KENDARI, KOMPAS Konflik sosial terjadi salah satunya karena pranata sosial-budaya dahulu tak lagi dihidupi masyarakat. Pranata sosial-budaya itu menjadi pegangan dalam mengelola hidup bersama sehingga ke depan perlu direvitalisasi.
Dosen sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, Darmin Tuwu, menyatakan hal itu terkait kerusuhan antara Desa Sampuabalo dan Gunung Jaya, Kecamatan Siotapina, Buton, pekan lalu.
”Pranata sosial-budaya masyarakat Buton dahulu, misalnya, tak bisa digantikan dengan pranata sosial-politik formal sekarang. Ini perlu dilihat lagi karena kehadirannya efektif meredam dan menyelesaikan gejolak di dalam masyarakat,” kata Darmin yang juga Direktur Lembaga Kesejahteraan Sosial Indonesia Timur saat dihubungi dari Palu, Sulawesi Tengah, Senin (10/6/2019).
Dalam masyarakat Buton yang dahulu berbentuk kesultanan, ada pranata sosial-budaya yang disebut parabela. Posisi itu ditempati orang yang memiliki kearifan dan kompetensi dalam menyelesaikan masalah di masyarakat. Parabela diangkat sultan dan membawahkan sejumlah kampung.
Darmin menyatakan, tak ada salahnya jika pranata seperti itu dihidupkan kembali dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan dewasa ini. Intinya ada pemegang mandat nilai di desa atau setingkat kampung sehingga warga memiliki kiblat dalam berperilaku sosial.
Untuk jangka pendek, lanjut Darmin, kepolisian perlu mengambil tindakan tegas atas setiap kerusuhan yang terjadi di masyarakat. Selama ini sering terjadi kerusuhan atau kejahatan, tetapi tak diselesaikan dengan tuntas sehingga menyisakan luka bagi warga yang menjadi korban. Penegakan hukum memberikan efek sosial dan keadilan bagi korban.
Seperti diberitakan, pada Rabu (5/6) lalu, sejumlah pemuda dari Desa Sampuabalo menyerang dan membakar sedikitnya 50 rumah di Desa Gunung Jaya. Dua orang meninggal dalam kerusuhan tersebut. Delapan orang terluka karena serangan senjata tajam.
Pertemuan untuk kesepakatan damai warga kedua desa mulai digelar di Pasar Wajo, ibu kota Buton. Situasi kedua desa pun semakin kondusif. Namun, aparat kepolisian dan TNI masih berjaga di lokasi. Warga mulai membersihkan puing rumah yang terbakar.
Hingga kemarin, Polda Sultra menangkap 82 terduga pelaku pembakaran rumah. ”Mereka ditahan untuk sementara di Markas Polda Sultra. Penyidik masih memeriksa mereka secara mendalam,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sultra Ajun Komisaris Besar Harry Goldenhart. Para terduga itu berasal dari Sampuabalo. ”Status hukum mereka belum tersangka, masih terduga,” lanjut Harry. (VDL)