma Mo (64), tokoh petani tebu Cirebon, mengakui, menanam tebu tak lagi menguntungkan. Dengan produktivitas 800 kuintal tebu per hektar, rendemen 7,5 persen, dan harga gula Rp 9.700 per kg, hasil yang didapat sekitar 23 juta per hektar. Padahal, ongkos produksinya Rp 24,6 juta per hektar.
Selain menghajar sektor ekonomi, redupnya industri gula di Jabar juga menghilangkan salah satu tradisi lokal, yakni ”pengantin tebu”. Dalam tradisi sebelum masa giling itu, sepasang tebu terbaik didandani bak pengantin dan diarak ke pabrik gula dengan iringan gamelan. Budayawan Cirebon, Nurdin M Noer, mengatakan, tradisi itu menjadi momentum menyatunya petani, masyarakat, dan pihak pabrik.
Kini, kejayaan industri gula Jabar menyisakan jejak pahit. Dari Jabar tebersit pesan, tanpa pembenahan, kejayaan gula Nusantara bakal sirna.(Abdullah Fikri Ashri/Melati Mewangi)