Sedimentasi Lumpur dan Sampah Mengotori Waduk Pluit
Sedimentasi lumpur bercampur sampah mengotori Waduk Pluit, Jakarta Utara. Timbunan sampah tersebut berasal dari dua aliran kali, salah satunya dari permukiman kumuh dekat waduk. Kini, pengerukan lumpur terus dilakukan untuk meningkatkan daya tampung waduk yang diperkirakan selesai pada Oktober mendatang.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/STEFANUS ATO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sedimentasi lumpur bercampur sampah mengotori Waduk Pluit, Jakarta Utara. Timbunan sampah itu berasal dari dua aliran kali, yang salah satunya berasal dari permukiman kumuh, dekat waduk. Kini, pengerukan lumpur terus dilakukan untuk meningkatkan daya tampung waduk yang diperkirakan selesai pada Oktober mendatang.
Berbagai jenis sampah dan eceng gondok terlihat mengambang di beberapa sudut Waduk Pluit, Rabu (12/6/2019). Lima ekskavator berjenis amfibi mengaduk lumpur di dalam area waduk itu. Aroma busuk sangat terasa menusuk hidung dan menguar hingga radius ratusan meter jika ada tiupan angin.
”Lumpur bercampur sampah ini sudah mengendap puluhan tahun. Saat diaduk, otomatis mengeluarkan bau. Apalagi, sekarang, kan, musim kemarau, jadi air waduk berkurang. Jadi, ada lumpur mati yang ikut mengambang,” ujar Asman, operator alat berat dari Unit Pengelola Kegiatan (UPK) Badan Air Jakarta Utara.
Setiap hari, lebih dari 1 ton sampah diangkut dari Waduk Pluit. Sampah itu, selain berasal dari dasar waduk yang mengambang karena pengerukan sedimen lumpur, juga berasal dari sejumlah aliran sungai yang bermuara ke Waduk Pluit.
Berdasarkan penelusuran Kompas, salah satu sungai yang mengalir ke Waduk Pluit adalah Kali Gendong di wilayah RW 017, Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Di kali itu, berbagai jenis sampah, baik plastik maupun organik, tampak memenuhi sebagian besar aliran Kali Gendong yang memiliki lebar sekitar 3 meter.
Kepala Seksi Humas RW 017, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Arifin Maka mengatakan, sampah itu sudah dibiarkan menumpuk dan tak diangkut sejak tiga tahun lalu. Akibatnya, saat musim hujan, sampah terbawa arus dan masuk ke Waduk Pluit.
”Ini mendesak dibersihkan karena bisa menimbulkan demam berdarah bagi warga kami dan juga memicu banjir karena kalinya sudah dangkal. Warga yang terdampak ada lima RT. Panjang kali ini sekitar 1 kilometer,” ujarnya.
Penertiban kawasan
Dihubungi secara terpisah, Kepala UPK Badan Air Jakarta Utara Lambas Sigalingging menuturkan, pembersihan sampah di Kali Gendong sebenarnya bisa saja dilakukan, tetapi akan merobohkan rumah-rumah warga yang dibangun secara ilegal di pinggiran kali.
”Setahu saya, itu semua permukiman liar. Bangunan (rumah) ada di atas sampah. Jadi, kalau sampah saya tarik, itu bangunan roboh, siapa yang tanggung jawab? Jadi, ini bukan hanya masalah sampah, tetapi penertiban bangunan di atas kali,” ucap Lambas.
Menurut Lambas, rumah-rumah di pinggiran Kali Gendong seharusnya masuk kawasan Waduk Pluit. Namun, dia tak pernah tahu mengapa bangunan tetap diperbolehkan dibangun di sana sehingga malah menimbulkan masalah baru.
”Jadi, bukan kami tak mau kerjakan, tetapi kami tak ada akses. Aksesnya gimana? Supaya pemerintah kota menggunakan kewenangannya untuk menertibkan bangunan di atas kali itu. Dengan begitu, (UPK) Badan Air bisa lebih mudah membersihkan sampah,” tuturnya.
Sampah itu, selain berasal dari dasar waduk yang mengambang karena pengerukan sedimen lumpur, juga berasal dari sejumlah aliran sungai yang bermuara ke Waduk Pluit.
Selain Kali Gendong, Lambas menyebutkan, ada satu aliran kali lain yang juga ikut menyumbang sampah ke Waduk Pluit, yaitu Kali Pakin. Di ujung saluran Kali Pakin menuju Waduk Pluit sebenarnya sudah dipasang saringan sampah, tetapi sampah kerap tetap meluber ke waduk ketika curah air hujan tinggi.
”Saringan itu, kan, punya keterbatasan. Jadi, kalau airnya sudah meluber, sampah ikut naik,” kata Lambas.
Sementara itu, Kepala Seksi Pemeliharaan Sistem aliran Tengah Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta Ika Agustin Ningrum membenarkan bahwa dua aliran kali itu menjadi sumber sampah di Waduk Pluit.
”Soalnya, kan, sistem drainasenya belum memisahkan antara limbah domestik dan saluran drainase. Semua masih tercampur. Waduk Pluit itu hilirnya semua sistem aliran, ya, masuklah semua ke situ,” ujar Ika.
Oleh karena itu, Ika menjelaskan, pihaknya kini terus berusaha untuk mengeruk sedimentasi lumpur bercampur sampah yang ada. Pengerukan pun tidak di seluruh Waduk Pluit yang seluas 80 hektar itu, tetapi hanya sepertiganya.
Sebanyak 13 ekskavator berjenis amfibi akan dikerahkan dalam pengerukan tersebut. Hal itu dilakukan agar daya tampung waduk semakin besar.
”Sampah kalau sudah tercampur sedimen, kan, menjadi solid waste (limbah padat). Ya sudah tugas kami untuk mengangkat. Ini juga sebagai persiapan musim hujan,” kata Ika.
Ia belum dapat memastikan kapan pengerukan selesai. Menurut Ika, hal itu tergantung dari kondisi sedimentasi lumpur di waduk tersebut. ”Tadinya, kan, sekitar akhir Juli atau Agustus. Tetapi, nanti kami lihat, lumpurnya kalau masih banyak, ya, diperpanjang sampai Oktober,” lanjutnya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun menyampaikan, pengerukan telah dilakukan sejak April lalu. Pengerukan dilakukan sekarang selagi volume air sedang tidak tinggi.