Jakarta Bukan Rumah Bagi Mereka
Bagi sebagian orang, Jakarta tidak pernah benar-benar menjadi rumah. Jakarta hanya tempat singgah untuk mencari nafkah, sedangkan keluarga tetap di kampung. Inilah yang dilakoni sejumlah pedagang kaki lima asal luar Daerah Khusus Ibu Kota selama bertahun-tahun. Meski serba berkesusahan, Jakarta tetap menyediakan penghidupan yang lebih baik dibanding kampung mereka.
Toyo (50) tekun memasukkan potongan-potongan daun pisang ke dalam sejumlah plastik kecil, Senin (10/6/2019) siang, di sebuah kompleks kontrakan di Jalan Swasembada Timur IV, Kelurahan Kebon Bawang, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia tengah menyiapkan cetakan lontong, pelengkap menu ketoprak yang akan dijualnya mulai sore hari.
Ia duduk dekat gerobak ketoprak miliknya. Di sekitar gerobak itu, ada lima gerobak ketoprak lain, ditambah belasan gerobak dan pikulan gorengan, gerobak cilok, dan gerobak batagor. “Kalau yang jual gorengan, belum pada pulang. Mereka asal Subang,” kata Toyo.
Sama seperti para pedagang gorengan itu, Toyo pun bukan warga DKI. Istri dan anak-anaknya tinggal di Desa Datarnangka, Kecamatan Sagaranten, Sukabumi, Jawa Barat.
Seperti kaum pendatang lain, pria kelahiran Cirebon ini baru saja mudik untuk merayakan lebaran di kampung, tetapi tidak berlama-lama. Jumat (30/5/2019), ia berangkat ke Sukabumi, dan pada Kamis (6/6/2019) atau lebaran hari kedua ia sudah tiba di Jakarta lagi demi menimba rezeki kembali.
Toyo tidak sendiri. Dua adik kandung, satu keponakan, serta adik dan kakak ipar juga berjualan ketoprak. Jadi, lima gerobak ketoprak lain tadi masih ada “hubungan saudara” dengan gerobaknya. “Di sini rasanya seperti tidak di Jakarta. Masih kayak di kampung karena saudara di sini,” celetuk salah satu adik Toyo.
Toyo bercerita, ia mulai merantau ke Jakarta tahun 1988. Sebelumnya, ia masih berdomisili di Desa Mandala, Cirebon. Menurut dia, jika rajin, tidak susah mendapatkan pekerjaan di Cirebon waktu itu. Namun, jenis pekerjaan terbatas dan penghasilan mentok. Pekerjaan yang banyak tersedia yaitu kuli cangkul, antara lain untuk menggarap kebun dan sawah.
Ia lantas melihat banyak temannya yang terbilang sukses untuk ukuran orang kampung saat itu berkat bekerja di Jakarta. Akhirnya, ia ikut merantau. “Penghasilan di Jakarta saat itu bisa Rp 2.000-Rp 3.000 sehari. Kalau jadi kuli cangkul, bayarannya Rp 700 seharian, dari pukul 07.00 sampai waktu (salat) ashar,” ujar dia.
Toyo awalnya berjualan gorengan di Jakarta, kemudian beralih ke ketoprak sejak 1994. Dari dulu, ia tinggal di rumah kontrakan, dan ia menempati kontrakan yang sekarang sejak tahun 1996.
Kontrakan itu berupa kamar berdinding kayu dan beratap asbes. Ukurannya 4 meter kali 4 meter, cukup luas untuk ukuran satu kamar. Namun, kamar tersebut ditempati Toyo bersama dua saudara kandung dan satu keponakannya. Mereka mengandalkan selembar kasur tipis untuk tidur berempat. Tali dipasang melintang di dalam kamar untuk menggantung baju serta perlengkapan salat.
Biaya sewa kontrakan Rp 500.000 per bulan dan sudah termasuk biaya listrik dan air itu dibayar secara patungan. Dengan cara demikian, meski ruang makin sempit, mereka bisa menghemat pengeluaran dan memperbesar uang yang akan dibawa ke keluarga masing-masing. Toyo rata-rata membawa Rp 3,5 juta per bulan untuk istri dan dua anak yang masih jadi tanggungannya dari total tiga anak.
