Penggunaan mesin tua di pabrik gula menyebabkan inefisiensi. Biaya pokok produksi membebani petani. Akibatnya, mereka enggan menanam tebu. Hal ini perlu segera diatasi.
CIREBON, KOMPAS Industri gula mendesak dibenahi. Pabrik gula di Jawa Barat masih mengandalkan mesin tua. Produksi tak efisien dan boros bahan bakar. Berdasarkan penelusuran pada pertengahan Mei 2019 di Kabupaten Cirebon dan Subang, pabrik gula masih mengandalkan mesin tua. Pabrik Gula Sindanglaut, Cirebon, menggunakan mesin uap tahun 1923 untuk unit penggilingan.
”Dampaknya, bahan bakar boros,” ujar Kepala Pabrikasi PG Sindanglaut Rizky Lintarta. Dengan sistem elektrik, pabrik bisa menghemat 15 persen dari ongkos giling.
Kapasitas giling pabrik yang berdiri sejak 1832 itu hanya 1.800 ton tebu per hari. Menurut Rizky, sejumlah langkah revitalisasi sudah ditempuh, seperti meningkatkan kapasitas mesin boiler hingga 20 ton dan mengganti mesin vakum uap dengan elektrik. ”Kinerja pabrik kami 76 persen, masih yang terbaik di Jabar,” ujarnya.
Indikator efisiensi teknis pabrik gula dari Lembaga Riset Perkebunan Indonesia tahun 2005, standar kinerja pabrik ditetapkan di atas 80 persen. Karena kinerja PG Sindanglaut kurang bagus, pada akhir masa giling tahun lalu, tebu dialihkan ke PG Tersana Baru. Akibatnya, petani harus menambah ongkos angkut tebu.
Sebenarnya kondisi PG Tersana Baru tidak jauh beda. Pabrik yang berdiri sejak tahun 1901 dengan kapasitas giling 3.000 ton tebu per hari itu masih mengandalkan mesin peninggalan Belanda. Pemerahan tebu masih dilakukan melalui dua jalur. Akibatnya, tingkat kehilangan gula mencapai 2,5 persen.
”Kalau diubah menjadi satu jalur (single drive), tingkat kehilangan bisa di bawah 2 persen. Ini setara dengan tambahan 0,01 persen rendemen,” ujar Wakil Kepala Instalasi PG Tersana Baru Aji Humantoro.
Dalam lima tahun terakhir, rata-rata rendemen di pabrik tidak pernah lebih dari 7,23 persen. Angka ini jauh di bawah standar rendemen untuk indikator efisiensi pabrik gula, 12 persen.
Pabrik tutup
Saat ini, bersama PG Jatitujuh di Kabupaten Majalengka, PG Sindanglaut dan PG Tersana Baru merupakan pabrik gula yang masih beroperasi. Sebelum 1995, ada delapan pabrik di Jabar. Tahun lalu, PG Subang yang usianya paling muda, berdiri 1981, gulung tikar. Semua pabrik milik PG Rajawali II, grup PT RNI (Persero).
Kepala Bidang Perkebunan Dinas Pertanian Subang Nenden Setyawati meminta pemerintah melanjutkan program peningkatan produktivitas tebu melalui bongkar ratun dan revitalisasi pabrik gula. Direktur Utama PG Rajawali II Audry H Jolly mengatakan, faktor utama penyebab pabrik tutup adalah kekurangan tebu. Jika dipaksakan beroperasi, pabrik tidak efisien.
Pengalihan tempat giling tebu dan penutupan PG Subang merupakan upaya efisiensi pabrik gula. Jolly mengatakan, pihaknya tidak melakukan pemutusan hubungan kerja bagi karyawan tetap. Karyawan pabrik yang tutup dipindahkan ke tiga PG yang beroperasi.
Inefisiensi
Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia Anwar Asmali menilai, inefisiensi pabrik gula di Jabar membuat biaya pokok produksi (BPP) meningkat. Di sisi lain, harga jual gula rendah. Tahun lalu, gula petani ditawar Rp 9.700 per kilogram, sementara BPP Rp 10.500 per kg.
”Akhirnya, petani merasa menanam tebu tidak untung. Pasokan tebu pun berkurang sehingga produksi gula menurun. Namun, menaikkan harga gula tidak cukup. Pemerintah perlu segera mewujudkan janji revitalisasi pabrik,” ujarnya.
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Khudori mengatakan, jika pabrik merugi, 60-70 persen kerugian dipikul petani karena sebagian besar biaya produksi ada di kebun. Kondisi ini bisa lebih parah karena PG milik negara kalah bersaing dengan PG swasta.
”BPP PG swasta hanya Rp 6.500 per kg,” ujarnya. Khudori mendesak pemerintah menetapkan batas waktu 5-10 tahun untuk memastikan PG milik negara efisien. Caranya, antara lain, revitalisasi pabrik dan peningkatan produktivitas. (IKi/Mel)