Kekayaan gastronomi Indonesia belum distandardisasi secara global. Akibatnya, kekayaan tersebut belum bisa menjadikan Indonesia sebagai destinasi gastronomi dunia.
Oleh
Maria Clara Wresti
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekayaan gastronomi Indonesia belum distandardisasi secara global. Akibatnya, kekayaan tersebut belum bisa menjadikan Indonesia sebagai destinasi gastronomi dunia.
Padahal, Indonesia kaya budaya dan tradisi, yang melahirkan keragaman gastronomi yang kaya dan menarik.
”Untuk wisatawan Nusantara, wisata kuliner sudah menjadi tujuan wisata. Namun, untuk wisatawan mancanegara, kuliner belum menjadi daya tarik. Padahal, di balik kuliner itu ada tradisi, budaya, dan cerita yang diturunkan turun-temurun. Jadi, gastronomi tidak sekadar kulinernya atau makanannya, tetapi semua kegiatan yang terkait dengan kuliner tersebut. Jika dikemas baik, gastronomi bisa menjadi tujuan wisata,” kata Menteri Pariwisata Arief Yahya saat menerima kunjungan delegasi Organisasi Pariwisata Dunia PBB (UNWTO) di Jakarta, Selasa (11/6/2019).
Delegasi UNWTO akan datang ke Ubud, Bali, untuk menilai, memverifikasi, dan menganalisis kegiatan gastronomi di daerah itu. Ubud, yang berada di Kabupaten Gianyar, akan dijadikan destinasi gastronomi tingkat dunia. Oleh karena itu, Ubud akan dinilai sesuai standar dunia yang ditetapkan UNWTO.
Ada beberapa hal yang akan dinilai UNWTO, antara lain kuliner yang sudah menjadi gaya hidup di kawasan Ubud. Kuliner tersebut harus menggunakan produk lokal di daerah itu. Selain itu, kuliner itu mempunyai hubungan dengan budaya dan tradisi. Bahkan, kuliner tersebut mempunyai cerita serta enak dan sehat untuk dikonsumsi.
Ketua Tim Percepatan Pengembangan Wisata Kuliner dan Belanja Kementerian Pariwisata Vita Datau menambahkan, pihaknya sudah mulai menggarap gastronomi sejak 2017. ”Kini melangkah lebih jauh lagi ke panggung dunia dengan melakukan standardisasi dunia,” kata Vita.
Berdasarkan data Kemenpar, pengeluaran wisatawan untuk kuliner selama berwisata berkisar 30-40 persen dari total pengeluaran wisatawan. Jika ditambah belanja, pengeluarannya menjadi 70 persen.
Dalam industri ekonomi kreatif, sektor kuliner juga memiliki porsi yang sangat besar, yakni 42 persen, dari 16 subsektor industri kreatif.
Vita menuturkan, Ubud dipilih sebagai destinasi gastronomi karena masyarakat Ubud sudah siap dan telah mengembangkan gastronominya. Pemerintah daerah juga mendukung wilayahnya menjadi destinasi gastronomi.
Dikembangkan
Arief mengatakan, wisata gastronomi penting untuk dikembangkan karena Indonesia belum mempunyai makanan nasional. Thailand punya tomyam, Jepang memiliki sushi, Malaysia punya nasi lemak, dan Singapura mempunyai laksa. Indonesia memiliki banyak kuliner sehingga tidak ada yang bisa disebut sebagai makanan nasional.
”Kemenpar kini telah menetapkan lima makanan yang disebut sebagai makanan nasional, yakni rendang, soto, sate, nasi goreng, dan gado-gado. Penentuan lima makanan ini berdasarkan sumber atau asal makanan. Sementara Badan Ekonomi Kreatif hanya menyebut soto sebagai makanan nasional karena Bekraf menggunakan dasar pasar. Soto dipilih karena hampir semua daerah memiliki soto,” tutur Arief.
Indonesia belum terkenal sebagai destinasi kuliner dunia karena kuliner Indonesia belum mendunia seperti halnya restoran China dan Thailand. ”Saat ini ada 20.000 restoran Thailand di seluruh dunia. Pemerintah Thailand memberi bantuan Rp 1,4 miliar kepada pengusaha yang mau membuka restoran di luar negeri. Kita belum mampu. Oleh karena itu, sekarang kita membuat destinasi gastronomi berstandar internasional,” katanya.
Wakil tim UNWTO yang datang ke Indonesia, Aditya Amaranggana, mengatakan, UNWTO akan melihat bagaimana gastronomi dikembangkan sehingga mendukung pembangunan berkelanjutan dan bisa membuka lapangan kerja baru.
Adapun lead expert yang ditunjuk UNWTO dalam penilaian Ubud, Roberta Garibaldi, menyampaikan, destinasi gastronomi yang holistik memiliki nilai warisan budaya dan kualitas produk lokal dengan industri yang berkembang. Amenitas gastronomi juga cukup mumpuni dan berkelanjutan sehingga mengangkat kearifan lokal.
”Selain itu juga akan dilihat perdagangan yang menyangkut gastronomi, seperti pasar tradisional, pemasok bahan baku, memiliki tempat belajar gastronomi formal dan informal yang fokus pada kearifan lokal, serta fasilitas pendidikan lain, seperti museum, pusat edukasi, lembaga riset, festival, ekspo yang fokus pada makanan, minuman, dan bahan lokal,” ujar Garibaldi.