Perbaikan Permohonan Jadi Lampiran
JAKARTA, KOMPAS - Mahkamah Konsitusi, Selasa (11/6/2019), meregistrasi permohonan sengketa hasil pemilihan presiden yang diajukan kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. MK meregistrasi berkas permohonan awal yang disampaikan pada 24 Mei 2019, sementara berkas perbaikan permohonan yang disampaikan pada 10 Juni 2019 dijadikan lampiran.
Ada perubahan signifikan dalam berkas perbaikan permohonan yang disampaikan tim hukum Prabowo-Sandi pada 10 Juni lalu. Berkas dengan 146 halaman itu jauh lebih tebal dibandingkan berkas yang disampaikan saat mendaftar, hanya 37 halaman.
Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstiitusi (MK) Fajar Laksono Soeroso pada Selasa itu menyebutkan, perbaikan permohonan yang disampaikan Senin lalu itu dicap dengan tanda terima dan dilampirkan dalam permohonan yang diregistrasi.
Ia menambahkan, tahapan perbaikan permohonan dalam peraturan MK mengenai tata beracara sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres memang tidak diatur. Akan tetapi kepaniteraan MK tidak memiliki kewenangan untuk menolak jika ternyata pemohon menghendaki perbaikan permohonan.
Karena itulah, imbuh Fajar, kepaniteraan menerima berkas tersebut lalu disampaikan kepada majelis hakim. Selanjutnya, majelis hakim yang akan memutuskan apakah perbaikan permohonan tersebut dapat dipertimbangkan atau tidak.
“Majelis hakimlah yang akan memberikan pertimbangan hukum terhadap berkas permohonan yang dikatakan sebagai perbaikan itu,” kata Fajar.
Pertimbangan hukum atau keputusan terkait itu, imbuh Fajar, kemungkinan sudah bisa dilihat pada sidang pendahuluan yang diputuskan pada Jumat (14/6/2019) mendatang. Sidang pendahuluan itu memiliki agenda tunggal yakni memberi kesempatan bagi pemohon untuk menyampaikan pokok-pokok permohonan.
Di dalam persidangan tersebut, MK juga sudah akan memanggil termohon, pihak terkait, dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Hal ini didahului dengan disampaikannya salinan permohonan yang telah diregistrasi berikut dengan lampirannya pada termohon (KPU), pihak terkait, dan Bawaslu.
Cacat formil
Dalam berkas perbaikan permohonan, tim hukum Prabowo-Sandi mendalilkan, pencalonan Ma\'ruf Amin sebagai calon wakil presiden cacat formil atau tidak sesuai dengan persyaratan yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Hal ini terkait posisi Ma’ruf Amin yang tidak mengundurkan diri jabatannya di badan usaha milik negara (BUMN).
Menurut tim hukum Prabowo-Sandi, hal ini melanggar Pasal 227 Huruf p UU Pemilu yang menyebutkan bakal calon harus mengundurkan diri dari posisinya sebagai karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
Terkait dengan hal tersebut, komisioner KPU Hasyim Asy’ari menyamapaikan, posisi Ma’ruf Amin sama dengan calon anggota legislatif Partai Gerindra bernama Mirah Sumirat yang menjadi pegawai anak perusahaan BUMN. Keduanya sama-sama memenuhi syarat karena bukan pejabat atau pegawai BUMN.
Hal itu merujuk pada putusan Bawaslu tentang terjadinya kesepakatan mediasi penyelesaian sengketa proses pemilu dengan nomor register 033/PS.REG/BAWASLU/IX/2018. Dengan demikian, maka Ma’ruf Amin tidak bisa disebut melanggar Pasal 227 Huruf p UU Nomor 7/ 2017 tentang Pemilu.
Namun menurut anggota tim kuasa hukum Prabowo-Sandi, Prof. Denny Indrayana, putusan Bawaslu tidak bisa dijadikan perbandingan. Hal ini menyusul adanya poin dalam putusan tersebut yang secara jelas menyebutkan bahwa menurut KPU, caleg tersebut seharusnya tidak memenuhi syarat.
“Poinnya, KPU pernah menyatakan pegawai anak perusahaan BUMN itu tidak memenuhi syarat,” sebut Denny.
Langkah MK tepat
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, berdasarkan hukum acara PHPU Pilpres yang diatur dalam Peraturan MK Nomor 4/2018 dan Peraturan MK Nomor 5/2018, tahapan perbaikan permohonan tersebut tidak dikenal. Ia menilai, karena itulah tindakan panitera MK yang hanya meregistrasi permohonan awal pada 24 Mei 209 dan menjadikan perbaikan permohonan pada 10 Juni 2019 merupakan tindakan tepat.
“Untuk itu, nanti saat pemeriksaan pendahuluan seharusnya hakim MK mengesampingkan perbaikan permohonan dan hanya memeriksa permohonan awal, yaitu tanggal 24 Mei. Konsistensi hakim MK diperlukan mengingat peraturan MK yang membuat adalah majelis hakim MK sudah sepatutnya mereka memedomaninya,” kata Bayu.
Ia juga menilai bahwa apa yang disebut perbaikan permohonan lebih tepat disebut sebagai permohonan baru, Ini mengingat perubahan materi permohonan yang lebih dari 50 persen.
Karena itulah, imbuh Bayu, permohonan baru itu jelas bertentangan dengan Pasal 475 UU Pemilu yang membatasi permohonan hanya dapat diajukan paling lama tiga hari setelah ditetapkannya keputusan KPU atas hasil perolehan suara. Sementara jika ditilik dari materi gugatan pada perbaikan gugatan, Bayu menilainya masih sangat sumir.
“Misalnya mempermasalahkan keputusan KPU soal penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden,” kata Bayu. Ia mengatakan, jika memang ada keberatan terkait hal itu, maka telah ada mekanismenya di muka. Keberatan itu, imbuh Bayu, bisa diajukan lewat Bawaslu dan PTUN.
Pengamanan Sidang
Selain itu, Fajar mengatakan, MK akan membatasijumlah pengunjung dalam ruang sidang. Masing-masing pihak hanya diberikan kursi maksimal untuk 15 orang. Pengunjung lainnya dapat mengikuti persidangan melalui layar televisi yang disediakan di sejumlah tenda di sekitar gedung MK.
Selain itu, publik juga bisa tetap mengakses persidangan yang digelar terbuka itu lewat tayangan langsung via streaming internet, videotron, dan siaran langsung sejumlah stasiun televisi.
Lebih jauh Fajar menyebutkan bahwa pengamanan untuk proses persidangan juga sudah dikoordinasikan dengan TNI-Polri. Tidak kurang 1.100 personel kepolisian disiapkan untuk mengamankan jalannya proses tersebut. Jumlah personel tersebut disesuaikan pengerahannya sesuai dengan agenda dan dinamika di lapangan.