Memanusiakan Sopir Angkot
Charles Tampubolon (40), sopir JAK 61, rute Tanjuk Priok-Pulogadung via Kelapa Gading baru satu bulan bergabung dengan program Jak Lingko dari PT Transportasi Jakarta. Sekarang ia tidak lagi pusing harus dikejar setoran dan pulang larut malam.
Sebelumnya, Charles adalah sopir Metromini dan sopir angkot reguler. Dalam sebulan, penghasilan bersihnya tidak menentu, kadang hanya mendapat Rp 1 juta, jika beruntung bisa dapat Rp 3 juta-Rp 4 juta. ”Sopir angkot reguler kerja bisa 24 jam, penghasilan tidak seberapa karena uang hasil narik harus dipotong ke operator. Kejar setoran ini yang membuat kami tertekan. Hidup benar-benar tua di angkot,” ujarnya lirih.
Atas ajakan teman sesama sopir, akhirnya Charles memutuskan bergabung dengan program Jak Lingko agar hidupnya lebih teratur, terutama dalam hal penghasilan. Sebulan bergabung bersama Jak Lingko, pria yang sudah hampir 10 tahun menjadi sopir angkot ini mengatakan merasa beruntung karena hidupnya perlahan menjadi teratur, terutama dalam hal penghasilan.
”Sekarang sudah tak memikirkan penghasilan yang tak menentu. Kami digaji setiap bulan berdasarkan UMR, dapat tunjangan kesehatan pula. Ya, saya sangat bersyukur sekali ada program yang merangkul para sopir. Sekarang lebih memanusiakan kamilah,” ujarnya.
Baca juga: Penting, Integrasi LRT Jabodebek dan Angkutan Lain
Sebagai sopir angkot Jak Lingko, kata Charles, dirinya terikat peraturan dan diawasi secara ketat. Ia dan sopir lainnya tidak boleh berperilaku ugal-ugalan saat menyetir dan peraturan lalu lintas harus ditaati. Selain itu, para sopir tidak boleh mengetem lama, menaikkan dan menurunkan penumpang sembarangan.
Selain itu, Charles melanjutkan, operator dan sopir angkot yang tergabung di program Jak Lingko harus memenuhi syarat kelaikan kendaraan dan kendaraan harus diservis secara berkala. ”Dulu, kan, mikir-nya yang penting uang, setoran terpenuhi, jadi tidak menghiraukan aturan. Sekarang penumpang harus dilayani dengan baik. Itu yang tertanam di kami. Bahkan, jika hanya ada satu penumpang pun harus tetap jalan,” ujarnya.
Pengalaman baik terkait dengan pelayanan angkot Jak Lingko dirasakan Amin (53), warga Kelapa Gading. Ia mengatakan, pelayanan transportasi publik terutama angkot sudah cukup baik.
”Saya pemegang kartu Jak Lingko. Bukan karena gratis saya naik angkot. Tetapi, karena terintegrasi, dan yang utama adalah rasa aman dan nyaman. Para sopir selalu memastikan penumpang sudah duduk dan turun, baru mereka jalan. Selain itu, mereka juga tidak ugal-ugalan,” ujar Amin di dalam angkot JAK 61 menuju Terminal Polugadung dan hendak melanjutkan perjalanan ke Cempaka Mas.
Meski mengaku cukup puas, Amin berharap pelayanan transportasi angkot semakin ditingkatkan. ”Jika perlu pasang AC. Beberapa angkot JAK 31 dan JAK 33 sudah ada tuh, suasananya nyaman,” ucap Amin yang disahut setuju Charles.
Pengalaman serupa dikatakan Nia (50) saat menunggu di Terminal Pulogadung. Ia menuturkan, angkot Jak Lingko memiliki pelayanan yang bagus jika dibandingkan dengan angkot reguler, bahkan ojek daring.
”Paling lama menunggu angkot jalan 10 menit. Selain itu gratis pula. Kalau pakai ojek daring saya harus bayar Rp 15.000. Angkot ini, kan, masuk perumahan. Jadi, saya bisa turun di tempat. Hanya saja, plang menaikkan dan menurunkan penumpang harus diperbanyak. Di beberapa titik plangnya jauh, saya agak capek jalan kaki,” tuturnya.
Tidak hanya terkait dengan pelayanan publik secara fisik dan membuat nyaman penumpang dengan tidak menyetir secara ugal-ugalan, para sopir angkot Jak Lingko menjunjung menunjukkan etika yang baik.
Ini terlihat saat seorang penumpang turun dan memberikan uang Rp 5.000 kepada Charles. Namun, pria Batak itu menolak uang tersebut. ”Gratis Mbak, gak usah bayar,” katanya kepada penumpang itu.
Baca juga: Integrasi Antarmoda Mendesak Dilakukan
Charles mengatakan, dirinya tidak boleh mengambil uang dari penumpang. ”Kan, saya sudah digaji. Seharusnya penumpang tadi apakah kartu Jak Lingko karena kartu itu akan di-tapping di sini,” ucap Charles sembari menunjukan mesin tapping.
Kejadian ini tidak sekali ketika Kompas hendak menuju Stasiun Boulevard Kelapa Gading dari Terminal Pulogadung, yaitu sopir angkot membiarkan seorang penumpang yang tidak memiliki kartu Jak Lingko turun tanpa menerima bayar.
Angkot sebagai urat nadi
Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transjakarta Achmad Izzul Warro mengatakan, melalui kartu Jak Lingko, masyarakat akan terintegrasi menuju stasiun LRT dan MRT. Dari catatan manajemen PT Transjakarta, Program Jak Lingko sudah bekerja sama dengan sembilan operator dengan total sekitar 700 angkot yang sudah bergabung.
Saat ini, rute integrasi antarmoda menuju LRT ialah Stasiun Boulevard Utara JAK 24, JAK 59, dan JAK 61, serta Bus Bandara JAC PPD. Di Stasiun Boulevard Selatan bersedia Jak Lingko JAK-59. Stasiun Pulomas bersedia Transjakarta 2, 2A, 2B, 2E. Sementara untuk angkot tersedia JAK 33 dan JAK 59 serta Bus Bandara JAC Sinar Jaya. Di Stasiun Equestrian tersedia JAK-33 dan di Stasiun Velodrome tersedia Halte Transjakarta 4, 4A, 4C, 4D, 4H, 7M, 11A. Serta angkot JAK 59, JAK 17, JAK 26.
Menurut Izzul, seiring dinamika dan mobilitas warga, integrasi antarmoda sangat diperlukan untuk menjangkau kebutuhan transportasi publik. Dari sini diharapkan terbangun budaya menggunakan transportasi publik sehingga kemacetan Jakarta dapat terurai.
Program Jak Lingko dengan menggandeng angkot memiliki peran penting sebagai integrasi rute yang tidak hanya dirasakan penumpang. Para sopir angkot juga mendapat keuntungan karena tidak perlu mengetem menunggu penumpang. Kemacetan akibat antrean angkot juga bisa terurai.
”Dengan menggunakan kartu Jak Lingko, penumpang tidak perlu membayar saat naik angkot berstiker Jak Lingko. Sementara sopir angkot juga diuntungkan karena diupah berdasarkan upah minimum regional plus jaminan sosial dan Kartu Jakarta Pintar Plus untuk anaknya,” tutur Izzul.