Masyarakat Sasak, Lombok menggelar perayaan lebaran ketupat. Acara budaya tersebut digelar setelah mereka berpuasa enam hari atau sepekan setelah Idul Fitri. Berbagai acara digelar. Tidak hanya menjadi acara bagi umat Islam di Lombok, Lebaran ketupat kini telah menjadi milik bersama lintas agama dan etnis. Lebaran ketupat menjadi momen untuk memperkuat kebersamaan di tengah keberagaman.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA/KHAERUL ANWAR
·5 menit baca
Suara tambur berpadu ceng-ceng (simbal) dan ling (gong kecil) yang dipukul dengan penuh semangat terdengar. Tak lama kemudian, dua barongsai muncul dan bergerak lincah di pinggir Jalan Raya Senggigi, tepatnya di depan Makam Bintaro, Kelurahan Bintaro, Kecamatan Ampenan, Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, Rabu (12/6/2019) pukul 09.00 Wita.
Warga yang sudah menunggu sejak pagi segera mendekat agar tidak kehilangan momen. Mereka mengeluarkan ponsel kemudian mengambil gambar saat barongsai berwarna ungu dan hijau itu mulai beraksi seperti menari lincah serta melompat ke sana kemari.
Beberapa menit kemudian, sebuah cidomo, kendaraan tradisional Lombok yang ditarik dengan kuda, tiba. Cidomo itu dikawal belasan pria yang mengenakan pakaian adat Lombok lengkap dengan sapuq (ikat kepala dari kain).
Dari kendaraan itu, Wakil Wali Kota Mataram Mohan Roliskana bersama istri, Noviani Danar Kinnastri, turun. Dua barongsai dari Kelompok Vamos Rinjani Ampenan segera mendekat dan memberikan gerakan sambutan. Setelah menerima sambutan, Mohan dan istri berjalan masuk ke kompleks Makam Bintaro.
Rudat
Mohan dan rombongan disambut dua perempuan yang mengenakan baju tradisional Sasak saat memasuki kompleks Makam Bintaro. Setelah itu, Sanggar Mendur Putiq tampil menyuguhkan rudat, salah satu tari tradisional Sasak.
Tari rudat dipentaskan dengan iringan alat musik rebana dan syair-syair berisi pesan agama. Belasan penari rudat mengenakan pakaian model tentara kuno yang memadukan celana warna hitam, sarung merah, atribut warna keemasan, serta topi tinggi.
Gerakan rudat mirip gerakan silat, tetapi tidak menonjolkan tenaga. Gerakan mereka dinamis dan kompak serempak. Semua gerakan berpadu dengan musik pengiring dan syair. Seperti saat menyaksikan barongsai, warga yang berada di kompleks Makam Bintaro juga tak ingin melewatkan suguhan langka itu.
Penampilan barongsai dan rudat merupakan bagian dari acara Maripat (Mataram Religi Ketupat) dalam rangka lebaran ketupat di Makam Bintaro. Lebaran ketupat adalah tradisi warga Sasak di Pulau Lombok yang dilaksanakan setelah berpuasa enam hari di bulan Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri.
Kalender pariwisata
Tidak ada catatan pasti tentang asal muasal lebaran ketupat atau lebaran topat. Hanya saja, tradisi ini diwariskan secara turun-temurun dan dilaksanakan hingga saat ini. Selain sebagai peristiwa budaya, lebaran topat telah menjadi bagian dari kalender pariwisata.
Makam Bintaro adalah salah satu titik perayaan lebaran ketupat di Kota Mataram. Di sana terdapat makam Habib Husen Bin Umar Mashur, Syarifah Zahra Al Habsy, dan Syech Abdullah Al Badawi yang selalu diziarahi warga. Ketiganya datang dari Yaman Selatan pada tahun 1865. Mereka merupakan bagian dari penyebar agama Islam di Lombok.
Seusai menikmati suguhan tarian, Mohan dan rombongan berziarah di makam para penyebar agama Islam itu.
Selain di Makam Bintaro, acara serupa digelar di Makam Loang Baloq, Kelurahan Tanjung Karang, Kota Mataram. Di kabupaten lain, seperti Lombok Tengah, perayaan lebaran ketupat dipusatkan di Kawasan Ekonomi Khusus Mandalika di Kecamatan Pujut. Di Lombok Utara dilakukan di Pantai Sire, Kecamatan Tanjung. Di Lombok Timur, acara dilaksanakan di Pantai Labuhan Haji. Adapun di Lombok Barat disajikan di Pantai Duduk, Batulayar.
Merangkul keberagaman
Dalam perayaan lebaran ketupat di Makam Bintaro, semua orang duduk sama rata. Mereka melaksanakan prosesi ngurisan (pemotongan rambut bayi), zikir dan doa bersama. Setelah itu, mereka menyantap hidangan ketupat dan lauknya.
