Stabilitas ekonomi makro akan membuka ruang bagi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Kebijakan moneter yang akomodatif sejalan dengan rendahnya inflasi akan jadi pendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Stabilitas ekonomi makro akan membuka ruang bagi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia. Kebijakan moneter yang akomodatif sejalan dengan rendahnya inflasi akan jadi pendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Ekonom makro PT Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro, menilai, momentum stabilitas nilai tukar rupiah menjadi pertimbangan Bank Indonesia (BI) untuk memangkas tingkat suku bunga acuan yang saat ini berada di level 6 persen.
”Sejumlah faktor yang (Juni ini) terjadi secara bersamaan menjadikan saat ini sebagai momentum yang tepat bagi BI untuk menurunkan tingkat suku bunga,” ujarnya di Jakarta, Rabu (12/6/2019).
Salah satu faktor yang dinilai Satria, di antaranya, adalah perbaikan peringkat utang Indonesia oleh lembaga pemeringkat global Standard and Poor’s (S&P) menjadi di atas level layak investasi, dari BBB- menjadi BBB.
Selain itu, bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed, memberikan sinyal penurunan suku bunga setelah pemotongan suku bunga dilakukan oleh sejumlah bank sentral di Asia dan Uni Eropa. Terlebih telah terjadi penurunan imbal hasil dari surat utang AS.
”Kami tidak yakin faktor-faktor ini akan kembali terjadi pada waktu bersamaan pada tahun ini sehingga bulan ini menjadi waktu yang tepat bagi bank sentral untuk memotong suku bunga,” kata Satria.
Kepala Ekonom PT Bank Central Asia (BCA) Tbk David Sumual mengatakan, ruang untuk menurunkan suku bunga acuan BI juga akan bergantung pada posisi kedalaman defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD).
”Dengan semakin menurunnya CAD, ruang bagi BI untuk menurunkan tingkat suku bunga acuan juga akan semakin luas,” ucapnya.
BI mencatat defisit neraca transaksi berjalan pada triwulan I-2019 sebesar 7 miliar dollar AS atau 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan defisit pada triwulan sebelumnya yang mencapai 9,2 miliar dollar AS atau 3,6 persen dari PDB.
Menurut David, reformasi struktural untuk menarik penanaman modal asing langsung (foreign direct investment/FDI) perlu menjadi fokus pemerintah. Hal ini mengingat untuk memangkas CAD, pemerintah akan kesulitan apabila hanya mengandalkan ekspor.
”Di samping itu, perlu juga antisipasi pemerintah dalam mendorong sektor konsumsi, terutama program pemerintah mendorong konsumsi yang lewat APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara),” ujarnya.
Nilai tukar
Dalam sejumlah kesempatan, Gubernur BI Perry Warjiyo meyakini, prospek penguatan neraca pembayaran serta defisit transaksi berjalan diperkirakan akan berlanjut pada 2020. Alhasil, BI meyakini, pergerakan rupiah akan berada di kisaran yang lebih kuat dari tahun ini, yaitu Rp 13.900-Rp 14.300.
Berdasarkan data kurs nilai tukar Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), secara rata-rata nilai tukar rupiah pada tahun ini berada di posisi Rp 14.187 per dollar AS. Angka ini menguat 0,41 persen dibandingkan tahun lalu sebesar Rp 14.246 per dollar AS.
Terkait nilai tukar, Kepala Departemen Moneter BI Nanang Hendarsah menuturkan, BI akan tetap membuka ruang kebijakan moneter yang akomodatif. Hal ini sejalan dengan rendahnya inflasi dan upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik.
Arah kebijakan akomodatif tersebut akan diambil dengan tetap memperhatikan sejumlah perkembangan, di antaranya kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian domestik.
”BI akan terus mencermati kondisi pasar keuangan global dan stabilitas eksternal perekonomian Indonesia, sejalan dengan rendahnya inflasi dan perlunya mendorong ekonomi dalam negeri,” ujar Nanang.
Sejalan dengan itu, BI juga masih terus menjalankan kebijakan makro prudensial yang akomodatif melalui berbagai instrumen, termasuk financing to funding ratio (FFR). Menurut Nanang, pihaknya akan terus mendorong pendalaman pasar keuangan untuk mendukung pembiayaan ekonomi.