Dukungan membabi-buta terhadap kubu politik tertentu mengakibatkan sebagian masyarakat mengabaikan pentingnya data dan fakta.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Penyebaran hoaks yang masif bukan semata-mata akibat literasi digital yang rendah. Gelombang peredaran hoaks juga terjadi karena ada fanatisme politik berlebihan.
Fanatisme politik yang berlebihan tersebut mengakibatkan polarisasi masyarakat, kerukunan memudar, menguatnya kebencian antarkelompok, serta penurunan rasa kemanusiaan. Situasi diperparah dengan infrastruktur penyebaran hoaks yang melimpah sehingga menambah luas penyebarannya.
Pada periode Januari-Maret 2019, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mendeteksi ada penyebaran 320 berita bohong atau hoaks yang sebagian besar di antaranya (65 persen) bertopik politik. Penyebaran hoaks ini menyasar tiga hal, yaitu pemerintah/lembaga (23 persen), kubu capres 01 sekitar (50 persen), dan kubu capres 02 (27 persen).
Memasuki April 2019, Mafindo kembali mendeteksi 26 hoaks yang menyerang penyelenggaraan Pemilihan Umum 2019. Beberapa hoaks tersebut antara lain tentang server Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Singapura yang disetel 57 persen untuk salah satu kubu. Ada pula hoaks mengenai tujuh kontainer surat suara tercoblos dan truk pengangkut surat suara beraksara China.
Penyebaran berita palsu yang berlangsung secara masif terlihat antara lain pada informasi mengenai server KPU di Singapura yang disetel untuk memenangi salah satu kubu. Informasi tersebut dibagikan tanggal 3 April 2019 mulai pukul 19.30 di semua platform media sosial.
Hoaks ini paling cepat menyebar karena memiliki daya jangkau ke 974 media sosial dengan potensi penyebaran di grup-grup WhatsApp mencapai jutaan kali.
Kemiripan Pola
Jika dilakukan perbandingan, peredaran hoaks pada Pemilu 2014 dengan 2019 ternyata memiliki kemiripan pola. Pada 2014, penyebaran hoaks menggunakan politik identitas terkait isu-isu tertentu. Hal ini masih dilanjutkan di Pemilu 2019 dengan ditambah isu pengelolaan pemerintah.
Upaya delegitimasi pemilu secara massif yang terjadi pada 2014 dipraktikkan lagi pada Pemilu 2019. Bedanya, pada 2014 upaya delegitimasi dilakukan sejak hari H pemilu, sedangkan pada 2019, hal itu dilakukan sebelum pemilu digelar.
Dari sisi konten, pada dua periode pemilu itu, konten yang disebarkan kebanyakan teks dan foto. Pada 2019, konten yang disebar ditambah satu jenis lagi, yaitu video.
Seluruh proses penyebaran hoaks dilakukan dengan menggunakan platform media sosial serta aplikasi WhatsApp dan Telegram.
Ketidakpercayaan
Menurut Ketua Presidium Mafindo Septiaji Eko Nugroho, satu hal yang perlu digarisbawahi dari penyelenggaraan Pemilu 2019 adalah peredaran hoaks yang masif membuktikan masyarakat sedang mengalami ketidakpercayaan serius satu sama lain.
“Banyaknya hoaks dipicu tidak hanya karena masalah literasi digital (semata), tetapi juga karena munculnya fanatisme politik yang berlebihan,” ujarnya, Selasa (11/6/2019) saat dihubungi dari Jakarta.
Sikap mendukung yang membabi-buta kepada tokoh atau kubu politik tertentu mengakibatkan sebagian masyarakat mengabaikan pentingnya data dan fakta. Dengan sikap tersebut, penerimaan terhadap informasi tertentu lebih karena mendukung atau menguntungkan sikap kelompoknya, bukan karena kesesuaian fakta atau logika. Pada momen tertentu, fakta hanya dipakai sejauh menyesuaikan keinginan.
Pengajar Etika Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, J Haryatmoko SJ menyebut situasi ini sebagai era post truth, yaitu ketika orang asal berbicara dan apa yang disampaikannya tidak mencerminkan realitas. Dengan mengabaikan fakta, rasionalitas dan etika, maka tindakan-tindakan akan semakin sulit diprediksi.
Pekerjaan utama
Sebelumnya, Ketua Dewan Pers periode 2016-2019 Yosep Adi Prasetyo mengatakan, pemberantasan berita-berita hoaks masih akan menjadi pekerjaan utama yang harus diselesaikan oleh jajaran anggota Dewan Pers baru periode 2019-2022.
Pada Rabu ini, akan digelar pisah sambut anggota Dewan Pers di Jakarta. Mereka yang hadir antara lain anggota Dewan Pers 2016-2019 dan anggota Dewan Pers 2019-2022.
Adapun Ketua Dewan Pers 2019-2022 ialah mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohamad Nuh.