Camat Ampenan Muzakkir Walad mengatakan, setiap tahun, mereka menggelar perayaan lebaran ketupat. Seluruh masyarakat dilibatkan. Seperti tahun ini, bukan hanya warga Sasak, etnis lain seperti warga keturunan Tionghoa juga turut ambil bagian.
Menurut Muzakkir, Ampenan yang berada di kawasan pesisir dan merupakan kota tua di Lombok dihuni warga dari berbagai etnis. ”Sepanjang pesisir, Ampenan dihuni antara lain warga Sasak, Bugis, Banjar, Arab, Tionghoa, Mbojo atau Bima, dan Minang,” kata Muzakkir.
Perayaan lebaran ketupat, menurut Muzakkir, merupakan cara untuk merangkul keberagaman itu. Sejalan dengan upaya-upaya lain yang dibangun dalam keseharian masyarakat Ampenan yang berada sekitar 6,6 kilometer arah barat pusat kota Mataram.
Di Ampenan, semua guyub, rukun. Tak ada yang dibeda-bedakan.
”Di Ampenan, semua guyub, rukun. Tak ada yang dibeda-bedakan. Bahkan, ada ungkapan tidak ada ente, ndak rakse, yang artinya tidak ada kamu, tidak nyaman. Itu menjadi bahasa pergaulan, simbol Ampenan dengan keberagamannya,” kata Muzakkir.
Hal itu, menurut Muzakkir, menciptakan suasana kondusif di Ampenan. ”Tidak pernah ada masalah. Jika ada yang tidak disukai, langsung disampaikan ke sesama warga. Dengan begitu, masalah besar yang muncul sewaktu-waktu bisa dihindari,” kata Muzakkir.
Toleransi
Ketua Forum Laskar Ampenan Lalu Sapriadi menambahkan, pelibatan berbagai pihak dalam momen lebaran ketupat memang penting. ”Di sinilah toleransi, rasa saling menghargai itu bisa diwujudkan. Warga Sasak di sini mungkin mayoritas, tetapi bukan berarti kami harus merasa superior ke minoritas. Justru yang mayoritas melindungi dan merangkul minoritas untuk bersama-sama membangun daerah,” kata Sapriadi.
Momen lebaran ketupat, menurut Sapriadi, juga tepat untuk menguatkan silaturahmi, terutama setelah Pemilu 2019. ”Mungkin saja, selama enam bulan lalu kita sedikit panas karena berbeda pilihan. Oleh karena itu, kehadiran berbagai pihak hari ini bisa menguatkan silaturahmi,” kata Sapriadi.
Ini sebuah peristiwa budaya, bukan agama.
Pimpinan grup barongsai Vamos Rinjani, Mega Herlambang (33), mengatakan, setiap tahun mereka dilibatkan dalam lebaran ketupat. Menurut dia, tidak ada masalah dengan tampil pada lebaran ketupat.
”Ini sebuah peristiwa budaya, bukan agama. Apalagi di grup barongsai kami, keanggotaannya bersifat terbuka. Bukan hanya untuk warga keturunan Tionghoa, melainkan juga warga Sasak banyak yang bergabung,” kata Mega.
Menurut Mega, kebersamaan dalam keberagaman itu yang dia lihat terus didorong di Ampenan. Maka, mereka dengan senang hati mengambil bagian. ”Beberapa waktu lalu, ketika gempa mengguncang Lombok Timur pada April 2019, ada penggalangan dana. Kami dengan sukarela dan tanpa bayaran, ikut tampil,” kata Mega.
Salah satu pengurus Perhimpunan Indonesia Tionghoa NTB, Vendy Vernatha, yang hadir dalam perayaan lebaran ketupat di Makam Bintaro, mengatakan, lebaran ketupat memang tradisi budaya Sasak. ”Tetapi, kita tidak perlu melihat itu budaya siapa atau agama mana, melainkan kita jaga dan rayakan bersama,” ujar Vendy.
Acara ini adalah milik kita bersama. Karena itu, harus dirawat dan dijaga bersama.
Mohan dalam sambutannya mengatakan, selain keagamaan dan budaya, lebaran ketupat juga memiliki nilai sosial. ”Lebaran ketupat awalnya sebagai refleksi kesyukuran umat Islam untuk yang berpuasa sunah (enam hari setelah Idul Fitri). Tetapi, sekarang, acara ini adalah milik kita bersama. Karena itu harus dirawat dan dijaga bersama. Acara ini sarat makna sebagai momen menjaga silaturahmi dan kekeluargaan,” ucap Mohan.