Penuntasan kasus hukum BLBI atas nama tersangka Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, bergantung pada hubungan baik Indonesia dan Singapura.
JAKARTA, KOMPAS - Meski menyiapkan langkah hukum lain, Komisi Pemberantasan Korupsi masih tetap menunggu kehadiran pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia, Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, untuk melanjutkan proses perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia. Untuk melanjutkan proses hukum BLBI itu, itikad baik dari Singapura yang kini menjadi tempat bermukim Sjamsul dan Itjih ditunggu KPK.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, Selasa (11/6/2019), di Gedung KPK Jakarta, menyatakan, KPK percaya itikad baik Singapura dalam kerja sama melawan korupsi. Salah satu kasus korupsi yang ditangani KPK dan bekerja sama dengan Singapura adalah pengungkapan aliran dana terkait kasus KTP elektronik beberapa waktu lalu.
KPK sebelumnya menetapkan Sjamsul dan Itjih sebagai tersangka kasus BLBI. Penetapan tersangka didasari pengembangan perkara Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin A Temenggung yang dihukum 15 tahun penjara oleh pengadilan tingkat banding. ”Yang perlu ditekankan adalah kami percaya itikad baik negara lain dalam kerja sama melawan korupsi. Hal itu jadi sikap bersama melalui Konvensi Antikorupsi PBB atau UNCAC (United Nations Convention Against Corruption),” kata Febri.
UNCAC merupakan kesepakatan di antara negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk memberantas korupsi. Pemerintah Indonesia meratifikasi UNCAC dalam Undang-Undang No 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption 2003.
Dengan Konvensi PBB, menurut Febri, KPK akan bekerja sama dengan negara lain. Pengalaman menangani sejumlah kasus korupsi yang bersifat transnasional jadi pijakan KPK menuntaskan kasus BLBI dari BDNI yang merugikan negara Rp 4,58 triliun.
”Selama ini, KPK terbantu dengan otoritas di luar negeri, termasuk di Singapura. Kami berharap hal sama terjadi pada kasus ini. Sebab, sudah ada kesadaran global negara-negara di dunia melawan korupsi,” kata Febri.
Perjanjian belum efektif
Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Rahadian Muzhar menyatakan, untuk menyelesaikan kasus Sjamsul dan Itjih, masalah terpenting adalah itikad baik dari negara yang bersangkutan meski bantuan hukum, seperti mutual legal assistance (MLA) dan perjanjian ekstradisi, dapat diupayakan jika penegak hukum membutuhkan.
Namun, upaya ekstradisi dalam kasus ini urung bisa dilakukan karena perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum efektif. Instrumen MLA, tambah Cahyo, dapat digunakan jika penegak hukum memerlukan keterangan, mengambil bukti, informasi, dokumen, hingga eksekusi seperti diperintahkan pengadilan dalam putusan perkara berkekuatan hukum tetap. Namun, upaya ini bisa ditempuh jika ada permintaan penegak hukum.
Hal senada diungkapkan ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana. Menurut dia, lancarnya perkara ini bergantung pada hubungan baik antarkedua negara. Ketidakefektivan perjanjian ekstradisi dinilai menjadi kendala membawa pulang Sjamsul dan Itjih yang diketahui banyak memiliki aset di negara tersebut.
”Jadi kembali pada hak Singapura untuk mau atau tidak mengirim Sjamsul. Kalau untuk menarik aset, bisa menggunakan instrumen MLA, tapi tetap harus menunggu putusan pengadilan terlebih dahulu,” ujar Hikmahanto. Hingga kini, KPK belum meminta MLA karena KPK masih terus menelusuri aset-aset Sjamsul.
Melalui kuasa hukumnya, Otto Hasibuan, Sjamsul yang tak pernah merespons panggilan KPK mengajukan gugatan perdata terhadap I Nyoman Wara selaku auditor Badan Pemeriksa Keuangan karena audit investigasi BPK pada 2017 terkait BLBI dari BDNI. Sidang perdana gugatan digelar Rabu ini di Pengadilan Negeri Tangerang.