Berjualan pukul 16.00-01.00 dijalani Toyo, biasanya selama sebulan penuh. Setelah itu, ia bakal pulang ke Sukabumi dan beristirahat sepekan, untuk kemudian berangkat bekerja lagi di Jakarta selama sebulan, beristirahat lagi sepekan, dan terus mengulang siklus itu.
Saking fokusnya bekerja, Toyo tidak berpikiran untuk pergi ke tempat-tempat wisata yang terkenal di Jakarta. “Jujur saja, saya seumur hidup belum pernah ke Monas,” kata dia.
Bekerja di Jakarta dan meninggalkan anak-istri di kampung juga dilakoni Sulaeman (60), seorang penjual bakwan malang di area Danau Sunter, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia tidak ingat persis kapan pertama kali mencari peruntungan di Ibu Kota. Yang jelas sejak dekade 1980-an.
Awalnya, ia berprofesi sebagai pedagang asongan rokok di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur. Ia lantas pindah “kantor” ke daerah Sunter dan Kemayoran, Jakarta Pusat, tahun 1991, dan berganti dagangan ke jagung bakar. Sejak 2008, ia menjual bakwan malang.
Tidak, dia tidak berasal dari Malang, Jawa Timur. Pria yang dikaruniai tujuh anak ini datang dari Pecinan Kalilangkap, Bumiayu, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah. Berjualan bakwan malang hanyalah tuntutan profesi. “Saya hanya ikut bos. Dia punya sebelas gerobak dengan dagangan seperti ini,” ujar Sulaeman.
Menurut dia, lapangan pekerjaan di Brebes sebenarnya tidak langka. Ia bisa saja bekerja menjadi kuli angkut pasir dengan bayaran sekitar Rp 40.000 per juragan. Peluang bekerja pada lebih dari satu juragan per hari pun terbuka.
Namun, kondisi fisik dan usia jadi penghalang. Apalagi ia bakal kalah bersaing dengan pemuda-pemuda yang masih prima. Karena itu, masuk ke persaingan penjualan bakwan malang di Jakarta lebih masuk akal bagi dia.
Dalam sehari, ia rata-rata membawa pulang pendapatan bersih sebesar Rp 100.000, sehingga ia rata-rata mengumpulkan pendapatan bersih Rp 3 juta per bulan. Uang biasa ditransfer via rekening bank ke keluarganya setiap satu atau dua pekan.
Meski banyak anaknya yang sudah bekerja, ia tetap berjualan hingga sekarang karena masih menanggung kehidupan istri dan dua anak paling kecil, seorang baru saja lulus sekolah menengah pertama dan seorang lainnya masih di sekolah dasar kelas lima.
Sulaeman setiap hari berjualan mulai pukul 10.00 dan selesai rata-rata pukul 24.00. Jika beruntung, dagangannya ludes pukul 22.00, tetapi itu amat jarang. “Jangan dianggap enteng. Heheh. Jadi bisa dikatakan lembur terus,” kata dia terkekeh.
Ia juga mesti pintar menghindari patroli Satuan Polisi Pamong Praja yang setiap hari berupaya membersihkan trotoar Danau Sunter dari PKL. Siasatnya, ia berjualan dulu di Perumahan Komplek Kodam Jaya, Sumur Batu, Jakarta Pusat, dari pagi hingga sore. Setelah itu, ia baru mendorong gerobaknya bergeser tiga kilometer ke Danau Sunter dan berjualan hingga malam. “Kalau (masuk waktu salat) ashar sudah aman. Satpol PP biasanya patroli sampai pukul 14.00,” ujarnya.
Demikianlah mereka menjadi pendatang abadi di Ibu Kota. Gemerlap Jakarta tidak henti jadi magnet bagi warga berbagai daerah untuk mengadu nasib, selama bertahun-tahun.