Tak peduli seberapa ruwet dan rumitnya hidup di Jakarta, Ibu Kota masih memukau warga desa. Bermodalkan nekat ditambah sejumput keterampilan, para pendatang tiba di Jakarta untuk mengejar asa hidup yang lebih baik.
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama/Nikolaus Harbowo
·5 menit baca
Tak peduli seberapa ruwet dan rumitnya hidup di Jakarta, Ibu Kota masih memukau warga desa. Bermodalkan nekat ditambah sejumput keterampilan, para pendatang tiba di Jakarta untuk mengejar asa hidup yang lebih baik.
Senin (10/6/2019) petang, Pandu (26) menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di Jakarta. Setelah menumpang KA Bogowonto 151A yang berangkat dari Stasiun Lempuyangan, Kota Yogyakarta, Pandu tiba di Stasiun Senen.
Sambil menenteng kardus bekas mi instan dan menggendong ransel, Pandu melirik ke kiri dan kanan mencari kakak dan kakak iparnya yang berjanji menjemput. Padatnya hilir mudik penumpang di stasiun membuat pria asal Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini terkaget-kaget.
Akhirnya setelah sibuk mencari, dari kejauhan dilihatnya Toni (32) dan Anisa (30), kakak dan kakak iparnya. Mereka berpelukan dan bersalaman menyapa.
Pandu sudah meminta izin bapak dan ibunya untuk merantau ke Jakarta mengikuti jejak kakaknya. Toni sudah lima tahun terakhir merantau ke Jakarta. Lebaran tahun ini, Toni tidak pulang karena mengikuti Lebaran di keluarga istrinya yang berasal dari Jakarta.
Toni bercerita, dua tahun terakhir, dirinya bermata pencarian sebagai pengemudi ojek daring. Penghasilannya per bulan bisa mencapai Rp 4 juta. Adapun istrinya bekerja sebagai pengasuh bayi dengan gaji sekitar Rp 2 juta per bulan.
Angka tersebut jauh lebih besar dari pendapatan Pandu di kampung yang menjadi penjaga penginapan dengan gaji Rp 1 juta per bulan.
”Saya melihat peluang ekonomi di Jakarta lebih besar dan banyak. Kakak saya juga sudah meyakinkan saya untuk berani mencoba hidup di sini,” ujar Pandu.
Pandu juga berencana menjadi pengemudi ojek daring seperti kakaknya. Dengan uang tabungan dari tempat kerja sebelumnya, Pandu berencana membeli sepeda motor bekas dan menjadi pengemudi ojek daring.
Sementara untuk tempat tinggal, Pandu akan menetap sementara dengan Toni dan Anisa. Rumah mereka berlokasi di Jalan Kemandoran, Grogol Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Pandu mengatakan bisa saja menjadi pengemudi ojek daring di Kota Yogyakarta yang lebih dekat dengan rumahnya. Namun, dia tidak punya saudara yang bisa ditumpangi di kota itu.
”Ke Yogya dan Jakarta itu sama-sama merantau. Tetapi, di Jakarta bisa tinggal sama kakak. Jadi, lebih baik ke Jakarta,” ujarnya.
Ia tidak khawatir dengan perubahan ritme hidup dan suasana Jakarta yang berbeda 180 derajat dari Gunung Kidul. Sebab, dia sudah memantapkan tekadnya untuk bisa hidup di Jakarta.
”Ya, nanti kan terbiasa sendiri,” kata Pandu.
Tekad kuat itulah yang membuat kedua orangtuanya yakin untuk melepas Pandu ke perantauan. Pandu dan Toni rela meninggalkan kedua orangtuanya yang dititipkan kepada keluarga besar mereka untuk mengejar asa hidup lebih baik di Jakarta. Padahal, dua kakak beradik ini hanya lulusan SMA.
Kepada adiknya, Toni kerap bercerita tentang kemajuan kota Jakarta dan peluang yang bisa diperoleh.
”Saya bilang ke adik saya, ke Jakarta itu resepnya cuma perlu dua M. Bukan dua miliar, tetapi punya kemauan dan jangan malu. Apa saja bisa jadi uang di Jakarta,” ujar Toni.
Memilih
Pergi ke Jakarta untuk mencari penghidupan yang lebih baik juga dilakukan oleh Mahendra Budi Prakoso (26). Dia rela meninggalkan rumahnya di Solo, Jawa Tengah, untuk bekerja di sebuah perusahaan swasta di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Dengan jaminan hidup yang lebih laik, Budi merasa yakin untuk meninggalkan tanah kelahirannya.
”Saya tak mungkin melepaskan kesempatan ini karena tunjangan dan gajinya lebih tinggi dan lebih oke dibandingkan kerja di Solo. Saya juga tak akan berani ke Jakarta kalau belum diterima kerja,” ujarnya.
Budi bercerita, sebenarnya di waktu yang hampir bersamaan, salah satu perusahaan swasta di Solo juga memanggilnya. Namun, dia tetap memilih mengadu nasib di Jakarta karena memiliki upah minimum regional yang lebih tinggi.
”Memang di Solo, tempat saya tinggal itu, biaya hidup lebih rendah, tetapi kalau dihitung-hitung lebih baik kerja di Jakarta. Target saya, kan, menabung dan investasi, dan dengan gaji di Jakarta itu sangat mungkin,” tuturnya.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta, dari 69.000 orang yang datang ke Jakarta pasca-Lebaran 2018, hampir 31 persen beralasan mendapat pekerjaan di sektor swasta. Selain itu, 23 persen karena alasan sekolah.
”Motif ekonomi, pengembangan karier bekerja, dan sekolah memang paling tinggi. Sisanya ada yang datang cuma ingin liburan atau ikut keluarga di masa liburan saja,” kata Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil DKI Jakarta Dhany Sukma.
Pendataan
Untuk mengantisipasi urbanisasi itu, pihak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan melakukan pendataan warga baru pada 14-25 Juni mendatang. Pendataan akan melibatkan ketua RT/RW.
”Jadi, ketua RT dan RW melakukan pendataan sehingga dari pendataan itu akan teridentifikasi mana area-area yang dominan pendatang barunya,” ucap Dhany.
Setelah diketahui area-area tersebut, lanjutnya, pihaknya akan menggelar operasi layanan bina kependudukan mulai 26 Juni hingga 3 Juli 2019. Layanan tersebut akan mendata mana warga yang akan secara permanen tinggal di Jakarta dan mana yang tidak.
Terhadap warga nonpermanen, mereka harus memiliki surat pengantar RT/RW tempat tinggal asal atau surat tugas. Adapun bagi warga yang akan menetap di Jakarta, mereka harus menyerahkan surat pindah dari disdukcapil daerah asal ke Disdukcapil DKI Jakarta.
”Harus ada kejelasan siapa yang menjamin terkait tempat tinggalnya, apakah bersama keluarga, kos, kontrak, atau punya tempat tinggal sendiri. Dia pindah, kan, harus jelas tujuannya,” kata Dhany.