Singapura Diharapkan Beritikad Baik Pulangkan Sjamsul Nursalim
JAKARTA, KOMPAS – Meski perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura belum efektif, namun Singapura telah beberapa kali menunjukkan hubungan baik atas pemulangan sejumlah tersangka kasus pidana yang “bersembunyi” di sana. Itikad baik ini pun diharapkan kembali terjadi untuk dua tersangka korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang tengah bermukim di Singapura.
Kedua tersangka dalam kasus korupsi BLBI itu adalah pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), yaitu Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim. Kerugian negara atas kasus korupsi ini mencapai Rp 4,58 triliun.
“Meski perjanjian ekstradisi belum efektif, namun Singapura pernah beritikad baik dengan memulangkan tersangka kasus pidana yang ada di Indonesia, salah satunya Presiden Komisaris PT Antaboga Delta Sekuritas Hartawan Aluwi,” kata ahli hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, Rabu (12/6/2019).
Hartawan merupakan salah satu pelaku kunci pembobolan PT Bank Century pada 2008. Dia kemudian dipulangkan ke Indonesia pada 22 April 2018 dan telah mendekam di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta.
Menurutcatatan Kompas, pemulangan Hartawan dilakukan setelah Imigrasi Singapura tak memperpanjang izin tinggal permanennya. Oleh karena itu, pemesanan tiket penerbangan Singapura-Jakarta dengan maskapai Garuda Indonesia tercium oleh Kedutaan Besar Indonesia di Singapura.
Baca juga: Polri Siap Bantu KPK Pulangkan Sjamsul Nursalim
Namun ada juga yang menyebut, Pengawas Imigrasi Singapura sebelumnya telah membatalkan izin masuk Hartawan karena terlibat penipuan dan pencucian uang. Terhadap putusan itu, Hartawan yang sempat mengajukan banding tetapi ditolak akhirnya tetap ditahan imigrasi dan dikeluarkan dari Singapura.
Terlepas dari kesimpangsiuran yang masih terjadi terkait bagaimana pemulangan Hartawan, Hikmahanto menilai setidaknya Singapura telah membantu Indonesia. Di lain sisi, Singapura juga tidak mau dicap sebagai negara “surga” bagi pelarian “kerah putih” di Indonesia.
Belum efektif
Hikmahanto menjelaskan, Indonesia dengan Singapura sebenarnya sudah menandatangani perjanjian ekstradisi pada 2007 yang dibarengi dengan penandatanganan perjanjian kerja sama pertahanan. Namun saat memasuki proses ratifikasi, Dewan Perwakilan Rakyat RI saat itu menolak karena menilai tidaklah sebanding masalah kejahatan ditukar dengan kedaulatan negara.
“Apabila kedua perjanjian itu diratifikasi maka akan merugikan Indonesia. Sebab, perjanjian kerja sama pertahanan akan membuat meski tentara Singapura yang melakukan kejahatan di Indonesia, namun diadili di Singapura. Selain itu, Singapura juga dibolehkan mengajak negara ketiga untuk latihan militer di Indonesia tanpa persetujuan Indonesia,” ujarnya.
Baca juga: Sjamsul Nursalim Masih di Singapura
Perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura mencakup 31 jenis kejahatan yang ditandatangani Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dan Menlu Singapura George Yeo di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali pada 27 April 2007. Acara itu disaksikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri (PM) Singapura Lee Hsien Loong dan sejumlah menteri kedua negara.
Pada saat itu, ditandatangani juga perjanjian kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Ada pula perjanjian antara TNI dan Angkatan Bersenjata Singapura mengenai daerah latihan militer di Indonesia.
Namun, pada 27 Juli 2007 Dewan Perwakilan Rakyat menolak rencana pemerintah yang akan menggabungkan perjanjian kerja sama pertahanan dan perjanjian ekstradisi antara Pemerintah RI dan Singapura dalam satu paket rancangan undang-undang.
Sebab, rancangan undang-undang (RUU) itu dinilai belum ada presedennya dan tidak memiliki landasan hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, perjanjian ekstradisi merupakan domain pidana, pengembalian aset merupakan domain perdata, sedangkan perjanjian kerja sama pertahanan merupakan domain hukum tata negara dan administrasi negara.
Sewa detektif swasta
Sebelumnya, kuasa hukum Sjamsul, Maqdir Ismail menyampaikan bahwa baik Sjamsul maupun Itjih tengah berada di Singapura, namun lokasi pastinya tidak diketahui. Dengan demikian, maka harus ada kerja sama mutual legal assistance (MLA).
“Kerja sama MLA itu dilakukan oleh otoritas pusat Indonesia dengan meminta bantuan kepada otoritas sentral Singapura untuk melokalisir domisili dari para tersangka,” ujar Hikmahanto.
Sebagai catatan, otoritas pusat Indonesia diwakili Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Sementara otoritas pusat Singapura diwakili oleh Attorney General\'s Chambers (AGC) atau Kejaksaan Agung.
Namun, investigasi dengan cara ini kemungkinan tidak ditanggapi secara serius oleh pihak Singapura. Maka Hikmahanto menyampaikan, dapat juga menyewa detektif swasta untuk mencari keberadaan pasti dari para tersangka.
“Setelah detektif mendapat alamat tersangka, maka KPK dapat meminta bantuan Kemenkumham untuk meneruskan kepada AGC. Setelah ditangkap baru bisa diekstradisi,” katanya.
Namun, karena perjanjian ekstradisi belum efektif, maka itikad baik dari Singapura yang diharapkan. Sebab, Indonesia tetap tidak dapat mengintervensi kedaulatan Singapura.
Secara terpisah, Sekretaris National Central Bureau (NCB)–Interpol Indonesia Brigadir Jenderal Polisi Napoleon Bonaparte menjelaskan hal serupa. Tanpa adanya perjanjian, maka ekstradisi tidak dapat dilakukan.
“Ekstradisi itu diatur di Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi. Pada prinsipnya, ekstradisi adalah penyerahan dari suatu negara kepada negara lain terhadap seseorang yang terkait dengan penyidikan, penuntutan, peradilan, atau penghukuman pelaku pidana, tindak pidana, bukan perdata,” tuturnya.
Dengan begitu, ekstradisi ini hubungannya antarnegara. Kalau tidak ada perjanjian ekstradisi, penyerahan tersangka atau terdakwa itu sebetulnya karena hubungan baik antara kedua negara.