Harga Gula Rugikan Petani
Harga pembelian gula petani jatuh di bawah ongkos produksi. Hal ini mengakibatkan petani mengalami demotivasi produksi yang berdampak pada penurunan pasokan tebu ke pabrik.
CIREBON, KOMPAS— Harga pembelian gula yang lebih rendah dari ongkos produksi membuat petani di Jawa Barat tidak lagi bergairah menanam tebu. Areal tebu pun menyusut dan pabrik gula kesulitan bahan baku.
Kondisi itu terjadi sejak tahun 2014 ketika harga gula jatuh menjadi Rp 8.000 per kilogram. Padahal, dua tahun sebelumnya harga gula masih mencapai Rp 10.100 per kg.
Pada 2017, selain ditawar dengan harga rendah, ribuan kilogram gula petani juga disegel Kementerian Perdagangan karena dianggap tidak memenuhi standar nasional Indonesia. Tahun 2018 gula petani dibeli Perum Bulog Rp 9.700 per kg.
Jumlah ini tidak jauh berbeda dibandingkan dengan harga acuan pembelian gula di tingkat petani berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018. Namun, harga itu di bawah biaya pokok produksi hasil survei Kementerian Pertanian pada Maret 2018, yakni Rp 10.500 per kg.
”Itu pun Bulog baru membayar seluruhnya pada Desember tahun lalu. Akhirnya, banyak petani yang telat mendapatkan modal untuk tanam selanjutnya. Sebaliknya, jika gula kurang atau harganya tinggi, pemerintah langsung impor,” ujar Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah Perkumpulan Petani Tebu Rakyat Indonesia (PPTRI) Jabar Agus Safari, Kamis (23/5/2019), di Cirebon.
Ade Junaedi (35), petani tebu di Cirebon, mengatakan, dengan produktivitas sekitar 500 kuintal tebu per hektar, rendemen 7 persen, dan harga gula Rp 9.700 per kg, dirinya hanya mendapatkan sekitar Rp 23 juta per hektar. Itu sudah termasuk penghasilan dari tetes tebu.
”Padahal, biaya produksi lebih dari Rp 24 juta. Selama setahun saya tak dapat apa-apa, malah merugi,” ujarnya.
Biaya produksi itu, antara lain, untuk ongkos garap per hektar Rp 8 juta, tebang angkut Rp 8 juta, dan sewa lahan Rp 7,5 juta per hektar. Ini belum termasuk biaya lain, seperti transportasi untuk meninjau lahan dan pengalihan tebu yang akan digiling dari PG Sindanglaut ke PG Tersana Baru yang jaraknya sekitar 13 kilometer.
Selain kedua pabrik itu, PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero), juga mengelola PG Jatitujuh di Majalengka. Sebelum tahun 1990-an terdapat delapan pabrik gula di Jabar.
Tahun lalu, PG Subang menjadi pabrik yang paling muda tutup karena kekurangan bahan baku. Pada 2013, lahan yang memasok tebu 23.222 hektar. Namun, pada 2018, luas areal turun tinggal 12.628 hektar.
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Subang Nenden Setyawati mengatakan, selain harga gula yang rendah, tutupnya PG Subang juga membuat semangat petani menanam tebu menurun.
Masalah budidaya
Selain problem harga, produktivitas dan rendemen tebu juga cenderung menurun. PG Rajawali II mencatat, dalam lima tahun terakhir, rata-rata rendemen di pabrik tidak pernah lebih dari 7,23 persen.
Produktivitas tebu di Jabar musim tanam 2017-2018 hanya 570 kuintal tebu per hektar. Padahal, pada masa tanam 2015-2016, produktivitasnya 690 kuintal tebu per hektar. Menurut Rasma, tokoh petani tebu Cirebon, kredit penanaman tebu yang kerap terlambat membuat budidaya tebu tidak maksimal.
”Rumput di ladang tebu sudah tumbuh, tetapi kredit belum cair. Akibatnya, kualitas tebu juga terganggu,” ujarnya.
Menurut dia, petani lebih antusias ketika masih mengakses kredit ketahanan pangan dan energi (KPPE) yang bunganya 6 persen per tahun. KPPE kini diganti kredit usaha rakyat (KUR) dengan bunga 7 persen per tahun. Petani juga wajib memiliki NPWP.
Kepala Tanaman PG Tersana Baru Rony mengatakan, produktivitas tebu dipengaruhi sistem pengolahan lahan yang belum optimal. Umumnya, petani menerapkan sistem ratun atau penanaman tebu menggunakan bibit dari sisa panen tebu. Biayanya Rp 16 juta-Rp 18 juta per hektar hingga panen.
”Padahal, dalam tiga sampai empat tahun, lahan harus diolah kembali untuk pertanaman tebu pertama (plant cane).
Namun, biayanya Rp 15 juta-Rp 30 juta per hektar. Ini kendalanya, terlalu mahal,” lanjutnya. Tahun ini, dari 1.444 hektar lahan tebu rakyat di Cirebon yang memasok bahan baku ke PG Tersana Baru, hanya 100 hektar yang menggunakan plant cane.
Direktur Utama PG Rajawali II Audry H Jolly mengatakan, pihaknya akan memfasilitasi kredit dan membina petani dalam gerakan menanam tebu. Pabrik, lanjutnya, tidak lagi menanam tebu. Lahan pabrik yang berstatus hak guna usaha disewakan kepada petani dengan harga Rp 3 juta per hektar.
(IKI/MEL)